Kamis, 08 Juli 2010

Ludwig Tieck (1773-1853)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=476


WAKTU
Ludwig Tieck

Dia ngembara dalam lingkaran abadi dan sama,
Sang waktu, menurut caranya yang lama,
Atas perjalanannya, tuli dan buta;
Anak manusia yang tak malu-malu
Mengharap dari saat yang datang senantiasa
Bahagia yang tak terduga dan aneh-baru,
Matahari pergi dan kembali lagi,
Bulan datang dan malam pun turun,
Jam-jam bermuara di minggu-minggu,
Minggu-minggu membawa musim-musim.
Dari luar tak ada yang membarui diri,
Dalam dirimu kaupikul waktu yang berganti-ganti,
Hanya dalam dirimu peristiwa dan bahagia.


[Dari buku Malam Biru Di Berlin, terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H. 1989]. Kini izinkan kumulai menafsirkan baris-perbaris puisi di atas:

Yang selalu menempa hari-hari seakan pengembaraan abadi menguliti kelopakan takdir nyawa. Mengelupas lapisan cahaya, lembar demi lembar tiada akhir selalu terpesona. Rasa sakit pun kecewa tak dirasa, di sana mengenyam nikmat tidak terkira. Mengumpar dalam putaran sama, tetapi mengecil atau membesar. Terus melingkari berat pun ringan, membuka ruang belum dirasa pula terlewat, menebali keyakinan dibawanya.

Watak-waktu purba ditelusuri seperti lorong gelap tanpa cahaya, segalanya tertutupi bayang rahasia. Goa tersebut betapa licin dengan bebatuan cadas, jikalau tak hati-hati, luka-luka berdarah. Namun dilakoninya sambil merasakan pantulan air berjatuhan ke tubuh, menjadi jarak penilaian langkah masih jauh sedari dambaan.

Perjalanan panjang menulikan ingatan membutakan angan, nafasnya berderap kencang laksana turangga dengan taupan ditiup bara kemenjadian. Seakan tiada letak pemberhentian, seluruh beban dimatangkan tekad satukan kemungkinan tercapai kepastian, memaklumati yang semestinya terpegang.

Melepas malu berkeringat kesungguhan menderas mempelajari ruang-waktu menyungkup bagai dalam kepompong. Kala percepat gerakan, hawa kepemudaan berkumandang membeletat apa yang menyesakkan nafas kesegaran. Umpama bangun dari kesadaran paling purba memecah tanda-tanda jaman.

Dengan harapan balutan misteri menipis hingga yang dinanti merekah sedari selaput kabut kerinduan. Senyum datang sumringah dipandang, dikecup kesejukan embun meresapi pori-pori kelahiran. Sampai dendang sayang tak henti memakmurkan yang mengedari tatapan. Kesaksian betapa purna selaguan syahdu meronakan hijab rahmat kasih sayang.

Kebahagiaan ganjil sebab penantian lama terasa tubuh kaku bukan ketakutan, terkesima tengah diidam hadir tiba-tiba. Wewarna bunyian akrab selepas buta angan sesudah ketulian masa silam. Semua terangkat musik bayu menggerakkan perasaan musikus muda di alam langgeng menguras tangis getarkan awal pertemuan.

Sang surya meluncur ke ufuk sandikala menggapai malam bertabur gemintang. Seperti rambut hitam elok tergerai merenda-renda bertembangan air melengkung secincin pelangi melingkari purnama. Terus pesonakan mata tiada nafas kedipan. Ketakjuban ayu putaran waktu purnakan hari-hari permai memakbulkan jasad ruh. Melesat udara bebas lewati ubun-ubun diberkahi pancaran hidup.

Tatkala bulan menghampiri, malam di dadanya gemerlapan, turun menterjemah kidungan wengi membahana ke relung dalam. Diartikan malam-siang penuh kekhusyukan melebihi perhatian. Teliti membaca tiap larik melanggengkan nilai-nilai sedang dilayarkan, berfirasat memastikan duga dari ribuan tanya terjawab pelahan.

Jam-jam menyusuri sungai dengan nada-nada naik-turun mengikuti irama ditentukan nasib. Batu-batu reranting patah terjatuh mengingat pemberhentian, meski sejenak denyutan cekung. Mengangkat dedaun silam kecolkatan dihantar ke pinggiran pohon-pohon masih tegap di depan.

Minggu masuki minggu bawakan kabar pergantian musim mematangkan bathin. Perubahan taburi peputik kembang menyapa alam dengan keseluruhan indra berdenyutan semesta makna, atas perbendaharaan merambahi sekujur persendian jiwa. Sedang hati selaksa tanah, jantung ialah udara memompa.

Barangsiapa melihat jasadnya tampak biasa ataukan keliru jika pendekatan didasari mata. Apalagi waktu bertambah usia, keriputlah penalaran dan kian kabur mencipta pusaran ling-lung. Kecuali berlantas kalbu bertafakkur menyapu kehilafan atas kecerobohan, bertekuk lutut di sudut mengumpul satukan pecahan takdir mendera.

Dalam dirinya teramat berat memikul tanggungan umur, jika tak mampu menyelai persoalan bernafasan harum. Diteruskan fajar datang berulang-ulang berpandangan selalu takjub semburat lukisan kehidupan. Dipelajarinya suntuk kedalaman berabadi, kelak suara jauh menantang dari lingkup kekinian.

Di kedalaman dirinya duka bahagia mengalir indah selaksa sajak digurat tepat waktunya, menggugah keseluruhan umat dimasa-masa dirindu kemunculannya. Ini takkan terganti meski sakitnya sepadan, sebab ia dinaungi cahaya paling timur pembuka jagad raya.
***

Johann Ludwig Tieck (31 Mei 1773 - 28 April 1853) penyair, novelis, kritikus sastra, editor, penerjemah Jerman. Juga bernama samaran Peter Lebrecht (Leberecht) dan Gottlieb Farber. Belajar sejarah, filologi, sastra kuno dan modern di Halle (1792), Göttingen (1792-1794) serta Erlangen (1793). Cerita pendek pertamanya & novel: Peter Lebrecht, eine Geschichte ohne Abenteuerlichkeiten (1795, 2 jilid), William Lovell (1795-1796, 3 jilid) dan Abdallah (1796), membuat transisi ke romanse, dilakukan pengolahan drama satir, cerita legenda kuno dan cerita rakyat diterbitkan berjudul Volksmärchen von Peter Lebrecht (Fairy Tales, Peter Lebrecht) (1797, 3 jilid). Karya ini mengandung parodi teatrikal Perrault Puss in Boots, yang menyatakan satir dunia Pencerahan Berlin. Tieck menunjuk arah novel romantis Novalis dan Joseph von Eichendorff. Ini manifestasi awal antusiasme romantis seni Jerman klasik. Tieck menikah 1798 di Hamburg, putri pendeta Julius Gustav Alberti tinggal di Jena 1799-1800, bersahabat Agustus Wilhelm Schlegel, Friedrich Schlegel, Novalis, Clemens von Brentano, Johann Gottlieb Fichte dan Friedrich Wilhelm Joseph Schelling. Kelompok ini melahirkan Romantisisme awal. Tieck memberi contoh teori sastra yang dikembangkan Schlegel pun sebaliknya. Menerbitkan terjemahan Don Quixote oleh Cervantes (1799-1801). Bertemu Goethe dan Schiller. 1801 pindah ke Dresden bersama Friedrich Schlegel. Himpunan novel (1852-1854, 12 jilid) menunjukkan bakat narasinya besar. Di antara cerita penting: Die Gemälde, Reisenden Der Die Alte vom Berge, Die Gesellschaft auf dem Lande, Die Verlobung, Musikalische Leiden Des Lebens und Freuden Überfluß dll. Cerita sejarah penting, griechische Der Kaiser, Der Tod des Dichters, terutama Aufruhr yang belum selesai di ruang Cevennen. Kisah ini tak hanya pesona juga karakter penuh warna pula makna puitis mendalam khas gagasan. Terakhir, Accorombona Victoria (1840), terinspirasi kehidupan bangsawan Italia Vittoria Accoramboni, lahir di bawah pengaruh Romantisisme Prancis, meski kaya palet digunakan tak banyak diterima pembaca. 1826 menyempurnakan terjemahan Shakespeare oleh Augustus Wilhelm von Schlegel serta diterbitkan tulisan dari Heinrich von Kleist, diikuti karya-karya lengkap (Gesammelte Werke). Die Insel Felsenburg Johann Gottfried Schnabel, kumpulan tulisan Lenz, Shakespeares Vorschule (enam drama Shakespeare ke waktu sebelumnya), dll. Pada 1841 Raja Frederick William IV dari Prusia, penyair diundang ke Berlin namun sangat kesepian atas kematian hampir semua keluarga dekatnya, usia tua banyak dihormati tapi rasa khawatirnya kompleks hingga mengundur diri sampai kematiannya. {dipetik dari http://it.wikipedia.org/wiki/Ludwig_Tieck}

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )