Kamis, 08 Juli 2010

MASA-MASA TERTOLAK KARYANYA SENDIRI

Nurel Javissyarqi

Kala lesatan ruang-waktu bagai jepretan kamera atau film-film pendek banyak editing, sempoyongan memasuki lorong sakral terlampau purba. Teks usang tak mau dijamah kejelian kekinian, kehendaknya ke tubuh-tubuh lama mengerami kenangan.

Di mana tertolak karya sendiri, tak jua menyusup meski melewati kekhusyukan. Keluar-masuk tidak memberi apa-apa. Namun pada tempat sepantasnya, kesembuhan menyampaikan salam berseri-serasi seolah tiada kesadaran memasuki kembali.

Segugus prosesi kejumudan teks menghantar pemahaman. Nyata ada ruang tak ingin dihuni serupa kamar tiga belas atau pinggiran pantai sering menelan korban yang lalai. Menunjuk ke wajah-wajah tertimpa celaka oleh terlupa dilenakan kisah sekitarnya.

Yang terekam bathin takkan terhapus, paling mengendap di ujung ingatan. Kala banjir tiba, terangkat bebatuan apung mengabarkan pernah terjadi letusan gunung. Di sini pemikiran diandaikan hati kelembutan. Datang tiba-tiba sehalus perencanaan berpijak daya bersarang meretasi kemenjadian.

Lantas pengetahuan melejit tak terkendali mengadakan bayangan di cermin, dan hanya tangan tak sampai menggayuh tersebab menutupi diri. Padahal menerima terlebih dulu, akan mudah memasuki dinaya ingatan mengalir.

Mengikuti jalur kereta api yang tertinggal sekelebatan terfahami dan setiap lintasan dirasai, yang tidak terekam sampai. Selaksa kisah belum dituturkan mulai mematangkan diri bergumul dalam kawa pertimbangan, berbentur lawan menuju posisi terlupakan. Maka bersiaplah menerima kelupaan yang kumaksud tertolak.

Mungkinkah mencintai tiada embel-embel atau membenci tanpa rentetan peristiwa? Ini cantelan suatu masa dapat ditariknya. Embel-embel bukan pokok bahasan tetapi mengingatkan, olehnya jangan heran kedirian, sebelum berkali-kali menyelami inti pribadi. Berbolak-baliknya hati sedari sisi-sisi timpang jiwa diintriki kerahasiaan.

“Ketika karyaku menolak hatiku seperti linglung alamat rumah bathinku.” Yang ada ruang waktu kebendaan, tiada nilai yang diugemi bisa menandaskan makna hayati. Haruskah mengejar kelanggengan, mengantarkan diri menjadi sandaran nilai-nilai kehidupan?

Cantelan dan sandaran sebagai peringatan pula alat memasuki dunia lebih diakal. Semisal mengalami goncangan ateis; dunianya hampa tanpa pamor wasangka. Sebatang tebu diisap manisnya, seampang tidak bisa didaur ulang lagi bagi ruhaniah mempuni.

Ruang tertolak tanpa aba-aba, nyata ada wilayah halus menggiring ke sana. Lahan lembut tidak pedulikan piranti sekitar yang mampu mendukung tetap waspada. Usah sebaliknya ke sungai besar tiada sampan atau jembatan, putus asa di tengah jalan kandas. Jika ada setitik, kapan waktu ke ruang penyeberangan dilayarkan kreatif lebih.

Harapan mengangkat kaki-kaki lumpuh belajar menggerakkan perasaan berkekuatan magnetik. Di sini kamar tiga belas boleh terbuka dan pantai sakral dilabuh bunga-bunga, lalu kesegaran menyamudra berjiwa merdeka.

Masa-masa memasuki ruang tidak biasa; kata sebagian orang letak sejati pencarian. Benarkah? Oh jawaban cepat terlampau menggoda serupa mitos hujan lewati ribuan jendela langit, saat belum adanya pemahaman putaran awal sungai-sungai.

Nalar menjelajah hingga gugur kausalitas belum purna, terganti pemahaman anyar yang kelewat tidak masuk akal. Tapi jalannya dapat diterka, dijangkau lemparan dadu sekalipun di meja perjudian nasib.

Menguasai pencarian menyelidiki diri, bersiap sampai batas tidak terjamah. Gila mengamini ruang kemungkinan lebih jumlahnya tetap waras. Selaksa singasana Tuhan tak terjangkau kecuali kalbu hambanya, hati tertedah makna tidak pangling terkejut rupa.

Masihkah mengenal belahan lain memori ditindih teror menjadi-jadi di setingkap pergulatan bathin pada jenjang usia ingatan? Perlukah berhitung sejauh langkah, sependek apakah ruang mungkin dimiliki?

Menggerus kebodohan kaki-kaki mengucurkan darah segar perasaan malu. Kala itu boleh dipetik hasil berserakan, menjumputi ikan-ikan dari jejaring dimasaknya dalam periuk kerinduan.

Ini mengembalikan mimpi bunganya tidur yakni realitas bunganya impian. Sebanding purnanya mata uang pertukaran kasih kegenapan mawas tiada oleng bujuk rayuan angin. Sejiwa raga penolakan halus kentara pada hidup adanya nafas-nafas kerja.

Sisi lain periode tersiksa atau siksaan terlampau dalam serupa jasad tidak dapat kenali dirinya, sekeadaan kesemutan duduk terlalu lama. Tantangan luar tidak menujah segera mencipta tameng perlawanan, tekanan rendah kurangnya pompaan hasrat melampaui anganan.

Di sinikah pijakan melesat? Tertolak membawa teks-teks lama berkesegaran baru, sehembus tiupan pendewasaan di atas jenjang tingkatan dilalui. Lalu tekanan darah normal mengaliri alam fikiran perasaan berlipatan, selapisan kata-kata dalam puisi yang jernih.

Atau kegenitan cemburu, misalkan prasangka menyudutkan diri menjaga semangat. Cukuplah ini memaknai karya yang tak mau ditundukkan tuannya.

Pertarungan di atas sosok-sosok kembar berkekuatan sebanding yang mengancam perolehan sedari penggalian. “Tunduk pada karya atau pada diri yang membara.”

2009

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )