Minggu, 30 Mei 2010

1876, Ruh Puisi Arthur Rimbaud di Salatiga

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Ruh puisi sebelum dituangkan penyairnya, masih mengawang di langit-langit bathin penciptaan. Betapa menggumuli cahaya rasa itu amat payah. Laksana air direbus di atas tungku dengan nyala api keabadian.

Mematangkan zat-zat pengalaman hingga tiada bakteri tersisa. Dari sana hadir kejelasan awal, tersugesti jiwanya sendiri demi memuntahkan gejolak terkandung lama. Sekelahiran musti, sesudah rindu tak tahan terbebani.

Kepercayaan terbit memusnahkan pekabutan was-was, tenggelamkan keraguan. Sirna bayang ketakutkan selama ini menghantui percintaan. Dalam peleburan ruang-waktu yang selalu digembol bersama kesadaran.

Tercapailah kata-kata dari mulut pena, menggambar di lelembaran kertas, memahat kayu kesaksian. Takdirnya melayarkan sampan nurani demi pelita umat manusia.

Kala raga bathin sukmanya dibuncahkan kepenuhan, menjalarlah dinaya kepenyairannya melalui jari-jemari cekatan menari dan terus-menerus bergetar.

“Putra Shakespeare” julukan dari Viktor Hugo (1802-1885) kepada Arthur Rimbaud. Menatap bayang dirinya tertimpa cahaya silam. Berbinar-binar matanya diruapi ruh nenek moyang terdekat. Membimbing jiwa-jiwa tidak jerah, kian kukuh beriktiar dalam pencarian.

Sampai titian akhir dirampungkan karyanya, dipelototi berulangkali di sana-sini. Dipangkas disesuaikan lebih manusiawi atau indrawi dari keadaan sebelumnya. Disimpan dalam kotak rapi, sebelum jarak penantian mempelajari yang berkisaran antara dirinya selama ini.

Kesungguhan berlanjut setelah keraguan menghantui balik, kecemasan diangkat kewaspadaan. Diambilnya catatan lalu, dibacanya keras-keras dalam bathin dan bersuara lantang. Di sinilah penyesuaian akhir terjadi.

Penggalan tiada ampun pada diri sendiri, pilihan kata melebihi jatuhnya hukum pancung. Warna diselaraskan melodi diseiramakan. Mematangkan hembusan perubahan yang selalu dikendarai. Jika ragu disimpan lagi, kalau dirasa purna diyakini berkesaksian akhir seperti awal kelahiran.

Bernard Dorléans dalam bukunya “Les Français et I’Indonésie du XVIe au Xxe siécle” menyebutkan Arthur Rimbaud berada di Jawa tahun 1876 sebagai anggota tentara Belanda. Kini izinkan diriku menafsirkan salah satu puisinya bertitel “Chanson De La Plus Haute Tour” dari buku Sajak-Sajak Modern Prancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, Pustaka Jaya, 1972:

LAGU MENARA TERTINGGI
Arthur Rimbaud

Datanglah, ya datang
Saat bercinta.

Aku sudah begitu sabar
Hingga semua kulupa.
Derita dan gentar
Ke langit musnah.
Dan haus maksiat
Membuat darahku pucat.

Datanglah, ya datang,
Saat bercinta.

Bagai padang
Terbengkalai lupa,
Belukar dan kemenyan
Tumbuh dan berbunga
Dalam dengung liar
Lalar-lalar kotor

Datanglah, ya datang
Saat bercinta.

Rimbaud, membangkitkan masa-masa penuh gairah dari dasar dirinya. Dinayanya diangkat melambung memenuhi panggilan jauh. Atau pribadinya yang menyerukan sebab musabab.

Lantas wajah-wajah berdatangan, berduyun-duyun mendapati kemungkinan. Kasih sayang menggebu dilumati rindu terdalam. Bersamanya segala ucapan mencipta atmosfer besar dalam rahim semesta.

Menebali keyakinan pada semua insan, laksana takdir digariskan. Tidak goyah meski seluruh penjuru dunia hendak menggagalkan. Itu ruh bathin mematangkan suara-suaranya menuju relung terdalam, kalbu jaman.

Kesabarannya menanti melululantakkan bangunan sejarah silam di atas timbunan kenangan pedih. Bebunga karang ingatan disapu hantaman gelombang atas luka-luka menggaramkan diri.

Hingga rasa gentar jua was-was, hanyut terseret arus hasratnya tak terjamah kembali. Musnah kecuali kehendak sah dan peleburan nafsunya memucatkan wajah-wajah ayu seampas tebu.

Atau kekelopak kembang layu oleh angin sayu mendadak menuakan waktu. Buah apel keriput sebelum terjamah jemari halus. Rimbaud memanggil kedatangan bayu bukan kemanjaan, namun pesona sumringah seasmara maut.

Datang angin purba membentur-benturkan mata anak-anaknya, pada bebatuan tebing meruncing legam. Di sana lelempengan waktu bersimpan hikayat kerinduan.

Tanah longsor menimbuni suara-suara lama, kini tergerus bayu pantai meniup tulang-belulang ribuan tahun silam. Yang terpendam menjelma batuan kapur, sepucat getir hujan dini hari.

Melupakannya kesadaran akan berpindah atau telah muksa. Kematian kekasih membayangi tercinta, terus mengharumkan percumbuan lekati bibir mengatup bergetaran.

Beterbangan seawan hitam melahirkan masa-masa menggoyang rerimbun kekokohan. Menara tertinggi kehadiran kala percintaan: maut selalu dirindu para pencari jalan keabadian.

Menjalarkan api abadi ke lorong-lorong buram. Hantu-hantu dibangkitkan bukan kangen, tapi petaka menimpa lama tersia.

Ngeri derita luput ke langit merah. Di padang-padang binasa berlipat amarah, datang sewaktu bercinta penuh gairah.

Demikian tafsiranku kali ini. Untuk riwayatnya aku petik dari buku Puisi Dunia, jilid I disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952:

Jean Nicolas Arthur Rimbaud (20 Oktober 1854 - 10 November 1891) penyair Perancis lahir di Charleville, Ardennes. Seorang berpendidikan agama, mula pendiam tapi tiba-tiba berontak meninggalkan sekolah dan ibunya, muncul di Paris pada usia 15 tahun. Langsung mendapatkan Paul Verlaine bersama sekumpulan sajak yang menggemparkan penyair-penyair di Paris. Yang kelihatan sajaknya berpandangan hayali dramatis. Fantasi serta perasaan halus melamun. Sajak bebasnya lincah, kata-kata yang dipergunakan sewarna bunyi bergeraknya gambar, asosiasi di sekitar satu metafor sebagai pusat.

Dari kumpulan ini mengalir arus simbolik masuk kesusastraan Prancis. Dalam beberapa hal Rimbaud dianggap pelopor aliran surealis, menulis sajak antara usia 15 dan 19 tahun. Himpunannya yang terkenal “Poésies”, “Une Saison En Enfer” , “Illuminations.” Sajak tersohornya “Le Bateau Ivre” penuh lambang peristiwa nasib-nasiban serta lukisan daerah-daerah jauh yang aneh.

Rimbaud tidak normal ini seakan sanggup melihat dengan mata bathinnya. Paul Claudel (1868 –1955) menganggapnya penyair terbesar yang pernah hidup. Setelah hampir ditembak mati oleh Verlaine, tiba-tiba menghilang. Menempuh hidup nasib-nasiban, berbakat di lapangan yang kurang cocok dengan pembawaan sastrawan. Menjadi pedagang gading, menjual senjata kepada Negus. Rimbaud meninggal di Merseille karena jatuh dari kudanya. Kakinya terpaksa dipotong, radang darah menamatkan riwayatnya.

Petikan http://en.wikipedia.org/wiki/Arthur_Rimbaud: tertulis, Mei 1876 mendaftar prajurit Tentara Kolonial Belanda demi berjalan bebas biaya ke Jawa (Indonesia), melakukan desertir dan kembali ke Perancis dengan kapal. Di kediaman walikota Salatiga, sebuah kota kecil 46 km selatan Semarang, Jawa Tengah, ada piagam marmer yang menyatakan Rimbaud pernah tinggal di kota.

Rimbaud dan Verlaine bertemu terakhir, Maret 1875 di Stuttgart, Jerman, setelah bebasnya Verlaine dari penjara. Saat itu Rimbaud menyerah menulis, memutuskan bekerja atau sudah muak kehidupan liarnya. Ada yang menyatakan berusaha kaya agar mampu hidup satu hari sebagai sastrawan independen. Terus bepergian secara ekstensif di Eropa, sebagian besar jalan kaki.

Di rumah sakit di Marseille, kaki kanannya diamputasi. Diagnosis pasca operasi ialah kanker. Setelah tinggal sebentar di kediaman keluarganya di Charleville, melakukan perjalanan kembali ke Afrika. Di jalan kesehatannya memburuk, dibawa ke rumah sakit yang sama. Pembedahan dilakukan dihadiri saudarinya Isabelle. Rimbaud meninggal di Marseille, dimakamkan di Charleville.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )