Kamis, 08 Juli 2010

DESAKU MENEBAR FILSAFAT AYU

Nurel Javissyarqi*

“Fikirkanlah coretan-coretan di dinding Ibukota, adanya istilah MERDESA, sebelum meletusnya balada pemberontakan anak-anak Jatinegara”

Desa itu daerah kendali perekonomian kota. Tata letak spiritualitas pemampu berpeluang menentukan gerak-gerik bangsanya. Sekilas terlihat orang desa berkiblat pandangan kota, padahal orang kota tidak asyik lagi menatap kesehariannya. Dari desa-lah terpelihara keindahan nurani, kemanusiaan agung terpanggil menciptakan atmosfir damai. Dan tranformasi keilmuan merata di setiap sudut-sudut terpencil, ketika orang kota melupakan berkah ilmu, sebab terbius jasadiah.

Sewaktu orang-orang desa mengetahui seluk-beluk kelicikan kota, mereka kembali ke desa, bercerita mengenai kesejatian kembang hayat. Tampaknya orang kota lewat berbagai wacana, namun sewaktu dunia informasi kian terbuka, orang desa berusaha memahami keingintahuan hidup. Lalu lahirlah pandangan hidupnya, dalam menyinauhi jarak perkembangan. Serta lebih punya banyak waktu memetik segala menjadikan ranum, atas lahan renungan lebih berketenangan, tanpa diracuni asap-asap dupa kepentingan pribadi.

Buku-buku keluaran nalar pedesaan mulai merangsek, mengepung mata kota sampai podiumnya. Di mana orang-orang kota tak lagi suntuk membaca situasi peredaran pemikiran -berbangsa, sedangkan orang desa memetiknya tanpa jiwa emosional yang sesat, lalu mengeluarkan pendapatan gemilang, ketika masyarakat baca mengukur kedalaman renungan, sebagai pencerna alam fikiran.

Ini keunggulan tampil ke muka, sewaktu orang desa melewati keterpencilan harum, sayap-sayap berkeindahan, menebarkan nalar kesejahteraan -kemanusiaan. Burung-burung bertengger di dedahan berdaun hijau, merawat angin peradaban; kesahajaan, kedamaian, dari jarak kekacauan, kebencian cemburu yang ditebarkan mata-mata kota.

Pedesaan itu ketentraman tak terusik keremangan licik, tidak spekulatif dalam menata bathin, menyungguhi hayat bersikap teguh demi kemakmuran sesama. Memang hidup tanpa persaingan akan sepi, namun tidak demikian pandangan kekinian, menemukan kesadaran peluang di dalam menyuntuki bangunan berbangsa -bernegara.

Menyaksikan keanggunan kembang desa mengutamakan tegur sapa, berciuman mesra tanpa curiga, saling memberi nilai bertukar kasih, menebar kebahagiaan. Ini menghadirkan jiwa-jiwa persaudaraan, bahu-membahu menambah informasi ketenangan. Sadar memiliki ruang-lah, sehingga orang desa terus mengeliat mengembangkan tubuh alamiahnya.

Saling gencet orang kota, merusak payung paguyupan. Jelas orang desa tak tersentuh efek tersebut, dengan berbalik ke bilik hati masing-masing, sambil terus menebarkan angin tropis nurani. Orang-orang desa menyuguhkan fikiran rahayu, mimik muka jernih, saat melihat beratnya pandangan orang-orang kota dalam lingkup derita hayati.

Namun mereka menyimpulkan faham, bahwa orang desa itu cengeng. Tidakkah tampak kegigihan petani, keteguhan menjalani hidup berperalatan sederhana, memperoleh uang secukupnya tidak kemaruk. Adalah nilai kebaikan bukan banyaknya termiliki, tapi manfaat maha mutu bagi semua.

Jiwa-jiwa berkembang, selepas prosesi panjang menghamili makna atas gerak jaman. Menebarkan pesona keindahan yang berkumandang tanpa periklanan, lewat bathin perasaan bertukar nilai fikir hasrat positif. Saya memahami pengembangan jiwa filsafat rahayu, dipantulkan alam pedesaan.

Pedesaan masih menikmati keindahan bulan, gemerlap gemintang juga tak ketinggalan mengetahui terangnya kota-kota tipu-daya. Apa yang disodorkan di etalase, bahan pengawet, kecantikan absud, yang tak berlanggam kemakmuran hakiki, tidak serupa laguan pesawahan jiwa yang memperkaya bathiniah.

Semenjak dulu, kota ialah pedesaan nurani bagi sang penggali kenangan. Jika sekarang tampak orang dusun tercebur dalam perangkap kelicikan, menjadilah bagian penjilat. Manusia-manusia desa, kukuh menegakkan kaidah keadilah jiwa, sebelum para hakim faham alunan sebenarnya. Desa menancapkan bebulir sahaja bagi anak-anaknya, yang dilahirkan kasih sayang, bukan jalan paksa, apalagi aborsi atas dihantui biaya hidup yang menekan-nekan urat syaraf.

Tentu orang-orang kota menyadari, bahwa nilai-nilai mereka terbangun atas sokongan kaki-kaki lincah penduduk desa, hanya kemunafikanlah membuang muka, atau melihat dengan rasa kesombongan melupakan sejarah kesejatian. Barang-barang mengkilat itu hasil kerja keras pencuri naluri orang desa; yang tak berasa malu memiliki, yang tidak memberi manfaat diri, apalagi orang lain.

Jika ini terlihat datar atau sentimentil, belajarlah dalam jiwa lain, agar yang terbangun tidak melupakan awal perjalanan, kalbu sebelum berangkat bekerja, mempertimbangan sedurung menjalankan putusan. Ini sungguh cantik yang memupus gejolak jiwa, lewat angin kelembutan desa.

*) Pengelana, 4 Juni 2006. 08 Jakarta - Lamongan.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )