Kamis, 08 Juli 2010

KEMENYAN DAN KEKUASAAN

Nurel Javissyarqi

Tradisi seakan lahir dari kesamaan hobi. Ini tampak ringan, namun marilah terbang setinggi awan, membanjiri kota sebab individualitasnya, atau murka tuhan tak lekang dari pandangan. Setelah kesamaan kehendak bersepakat, yang menonjol dijadilah tetua. Jika mukanya pada gelap, yang berdahi cemerlang didaulat memimpin, dengan pemberian kemenyan sampai gandaruwo (begundal) mengamini.

Bangsa ini terdiri beberapa kesalahan menuju ambruk kepunahan. Sepuluh pegawai, sembilannya oknum. Sepuluh pendidik, sembilannya pengusaha tanda kutip. Sembilan orang melarat, satunya pengusaha hebat, sampai mampu kabur entah. Sepuluh hakim, sembilannya makan beling kayak kuda lumping. Sembilan dari sepuluh anak-anak bangsa ialah TKI; tenaga kerja ingusan, tenaga kerja “idaman,” lainnya membludak pengangguran.

Jaman ibarat musim, permainan kanak tidak dapat dicegah oleh orang tuanya. Perlu diingat, ibu selalu mewanti-wanti makanan. Dari sini merujuk ke muka, pemegang kuasa tergantung jamannya. Saat jaman kesatria, kekuasaan terpegang jawara. Ketika yang berkuasa pesulap, beramai-ramai mendekati ahli nujum. Sewaktu yang kuasa ulama, berbondong ke kyai. Semasa yang kuasa pistol, ngelukru ke tentara. Inikan pencarian keamanan cukup gampang, membawa wajah babu, sudi diinjak sepatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan.

Sejenis musim buah dari daerah satu ke seterusnya. Utara panen anggur, selatan panen pisang. Timur panen intelektual agama, barat panen senjata. Transformasi ini terhenti sebentar atas datangnya perhitungan perut. Inilah kasus kanak sampai dewasa, anak-anak cepat lupa dengan permainan baru, atau bobot timbangan egonya tipis, menjadikan guyup menebarkan senyuman. Saat yang dewasa merasa tua, watak buatan dari pemotretan salah, menambah runcing atas penentuan pribadi.

Memang tidak lepas pengalaman hayat mewarnai jati diri, tapi kerap terlupa permainan, maka berjaraklah di antara yang dimainkan. Sebagai kebijakan mengambil sikap atas kekuasaan ruang-waktu pada pundak kesadaran. Tidakkah sering tersandung persoalan sepeleh sebab menuntut akal dianggapnya paling. Berpandanglah sepadu padan, menyaksikan hidup keseluruhan pelajaran. Ini kerap dilupa, membangun mekanika tercerah, inikah senyum jelita?

Atau sangking traumatik penjajahan menjadi minder berkemampuan, meski bekerja keras ataupun pucat. Kenapa kemenyan mendominasi kekuasaan, berangkat dari kurang percaya atas kekerasan telah membudaya. Suap ialah jati diri hilang dimunculkan dengan pembelian kemenyan. Akan patut bila yang diberi bawahan, namun terbaliklah muka jika pada atasan. Tidakkah fitroh turun mengidam sahaja. Bagaimana pun mengangkat gunung, tentunya lelah.

Dulu hanya kemenyan Belanda, Jepang, kini telah banyak beredar lainnya. Ini terlahir serentak di segala bidang, tidak luput wacana mengambil kemenyan luar. Lebih parah pembakarannya tidak dilakukan sendiri, namun kritisasi tangan ke tangan, maka pemulung dapat tempat subur di sini. Sengaja tidak diberi contoh, agar menjangkau ke segala arah, ke segenap yang terjadi, tidak menuju tujuan sepihak. Frekuensinya dihadirkan lewat gelombang tidak senafas judul mematikan, atau terjangkau tanpa dibacakan.

Di sini disinggung sebab bangsa ini suka ramalan, kejadian mendatang atau togel. Perlu diwaspadai kedirian jauh merasa matang, tanpa perhatikan senyum belia; pemberhentian renung terdalam. Demi mencapai tahap kemungkinan dari pengambilan yang tersampaikan. Kudunya mawas bercermin atas kekuasaan menyerang, menyadari posisi berbangsa di arus menghimpit yang kerap ngelindur.

Harapannya kemenyan tidak diberikan pada penguasa, namun didayagunakan demi rakyat jelata untuk kesetaraan, agar sanggup menguasai diri sendiri, sehingga mampu mengontrol kedudukannya sebagai oposisi. Tidakkah arus perjalanan berganti, perguliran ruang-waktu menuju kepala hati, menentukan mapan atau gemetaran yang sungguh melupakan.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )