Nurel Javissyarqi
Reformasi serupa sakit perut mual-mual, menyakitkan pengeluaran melegakan pembuangan. Detik-detik menjelang situasi genting mencekam merindingkan bulu revolusi. Sewaktu itu aku mengenyam hidup di Yogyakarta. Kota kebak intelektual tanpa tendensi popularitas, mungkin. Kebudayaan adiluhung berakar tahta kerajaan harum, walau perubahan menghimpit tradisi.
Seolah ramalan menumpahkan kesalahan pandang terungkap gamblang, hukum transparan di mata rakyat sampai kaum awam. Seakan tuhan mencerahkan anak-anak bangsa atas langit paling terang yang belum pernah sebelumnya, kesempatan gilang demi kembali kedaulatan. Menggunduli patriotik semu mengangkat kebersamaan. Yang mengultuskan diri penyelamat, tidak lama dicibir bermuka pucat, malu kebodohan belum matang berjuang.
Puncaknya 20 Mei 1998, tidak dapat dipungkiri pergerakan kesadaran masyarakat, dari kaum intelektual, seniman, mahasiswa, petani, nelayan, pedagang dan tak terkecuali tentara. Suatu cahaya memukau atas bangsa, selayak gegap-gempitanya menyuarakan kemerdekaan 1945. Namun sayang, sangking bahagianya pesta sirna meninggalkan gelas berserak, tiada rembuk mempersatuan nafas kalbu mewaktu. Kesempatan takkan berulang, kalau tak terjadi tragedi lebih tinggi, revolusi mungkin solusi mencapai kesatuan hasrat kembali, dengan konsekwensi.
Kenapa reformasi tidak berhasil, meski tuhan membuka masa besar dengan kasih, nyata alasannya kentara. Jika tak tampak bisa dimaklumi sebagai kesempatan tertunda, sebab diselimuti kebodohan. Nyata para intelektual di podium saling jegal mengaku reformis. Tidakkah kumprung, merasakan pahit bersama, diganti kepentingan golongan, salah kaprah jadinya.
Terpetiklah Tuhan menurunkan bencana, suatu peringatan diperuntukkan seluruh bangsa, agar sadar bersatu guyup mencipta pemerataan, bukan jadi kemelaratan atas kerakusan. Lagi-lagi anak bangsa belum ikhlas, malah sarana mencari muka membantu sesama, dan kesalahan lalu dibenarkan, ini hukum lacur. Sampai kini putusan pemerintah memberatkan jelata, demi gaji bertambah. Suatu amanah serupa peluang korupsi, minimal korupsi masa, pandangan demi golongan, lebih-lebih membelanjakan harta negara melalui pesta pelantikan, pencalonan, pitulasan, partai dan pesta lebih gila.
Yang beredar cepat uang panas, sedang pada tingkatan bawah mandek, sabab tidak mampu membeli sembako. Negara yang katanya makmur gemaripah lohjinawi, nyata beras import, gula import &ll. Terjadilah perang modal, jor-joran rayu banting harga seenak udel pemodal. Tidakkah pernah kukatakan, bangsa ini suka asing, tapi tidak mau mengakrapi menjadi tidak asing. Dan sayangnya, seluruh gerak ekonomi di kota sampai pelosok, terkendali bangsa asing atau pribumi berprinsip ganjil. Ini patut ditepuk tangani berhasil menjadi budak, naudhubillah.
Kenapa tidak tekun mempelajari kebodohan, mensinauhi perbedaan menjadi hikmah, malah saling sikut. Tidakkah cukup mencurigai pribadi sendiri meluruskan niat kembali? Tapi syukur ada yang memberi kebaikan meski banyak kebablasan. Perbukuan semarak, pertelevisian berkibar, berita tiada tedeng aling, walau masih disetir impian kuasa. Gejolak pembaharuan meningkat berserak, semoga kelak ke titik ujung revolusi, apa seratus tahun lagi, atau lebih?
Apakah tidak berubah kecuali menunggu tujuh turunan? Ini mimpi penghapusan generasi, walau harapannya merindu baik. Hukum-hukum basih diganti kesadaran, tindak suap tidak beredar, pelaku takut siksa bathin memberat, semoga segera pulih. Merevolusi kesalahan menuju kebenaran. Sekali lagi, reformasi ibarat sakit perut menimbunya mencret. Antara rintihan ada sisi nikmat, sehingga dibiarkan keadaan meminta dijaga jangan sembuh total. Inikan keblinger, merawat sakit demi kenikmatan rintihan, atas elusan tangan kekuasaan.
Seyogyanya mempelajari datangnya tragedi, apa sangking banyak makan pedas atau sering menkonsumsi permen gula atau yang berlebih. Ini kudu diselidik agar dapat menanggulangi kebablasan. Apa penyembuhan lewat perbanyak minum air mineral, makanan bergizi bukan kerakusan. Mari koreksi pribadi masing-masing, sehatkah? Sebab dengan menyenangi sakit, meski diberi imbalan nikmat sekejap, tetap murus hingga habis. Kalau yang terkuras kotoran tidak apa, namun yang ikut terbuang jati diri, bagaimana?
Jangan meminta resep orang sana, kita cukup rempah-rempah membikin jamu mujarab. Racikan berasal menghargai anak bangsa dan tidak gampang mematenkan prodak. Aku dengar Candi Borobudur pemilik lisensinya Amerika, kalau ya, celakalah. Jika diteruskan telanjang di hadapan bangsa paling miskin sekalipun. Demi perubahan seharusnya sehat terlebih dulu, agar tidak cepat ambil putusan tersebab kebelet membuang hajat teremban.
Penarikan pajak terlihat timpang atas banyaknya koruptor, pemandangan gila dan wajah sayu pengemis. Kita serupa dua orang, pengemis dan gila. Satu minta dikasihi, lainnya seenaknya. Satu merebus batu, lainnya merebus luka sejarah, satu mandiri tanpa penghormatan, satunya rakus kehormatan. Pengemis menyalakan kemenyan berwajah belas kasihan dan si gila pintar keblinger. Atau babak peleburan gila mengemis, tumpang tindih manipulasi atau kebohongan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar