Nurel Javissyarqi
http://www.facebook.com/nurelj
“Di mana tanah airku di lembah sunyi
di mana airmata darah pernah tergenang
sejengkal petak sawah, kini ruang peradaban
idealisme sikap otak ‘membajak’ bagai tengkulak.
Di mana dewi sri-ku, duhai pertiwi legenda yang usang
di mana bulanku pernah berpesan pada dayang-dayang
betapa rentang kini langit dan bumi, entahlah
bila masih tanganku sanggup menggapai” (Fajar Alayubi).
Ketika batok kepala sadar memiliki otak, menguap mengeluarkan kabut serta cairan kental, dibutuhkannya keberadaan otak-otak yang lain. Atau batok kepala sebelumnya, lebih dulu mencetuskan gagasan, ini sarang ideologi. Meski baiknya ajaran, jika penerimanya tidak berotak, tentu membuyar tiada makna, menguap ke rimba entah. Sebab ideologi sejenis elemen melingkupi dinaya magnetik tekad, melahirkan niatan, hasrat tidak terbendung mencapai kemauannya menyebar ke segenap kepala hati.
Saat otak sadar ideologi, keegoisan nalar menguasai, ada kemungkinan menutup jalannya kalbu. Akan selamat dari keegoisan kepala, ketika menyungguhi fungsi budi pekerti berasal dari cerminan hati. Jika ditarik pemaknaan, munculnya perang dunia ke II, wujud peperangan ideologi tanpa nurani. Manusia seperti hewan latihan, sasaran tembak manusia-manusia tidak berkepala. Sebelum kuat ideologi, terombang-ambing kesilauan pandang. Tidak luput bangsa yang terlelap penjajahan, tersadar tak ingin termakan lagi, oleh ideologi tanpa juntrung, tapi sayang, sebagian anak bangsa telah mengenyam arti kekuasaan di negara tua. Saat pulang ke tanah air, dijadikan ajang praktek keilmuan. Ideologi yang dibawa tidak bernafas tropis seperti tuntutan alam Nusantara.
Pasang surut penderitaan bangsa, bukan serbuan batalion negara lain, tapi menonjoknya kesakitan itu terperoleh diri sendiri yang sulit bernafas dalam keadaan genting, untunglah detik-detik perang dunia ke II, mengantarkan bergairah. Tersadar lama kehilangan rasa, seperti tubuh kepanasan tidak terasa sengatan matahari menimpa terus-menerus, ketika angin lewat dirinya sadar dalam kondisi siang menerawang.
Kesadaran menentukan pembebasan, menuntut haknya menghirup hawa hayati. Terompet pemberontakan melawan penjajahan hingar-bingar pekatkan telinga tebal. Saat pribumi ingat kelahiran, gemeretak tanah memuntahkan lahar, menggunduli kepala tidak berotak, ideologi pemaksaan tumbang, pohon persahabatan semu hangus. Waktu-tempat berkumpul kehendak kokoh, tarikan paksa menjelma keharusan, menyuarakan corong pemimpi menjelma impian nyata, “merdeka atau mati.” Tidakkah perjuangan puncak di ujungnya juga keraguan? Namun para pemuda menggagalkan was-was menjelma kenekatan. Keputusan perintah membuka moncong senapa kata, Proklamasi.
17 Agustus 1945 anak-anak terharu jutaan harum, awan menyapa, langit biru kumandangkan doa langit menuju langit kepada langit tertinggi. Ketika rahmat tuhan membanjir, siapa sanggup membendung, ketika berpaling, siapa mampu menariknya, meski sekumpulan gerimis. Maka segala jawab doa puji syukur, begitulah keputusan-Nya mencengangkan umat manusia. Saat kemerdekaan menjebol benteng penjajah, mengusir dari tanah tercinta. Anak-anak pribumi menarik diri dari pelabuhan mengagumkan, berteriakan tiada henti; Merdeka! Merdeka! Merdeka!. Kembalinya anak-anak ke pusat kota, merembuk kedaulatan yang tercabik. Penataan menelan energi sama besar dengan perjuangan pertama dan lebih.
Perjuangan selanjutnya, panas urat syarat para intelek sokong-menyokong, jegal-menjegal, partai dibentuk. Ideologi berwatak peribumi bertarung dengan yang berasaskan import, identitas keagamaan semarak, angin harum menyegarkan taupan kesungguhan. Bunga-bunga kemerdekaan bermekaran, berharap dicumbu kekupu kemanusiaan adil dan beradab. Namun tidak begitu saja, penghianatan anak bangsa yang dilancarkan Partai Komunis. Bagaimana otak memerintah tubuh, dan tubuh menghujamkan niat busuknya ke dada saudara, suatu pembantaian berulang anak cucu Adam. Kesepakatan hanya milik golongan, pengertian kemerdekaan sekedar busana depan publik setelah telanjang dari penjajahan. Baju belum rampung dijahit, saat dikenakan terlihat compang-camping, dan sekali tiupan angin tersobek berantakan.
Gagasan, gerakan, kajian yang melingkupi menonjok ke depan, partai berlambang Palu Arit semakin gemilang, pemaksaan di sana sini, ancaman rayuan mengikuti, propaganda tidak henti-henti sebelum hasrat tertinggi tercapai, Revolusi. Sayangnya partai ini kurang belajar lebih pada sejarah terjadinya pemberontakan Ken Angrok menggulingkan Tunggul Ametung, atau dirinya merasa modern, sehingga percaya tinggi strateginya bakal terpenuhi, olehnya kurang perhitungkan situasi balik. Kausalitas sefaham tempur maju namun tidak cermat, berakibat pantulan bunuh diri.
Angrok memesan keris pada Pu Gandring. Keris di sini simbolik ideologi pemberontak, sedang jiwanya tetap Angrok. Sementara PKI tidak memesan atas ideologi komunis, akan tetapi hasil dari tranformasi intelektual, yang bergerak bukan manusianya, tapi ideologi. Kasus ini serupa keris terbang sendiri demi menghujam ke tubuh. Ini revolusi terbayang kegagalannya, sebab identitas diri para tokoh PKI tak ada, pergerakan bukan muatan dirinya. Kalau menarik hasil Ken Angrok, kegagalan PKI dapat digambarkan, yang menyuruh membunuh bukan tokoh PKI, tetapi Pu Gandring, sedang keberhasilan Angrok atas kesemangatan ideologinya, terlahir dari tanah air bathiniah, kesadaran hasrat memiliki Ken Kedes. Kegagalan, serupa makanan manis dibiarkan berserak, sehingga banyak mengambil bagian meminta jatah kursi, tak luput darah orang-orang gagal. Seperti kegagalan tikus mengintai ayam, tubuhnya tersambar elang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar