(bathin lebih terhadap sejarah)
Nurel Javissyarqi*
Sejarah di atas bumi, tak lepas dari yang dikurbankan untuk perut bumi.
Kerajaan Majapahit masih hadir dalam bathin saya, dan di benak pembaca terdapat rekaman sejarah. Tulisan ini bentuk upeti dari kadipaten Lamongan, dipergunakan untuk kedatangan di bencah tua tlatah Jawa. Mojopahit (Majapahit), yang kini lebih dikenal sebutan Mojokerto. Perubahan nama itu tak kurang usaha menghapus pamor, agar kelak tiada pemberontakan di negara Indonesia dalam bentuk apapun, itulah yang saya tangkap.
Sebelum jauh. Kenapa saya sering menulis kata batin pakai h atau bathin. Sebab diri ini tak kuasa menghapus unsur-unsur ruh dwipa. Yang resikonya tentu tidak dianggap mengikuti cara-cara wajar (umum). Namun saya bertanya: Apakah bahasa Indonesia sudah benar-benar matang secara jasad dan ruhaniah? Yang pengambilannya berawal dari bahasa melayu sebelumnya.
Usia dan usaha bahasa kita belumlah mapan, masih banyak kepincangan. Semisal kata “semi” bisa berganda arti. Semi bermakna kan berkembang. Semi yang bernilai lain semisal film semi, dsb (belumlah mandiri kalau tiada kata lain, jika diambil pemaknaan). Sejenis kata “bisa” dapat bermakna “dapat” dan “bisa” yang berarti “bisa-“nya ular. Ini tepatnya pekerjaan orang kuliahan mengurusnya. Atau dalam bulan bahasa, seyogyanya diperbincangkan. Jangan-jangan informasi yang masuk ke telinga saya belum purna? Inilah enaknya bodoh, bisa menabrak ke sana-kemari, tak sopan pun jadi, daripada para korupsi (jangan-jangan bahasa kita sudah dikorup? Tapi saya kan menambah huruf h).
Ini gerak alam bathin saya, kalau tak nyastra jangan kecewa. Sebab saya tak merasa seorang sastrawan. Telinga ini masih asing mendengar tersebut. Atau keganjilan itu dikarena tulisan saya belum banyak nongol di koran. Mereka boleh membungkam mulut ini, tetapi gerak bathin tetap menjelajah. Di sini sejarah di balik kesadaran tampak, alam keyakinan manghantarkan kekukuhan, keabadian kerja. Ketika seorang seyakin-yakinnya, hal itu kan menelanjangi bathin pembaca. Andai bobotnya serupa, keyakinan saling berhantam di udara, laksana santet atau telur busuk yang pecah.
Keyakinan bukan kebusukan jiwa insan (tak seorang pun tak memiliki iman), minimal ia terheran atas proses alamiah tubuh serta usaha hayatnya. Walau ia bernalar tanpa keyakinan. Ini timbul lantaran melihat belum ada tulisan manusia jikalau dikumpulkan menguras lautan, apalagi tujuh samudra dalam pengambilannya sebagai tinta hitam makna.
Sejak lama saya mengimpi-rindukan tlatah Majapahit secara seksama, bagi banyak orang sekadar Mojokerto. Saya rindu tlatah Sumatra sebab di sana ada nyanyian halus puitika, sedang ke Mojokerto dengan kepatuhan spiritual akan bencah tanah tertua. Jadi teringat keluhuran bathin leluhur. Kerja sejarah berkeringatkan semangat. Ada bilang keruntuhan Majapahit sebab kejahiliyaannya. Tidakkah kita tahu, sejarah itu milik yang berkuasa, banyaklah nabi-nabi palsu bersabda. Jadi tinggal siapa bicara, itu saja. Tapi kekuatan bathin tak bisa disejajarkan. Ruh dari ruh moyanglah membangkitkan kerja kreatif kita.
Kita tak memiliki dinaya selain restu moyang dihantarkan kepada Yang Kuasa. Bagi orang cerdas susunan ini ngelantur, tak apa. Saya sadar ketololan ini, memperturutkan kebodohan bersama kaki-kaki diajak pergi angin kembara. Jiwa kita sering tergiur sesuatu yang baru, datang ke kepulauan itu. Padahal kita memilikinya. Tanah leluhur memberi restu, tinggal ambil sekemampuan masing-masing. Tidakkah setiap jengkal tanah pertiwi diperoleh berkucuran keringat, harta, tanah dan nyawa. Maka nalar-nalar asing seharusnya diwaspadai. Pun bentuk tingkah-pakolah perpolitikan, taklah sebanding dengan kesungguhan meyakini yang terkerjakan bathin, berkarya membongkar puing-puing sejarah. Menjelajah membawa angin berkah bagi siapa tengadah menghirup intinya.
Sejarah takkan terelak terus berulang. Dalam istirah, mengumpulkan yang sudah terkerjakan. Di sini harus bekerja semakin giat, saat nalar-nalat profan terlelap. Menenteng keyakinan bathin tuah tetap kokok tak berubah. Jawa, Sumatra dan kepulauan Indonesia sebagian besar, tak berbeda tlatah Mesir, India bertanah keramat, serupa tanah suci Makkah. Pembaca tentu menerima, kekeramatan tersebab banyaknya darah tercecer, kepala tertebas leher. Kesadaran kepada moyang yang banyak berkorban demi hayat kemanusiaan, yang dicuri, dirampas para pecundang, penjajah dls. Seyogyanya kudu lebih menyadari, tanah ini sungguh tumpah darah syah kita.
Usah ragu, reguk dan teguk. Keyakinan sebagai pemilik, daripada nalar-nalar impor yang ditelan mentah-lantah. Saya tak pugkiri harus belajar yang lain, nyatanya Timur-Barat setubuh, selogam mata uang memiliki wajah berbeda. Kita punya muka kalau tengadah. Jika kalimah ini tak berbau sastrawi, harap maklum sebab kedatangan saya ke Mojokerto, Majapahit saya juga, membawa bendera itu. Mungkin ini sudah nasib, tiada impian jadi sastrawan. Jika teringat masa kecil begitu bodoh, kerap tak faham pelajaran di samping tak naik kelas.
Saya bangga membawa kebodohan ke mana-mana. Dengan itu, lambat laun semoga terkikis. Saya tak bisa menutupinya, sebab termasuk olang lugon, itu komentar teman dekat saya. Diri ini bukan terdidik, berangkat dari autodidak nekat. Setidaknya kejujuran tak mempelesetkan terlampau jauh dari niatan pertama.
Balik ke pemahaman judul. Maha batin, maha bathin, maha bathein, menjelma Mahabbathein. Kalau menurut coraknya, berasal dari bahasa India (mahabbat), terus masuk ke belahan tanah Arab (mahabbah), lantas menuju ke kepulauan Melayu diambillah kisahnya mengenai Dewi Sinta, terbentuklah kata cinta. Di Jawa kata cinta adalah “tresno” dari pengambilan cerita Krisna. Atau senjata keris, pisau memiliki kelok kalau masuk ke dada, irama rasanya “kres.” Atau cinta itu sesuatu tertancap di dada, jantung pecinta. Ini ngeranggehnya sukma, moga tak jauh dari sejarah perbahasaan yang ada.
Oh Sinta, Oh Cinta. Tidakkah ini kehebatan imaji nenek moyang kita yang mengubah irama Sinta membentuk kata cinta? Kisah-kisah semisal Mahabbaratha menjadi keunikan tersendiri di tanah ini atas kreativitasnya. Dan bukan wujud penjiplakan, tapi kesantunan belajar kepada budaya lain, demi kekayaan bathin kebudayaan kita. Indonesia itu, tumpek-bleknya kebudayaan dunia, yang diameternya di Jawa. Saya rasa tak perlu iri atau ditakuti, sebab nyatanya telah mendarah daging di setiap lapisan masyarakat, kalau tak ingin cacat sebab mengindahkan kekayaan bathin sendiri.
Saya beri judul Mahabbathein Sejarah, agar sungguh mencintai perjuangan moyang. Jangan terlalu mengacungkan jempol pada karya-karya bangsa lain, dengan menginjak jerih payah pribumi, meski nyatanya karya kita belum mapan. Kebelumdewasaan itu bukan berarti lantas dibuang. Tidakkah yang senantiasa berproses menuwai hasil, ini selidik nalar sejarah. Karya-karya terbakar, pun abunya dihanyutkan ke laut. Tetap mencipta nilai-nilai bagi memiliki kehendak leluhur. Sanggup menyedot, menumpahkan kembali menjadi kalimah segar seirama. Alunannya lebih cepat oleh dialogis zaman informasi yang membantu kelepakannya.
Bagi guru bahasa atau jurusan bahasa, maaf. Saya masih sering menulis kata kalimat dengan kalimah. Menurut bathin ini lebih nyaman, sebab kalimah berasal dari bahasa Arab. Dan saya menganut agama yang dibawakan kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang kesejahteraan intelektualnya bagi seluruh umat di dunia seisinya. Saya jadi malu kepada yang cerdas membaca tulisan ini. Kalau sungkan diteruskan, nanti wajah mata uang yang satu tak kelihatan? Atau ini perasaan saja mengenai para pembaca. Jangan-jangan baru melihat judulnya, sudah tidak bergairah. Tak apa, setidaknya setiap tarikan nafas diganti nafas-nafas lain, bertambah lebih dan lebih. Kelipatgandaannya mengatur nyawa membentuk gugusan sejarah, yang menghantarkan timbulnya peradaban.
Bagi tak yakin kedirian ini dianggapnya mengacau, nyerocos kesurupan. Setidaknya gaya-gaya ngelindur memiliki pijakan realitas sendiri, sejarah dibalik tubuh mempunyai nyanyiannya. Dengungannya lebih jelas dibanding teks-teks yang mudah dilupa. Sebab teks terhadirkan bukan sekadar jembatan beton, tapi yang berayun-ayun ketika kendaraan berat lewat. Ayunan ini nafas makna sesungguhnya. Teks bisa dihapus, dapat dibakar. Tapi mata bathin penyaksi, menemukan teks yang terbakar berkelebar memberi informasi laksana kilap. Di sini bukan tengah berusaha mensugesti, andai ada mengatakan itu. Setidaknya sebagai alat bantu kesembuhan bagi budaya yang sedang sakit. Semacam pertolongan awal sebelum menginjak namanya keyakinan. Jika pembaca tak memiliki kepercayaan pada orang lain sama sekali.
—————
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, karanggeneng, Lamongan.
3 Mulud, senin pon 1941, 11 Maret 2008, untuk acara 13 Maret 2008 di DKM (Mojokerto).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar