Nurel Javissyarqi
Tradisi seakan lahir dari kesamaan hobi. Ini tampak ringan, namun marilah terbang setinggi awan, membanjiri kota sebab individualitasnya, atau murka tuhan tak lekang dari pandangan. Setelah kesamaan kehendak bersepakat, yang menonjol dijadilah tetua. Jika mukanya pada gelap, yang berdahi cemerlang didaulat memimpin, dengan pemberian kemenyan sampai gandaruwo (begundal) mengamini.
Bangsa ini terdiri beberapa kesalahan menuju ambruk kepunahan. Sepuluh pegawai, sembilannya oknum. Sepuluh pendidik, sembilannya pengusaha tanda kutip. Sembilan orang melarat, satunya pengusaha hebat, sampai mampu kabur entah. Sepuluh hakim, sembilannya makan beling kayak kuda lumping. Sembilan dari sepuluh anak-anak bangsa ialah TKI; tenaga kerja ingusan, tenaga kerja “idaman,” lainnya membludak pengangguran.
Jaman ibarat musim, permainan kanak tidak dapat dicegah oleh orang tuanya. Perlu diingat, ibu selalu mewanti-wanti makanan. Dari sini merujuk ke muka, pemegang kuasa tergantung jamannya. Saat jaman kesatria, kekuasaan terpegang jawara. Ketika yang berkuasa pesulap, beramai-ramai mendekati ahli nujum. Sewaktu yang kuasa ulama, berbondong ke kyai. Semasa yang kuasa pistol, ngelukru ke tentara. Inikan pencarian keamanan cukup gampang, membawa wajah babu, sudi diinjak sepatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan.
Sejenis musim buah dari daerah satu ke seterusnya. Utara panen anggur, selatan panen pisang. Timur panen intelektual agama, barat panen senjata. Transformasi ini terhenti sebentar atas datangnya perhitungan perut. Inilah kasus kanak sampai dewasa, anak-anak cepat lupa dengan permainan baru, atau bobot timbangan egonya tipis, menjadikan guyup menebarkan senyuman. Saat yang dewasa merasa tua, watak buatan dari pemotretan salah, menambah runcing atas penentuan pribadi.
Memang tidak lepas pengalaman hayat mewarnai jati diri, tapi kerap terlupa permainan, maka berjaraklah di antara yang dimainkan. Sebagai kebijakan mengambil sikap atas kekuasaan ruang-waktu pada pundak kesadaran. Tidakkah sering tersandung persoalan sepeleh sebab menuntut akal dianggapnya paling. Berpandanglah sepadu padan, menyaksikan hidup keseluruhan pelajaran. Ini kerap dilupa, membangun mekanika tercerah, inikah senyum jelita?
Atau sangking traumatik penjajahan menjadi minder berkemampuan, meski bekerja keras ataupun pucat. Kenapa kemenyan mendominasi kekuasaan, berangkat dari kurang percaya atas kekerasan telah membudaya. Suap ialah jati diri hilang dimunculkan dengan pembelian kemenyan. Akan patut bila yang diberi bawahan, namun terbaliklah muka jika pada atasan. Tidakkah fitroh turun mengidam sahaja. Bagaimana pun mengangkat gunung, tentunya lelah.
Dulu hanya kemenyan Belanda, Jepang, kini telah banyak beredar lainnya. Ini terlahir serentak di segala bidang, tidak luput wacana mengambil kemenyan luar. Lebih parah pembakarannya tidak dilakukan sendiri, namun kritisasi tangan ke tangan, maka pemulung dapat tempat subur di sini. Sengaja tidak diberi contoh, agar menjangkau ke segala arah, ke segenap yang terjadi, tidak menuju tujuan sepihak. Frekuensinya dihadirkan lewat gelombang tidak senafas judul mematikan, atau terjangkau tanpa dibacakan.
Di sini disinggung sebab bangsa ini suka ramalan, kejadian mendatang atau togel. Perlu diwaspadai kedirian jauh merasa matang, tanpa perhatikan senyum belia; pemberhentian renung terdalam. Demi mencapai tahap kemungkinan dari pengambilan yang tersampaikan. Kudunya mawas bercermin atas kekuasaan menyerang, menyadari posisi berbangsa di arus menghimpit yang kerap ngelindur.
Harapannya kemenyan tidak diberikan pada penguasa, namun didayagunakan demi rakyat jelata untuk kesetaraan, agar sanggup menguasai diri sendiri, sehingga mampu mengontrol kedudukannya sebagai oposisi. Tidakkah arus perjalanan berganti, perguliran ruang-waktu menuju kepala hati, menentukan mapan atau gemetaran yang sungguh melupakan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar