Nurel Javissyarqi*
Memitos, istilah saya untuk menyebut kebalikan dari kata jangka (ramal, meramal). Di Jawa ada pengistilahan ngerogo sukmo, semacam meranggehnya sukma. Maka memitos sejarah, serupa ngeranggeh cerito atau merengkuh cerita lama. Sejenis membongkar ingatan di bawah sadar sejarah bathin-raga kemanusiaan. Ini semoga bukan bentuk kelebihan hormon pengarang.
Ketika waktu memberi tempat bagi manusia, maka segera hadir temuan-temuan yang berlangsung dari alam bathin fikirannya, sebagaimana tergambar pada karya patung Auguste Rodin (1840-1917), Homo sapiens.
***
Saat itu, alam raya masih akrab awan-gemawan, pegunungan, embun dedaunan murni, serta gegua yang belum terjemah-jamah kemanusiaan. Sebelum jaman batu, pahat juga ukiran. Sewaktu warna menjadi tolak ukur pemaknaan, bentuk menjelma simbul pengertian, di sini peradaban mulai bergerak.
Sebelum lontar dan hitam tinta ditemukan, hitam-putih pencahayaan, menajamkan bayangan makna. Dan suara-suara mulai berkembang, bergema jeritan serta tangisan sampai menemuan vokal.
Waktu itu, pewarna hidup menjelajahi kehendak kelestarian. Betapa relief-relief dalam gua sebagai saksi pelajaran akan bebentuk pepohonan, hewan-gemewan, segala macam terus diterjemahkan ke dalam wujud huruf. Ini penyederhanaan yang sangat menakjubkan, pemadatan yang mencapai kebakuan huruf-huruf Arab, Cina, Jawa, Abjad, Romawi dan lainnya.
Hal itu terjadi serentak, Tuhan mentakdirkan gelombang seirama melingkupi gravitasi bumi, yang tercurah dari ozon Keilahian pada sap langit terendah. Apapun terjadi sebab kehendak menguasai, lagi berkuasa menentukan gerak kehidupan serta misteri dalam kuasa-Nya.
Lalu manusia mempelajari kehendak-kehendak terahasia. Inilah leloncatan menyepadankan imaji tercerah dari batu sandungan, semisal kesadaran atas kesalahan langkah. Dan manusia, makluk paling cerdas dalam memperbaiki jalannya kisah, demi langkah selanjutnya.
Sementara sejarah sastra di balik selisipan peristiwa tersebut. Terlihatlah dalam mitos, bahwa awal kali karya sastra dengan kata-kata, bukan hadir dadakan. Diawali surat-surat rahasia seorang raja kepada panglimanya, dan dari penguasa satu ke lainnya, ini yang muncul di permukaan. Sedang orang-orang bijak telah berkidung sebelum adanya alat kata, suara-suara itu terekam turun-temurun ke batok kepala anak-anaknya semacam sastra lisan.
Kiranya sampai pada tahap kelembutan budhi, manusia mulai mengkawinkan keindahan alam, kelestarian lingkungan dengan tragedi yang berlangsung di sekitar, tersimpan pada guratan di tulang, kulit bambu juga di tebing kesaksian keadaban.
Hal ini seiring lahirnya sulapan atau sihir, dan pengalaman akrobatik sebagai penghibur, menghipnotis sesamanya. Tentu dalam kepanjangan ini, status atas keahlian yang menentukan kedudukannya di mata wilayah tersebut. Menjadi sadarlah, bahwa pengolahan bathin, penajaman jiwa, mampu mengungkap kerahasiaan alam-ketuhanan, menjadikan dirinya nyala obor kemanusisan.
Ini didasari tersadarnya insan oleh sebentuk lupa, maka catatan menjelma hukum kebijakan, demi kelangsungan mata rantai peradaban. Seperti halnya catatan bisa usang pun terbakar. Tetapi akal budhi siapa menghilang? Inilah kelebihan yang dimiliki insan berpekerti. Sanggup membaca gejala alam serta dirinya, menjadi manfaat kala terjaga, menjaga nilai-nilai insani.
Serentak maju kesimpulan ini sebagai pengantar bahwa kesusastraan tak lahir tiba-tiba, tapi melewati proses, tumbuh di dalam proses, proses itu saya namai reingkarnasi puitika, atau kedalaman merengkuh, meranggeh kesempatan demi lebih baik. Dan wewarna-rupa gelombang-suara, masing-masing memiliki maksud tujuan kuat, meski impian ideal pada arti sesungguhnya, atau hakikat yang diinginkan berupa khak berbeda rasa.
Kata mitologi, karya sastra lahir dari perayu. Para perayu itu melukis kecantikan yang dirayu, dengan keindahan yang tampak di permukaan bumi, pun rayuan akan alam tak terabah, tidak terjangkau indrah. Ini kemauan luar biasa insan pada pengetahuan kegaiban, jagad ganjil di ruangan diri. Saat itu, gerak masa menimbang kekuatan akal budhi, lalu Tuhan meniup firma-Nya. Inilah waktu ditentukan, dibatasi.
Waktu pencarian akan kesejatian hidup berketuhanan. Kenapa harus bertuhan? Secara singkat dapat dijawab, kegaiban ruh siapa sanggup menjangkau? Ini permasalahan yang mengikut-lingkup perjalanan, kelemahan tak sempurna. Dan kesadaran akan ketidakmutlakan dirinnyalah, yang mengharuskan bersandar pada kata kepasrahan.
Kenapa pasrah? Manusia bisa pegal-membosan serta berlalu sia-sia, ketaksadaran yang sanggup membuyarkan kehidupan, minimal meruntuhkan sejarah dirinya. Maka tidur istirah, merupakan penghimpun kekuatan demi langkah selanjutnya lebih mantap. Dan kesusastraan, semacam tanah belum terolah, kata-kata kaku yang kudu digemburkan, agar menjadi ladang subur demi menyegarkan pepadian, tampak indah dipandang dan harumnya dinanti semua orang.
Ini daya rayu terhimpun -menjadi penikmat tersedot dalam grafitasi- hasil penciptaan. Mungkin ini bersamaan ditemukannya magnit pertamakali di Megnesia. Para perayu diawali para utusan. Kenapa mengembangkan jiwa rayuan? Sebab dengan itu, umat manusia taat mengikuti, dan sifatnya berupa kasih sayang.
Tuhan mengembangkan cinta kasih ke bumi, demi cahaya pewarnaan dalam kehidupan. Ini perangkat rindu pun kidungan menjelma nyanyian yang dikumandangkan demi menyembuhkan haus-dahaga alam spiritual, bersamaan kemakmuran alam material. Lalu orang-orang setelahnya mencontoh jiwa utusan, demi mendapati umatnya menerima aturan, dengan rindu diselesaikan lewat ketaatan, peribadatan.
Terompet keimanan menghibur telinga, yang tidak curiga tetapi kecemburuan yang menajamknannya. Kecemburuan ingin dikasihi elusan lembut ayat-ayat sahaja. Ini lirikan mata bathin memandang kecantikan warna spiritual. Lirik yang meyelaraskan jalannya penceritaan keindahan, segar diteguk ketika dalam kepahitan. Atau menambah sedap saat tidak dalam selera makan.
Suasana lagulah menajamkan rindu, serupa perayaan kala kerjanya cinta berjalan terngiang-ngian, membangkitkan dinaya dzikir menghidupkan kalbu senantiasa. Sebab perjalanan insan memiliki daya tangkap berbeda, yang sampai menyesuaikan karakter pendengarannya. Ini menghadirkan lahirnya pelbagai aliran, sebab daya tangkap perasaan yang menentukan sikap-warna bilamana diwujudkan lewat karya.
Semacam anak-anak sungai filsafat dari tujuannya, awan menjelajah pada laut pengertian, obyektivitas kenyataan musti ke sana. Di sini tergantung kelincahan arus sungai melompati bebatu, mengajak reranting ide dilayarkan. Atau daun-daun terjatuh ke sungai ide, sesegar asal kesakitan yang dialaminya.
Itulah jalan belajar perayu atas kehendak Perayu. Dan nurani bermekaran di taman pemilik kalbu yang tak terpagari keangkuhan, sebab rerambatan dedahan mempercantik jiwa bunga-bunga. Atau harapan akhir sang dahan, menanti dipersembahkan di telinga perkawinan budaya, serta untuk permandian suci, pun demi rangkaian belasungkawa pada yang dicintai.
Ini alam perjuangan insan, perjumpaan hangat dunia kasmaran. Layunya sang bunga seperti kematian insan -kepasrahan karya. Maka kerelaan yang membangkitkan putik-putik sari bermunculan di musim semi pasurgan. Kebahagiaan itu niscaya setelah melewati kematian, sebab kebanggaan hidup takkan kekal -berserakan.
Tidak bias padanan ini, jika digayuh bersama jalannya penciptaan yang telah ada dan seterusnya. Ini sebanding melayang jatuh mensejarah. Serpihan ini, ibarat dedaunan yang diambil kawanan burung untuk sarangnya. Dan masih berusaha mencari pasangan, demi meneruskan keturunan. Menyedot sayap gemawan, tanpa mengepak pun jauh beterbangan. Semacam pengapungan logis, tanpa sayap tanpa warna tanpa kata, ibarat angin berhembus di kulitan-(ter)rasa. Maka kekulit hati paling sensitif yang cepat merasuk, terserbuki pancaran ini cahaya.
Saya kira sudah cukup, semoga tidak membuang waktu juga mengotori kertas percuma, pun menghabiskan tinta tiada guna. Semoga kepasrahan yang kudu ditindak-lanjuti setelah membaringkan diri mengapungkan badan. Tersebab angin terus mengitari bumi menghitung usianya. Demikian saya tutup dengan perkataan Muhammad Iqbal;
Tujuan warna, bukanlah hanya keadaan kesadaran kita sekarang, tetapi juga membuka arah masa depannya. (dari buku Annemarie Schimmel. Berjudul, Gabriel’s Wing; A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal).
***
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jatim, Okt 2004.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar