Nurel Javissyarqi
Tatkala pembangunan fisik ditingkatkan, sedang perbaikan jiwa diabaikan, berhati-hatilah penjarahan, tindak anarkis dari prodak demokrasi, hal pernah diramalkan Hegel. Insan-insan Indonesia giat bekerja, tekun menjadikan dirinya kaya. Seperti bangsa lain yang gemar kilatan mewah, merindu kecantikan luar, daya rayu memperbudak. Padahal K’tut Tantri pernah berkata; “orang Indonesia itu para pelaku terbaik,” ketika melihat pasukan Bung Tomo menyamar sebagai anggota Palang Merang Internasional demi mengambil alat siar perjuangan.
Anak-anak salah sasaran pada bidang pendidikan karena keegoisan orang tua. Ini pemaksaan mengenakan yang tidak diinginkan, bertolak keliru dalam pengambilan kemauan. Kemapanan menurutnya, tuntutan hidup demi mendapati segala dari lingkungan yang tidak sesuai pribadi, akan menyempitkan kesempatan pihak lain.
Perlombaan terlihat mentereng, awal nantinya ambruk menimpai anak-anaknya. Pengalokasian masa berlebih dalam perkara dihasratkan, tanpa perhatikan sudut kemanusiaan. Pertumbuhan menguras keringat tiada permenungan, hasilnya kelelahan menuju matinya kalbu. Ritual peribadatan berupa pesta, menghamburkan uang demi kibaran bendera, tidak perhatikan pinggiran kemelaratan. Kehusyukan ibadah di sebelah derita ialah lukisan timpang kerap ada.
Pendidikan awal fanatisme diri yang terbentuk dari kemungkinan kuasa mengesampingkan kasih. Hilangnya tenggang rasa terburu nafsu mencapai yang nantinya bersebut prestasi kekayaan, lalu kalimat yang meluncur berupa sabda-sabda uang. Jika menilik ke belakang sejarah bangsa-bangsa di Nusantara, tidak jauh berbeda. Tumpukan emas, intan berlian dipersembah kepada kerajaan. Kepatuhan berawal pemaksaan hukum menguasai jelata.
Barang-barang mewah sekadar hiasan tanpa tuntutan perkembangan keilmuan. Kejayaan berlimpah ruah hasil tambang dalam bentuk baju kebesaran para bangsawan. Semacam mengangkat derajat terlalu tinggi dari kerja kemarin. Suatu jalan tampak bagus tapi saat pengetahuan tidak menjadi faktor utama kemajuan, kerja keras hanya menghasilkan lelah tiada manfaat bathin, bertambah penat kepala dari pemompaan rakus.
Untuk mencapai kendaraan mengkilat, intelektual bergengsi namun jauh kesahajaan tanah pertiwi, pembangunan curang, pengeroposan bahan lewat pengurangan demi kenyangkan perut pribadi. Korupsi menjadi idealitas menjajikan harapan. Kenekatan hutang menjelma solusi, hukum bernyanyi mengikuti sang tuan. Setelah penjarahan berlangsung, tidak menjadi pelajaran, kian serakah menambah kekuatan demi tak terjamah tangan penuntut nafas alami.
Selepas penjarahan bukan meningkatkan pendidikan, malah biaya melangit. Pembangunan mental identik biaya tinggi, lahan bisnis mengeruk untung tidak bertanggung jawab. Tiadanya penghargaan tulus, semua mengikuti alur suap. Pembusukan bangsa sendiri demi kepentingan pribadi. Banyak pengangguran sebab penyempitan lapangan kerja dari rakusnya menggali sumber kehidupan, yang hanya dikuasai orang-orang bertradisi penjajah. Atau malas mencipta lapangan kerja dari pendidikan salah, bangku sekolah hanya mengajarkan teori, sedang praktik menuntut biaya lebih atau bukan keilmuan, yang dijadikan lahan bisnis; ini kreatifitas pemeras.
Orang kayanya tidak manusiawi, jangan-jangan hanya mengenyam pendidikan dasar, sehingga tiada pengertian menghargai sesama. Demonstrasi menuntut murahnya biaya pendidikan serta bahan pokok menjadi sia-sis, sebab telinga-telinga di atas telah buntu, kebijakan bertelingakan satu. Tanpa musyawarah karena telah dianggapnya baik akan melukai yang lain, mufakat para petinggi, hasil olahan mental tidak diluruskan di jalan keseimbangan, hal buruk tidak menjadi buruk karna menjelma tradisi; penyuapan, korupsi, penggusuran, penjarahan dan sebagainya.
Katanya bangsa maju yang cantik penataan kotanya. Sayang, yang terjadi pemerintah menghalalkan segala cara demi keindahan pandang. Pasar-pasar tradisional terhapus, diganti barang impor merayu dibeli, dan si fakir gigit jari, sesekali harus menghujamkan belati karena tidak betah merasai. Ini tanggung jawab siapa? Penggusuran rumah tanpa penampungan menjamin, sebab penggusuran bahasa lain pengusiran dari yang berkuasa pada rakyat jelata, diharuskan tunduk kalau mau bernafas lama. Banyaklah bayi-bayi lahir dari garba simalakama. Ingatlah, anak-anak selamat dari bencana, kelak membahagiakan bangsanya, ratu adil benar-benar hadir.
Penjajahan sesama karena penguasa menjadi budak ideologi yang tidak membumi. Watak impor di masukkan menjelma kerakusan pandangan tak menyeluruh, sedang kemanusiaan tidak diperhatikan. Aku tidak menafihkan manfaat pembangunan seperti pembuatan jalan, jembatan, rumah ibadah serta lainnya. Namun ketika tidak dibarengi kualitas anak bangsa, hanya perbendaan tidak menggerakkan peradaban tangguh.
Alat-alat sekadar pajangan, bukan kebutuhan meningkatkan kemakmuran merata. Kapitalisme merambah pedalaman tidak sesuai, oleh pembawa ideologi masih timpang-tindih atas lahan realitas. Kajian yang disemarakkan budaya luar, bukan melestarikan tradisi ketimuran luhur para leluhur. Karena persiapan tidak matang menggebu profan, kejiwaannya tercebur arus tanpa semangat membumi.
Budaya seronok terpahat di dinding-dinding, seni memungkinkan hak asasi berlenggang tanpa kendali pertiwi. Kemajuan kaum hawa tiada kesadaran diri yang bukan pengganti. Pun tak ada kehormatan berbangsa berbudaya, diri para wanitanya tidak menguliti kebesaran kemerdekaan hak asasi, tampak penggelembungan nilai atas kecantikan tuntutan. Seraya beban berat terasa ringan sebab martabat yang semu.
Pendirian pabrik pengguna bahan kimia yang tidak perhatikan dampaknya. Di sana-sini lingkungan kurang ramah, semua terlihat plastik, lampu menyilaukan menuntut kemajuan kebablasan. Atau konstruksi bangunannya ternilai permodalan, pengerukan kekayaan alam dari keringat para buruh yang dihilangkan psikososialnya. Penghapusan kesempatan untuk kebertemuan, kurangnya keakraban dibatasi kepentingan dagang, tiada pondasi keilmuan seimbang yang tampak pesuruh, ialah manajemen tidak manusiawi.
Sering terjadi tindak kriminal oleh pengabnya peradaban tidak beradab, transformasi kajian budaya belum menelusup ke tingkatan bawah, sedang pergerakan barang pasar begitu cepat dengan propaganda tidak masuk akal seperti tukang sihir. Timpang-tindih tanpa pergerakan kuat memulihkan penyadaran, yang terlahir saling tuduh, hukum keberpihakan dari fanatisme golongan. Ibarat nyala api tak memanasi air guna kesehatan, malah membakar lewat tayangan menyesatkan. Para aktor terlihat egois genit, memandang masa depan di bawah penjajahan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar