Rabu, 14 April 2010

Max Dauthendey (1867-1918)

Penyair Jerman yang Meninggal di Kota Malang

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Tatkala insan dari tlatah jauh memasuki alam tropis Jawa Dwipa, meyakini keberadaannya, akan diserap suara-suara gaib.

Kehadiran suara merambahi sekujur badan jiwa, naluriah berkecambah meresapi aura keganjilan.

Nalarnya ditelan pusaran keagungan, yang dicari tapak kehakikian. Kesantausaan hayat ketulusan menebarkan budhi mengembangkan pekerti.

Mendapati restu leluhur atas bencah dipijaknya. Dinaya meruh didengarnya, bisikan tak terlihat namun sangat dekat, melebihi denyutan nadi.

Dibawa terbang menuju pengetahuan tak terhingga, pengajaran tiada di negerinya.

Hingga yakin nasib kata-katanya membuncah hadir, kala anak bangsa yang didiami melestarikan.
***

Ku persembahkan sastrawan Max Dauthendey, dari buku “Malam Biru di Berlin” penerjemah Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H., penerbit PT. Star Motors Indonesia, 1989:

Dialah penyair, pengarang prosa impresionistis, yang seringkali latar belakang karyanya eksotis. Dua kali menempuh perjalanan ke Asia, kedua di tahun 1914. Di tanah Jawa sebagai orang Jerman ditangkap tentara Belanda, sewaktu itu keadaan perang dengan Jerman. Karena terpaksa tinggal di Jawa dan merindu istrinya, Max Dauthendey meninggal di kota Malang. Marilah simak salah satu puisinya:

KEPADA CIKURAI

Oh gunung, yang nyundul angkasa,
Puncakmu nyaksikan jaman segala,
Engkau yang abadi, yang tak dapat menjadi tua,
Tahun-tahun yang berlalu tak mengganggumu jua.
Dan abad-abad yang lewat tiada pula kaurasa
Bila kau sejukkan dahi di angkasa.
Kau telah hidup waktu lelaki pertama
Merebut hati wanita yang semula.
Kau tetap akan hidup bila pasangan penghabisan
Lenyap pada peradaban penutupan.

Betapa penting kuanggap kesusahanku.
Betapa penting hari kemarin, hari ini dan esok.
Kau mengajar melihat jauh di atas keseharian,
Kau mengajar untuk percaya pada keabadian.

Garut 1915
***

Membacanya; tubuhku merinding kepercayaanku terbit, gunung paku bumi bagi orang Jawa, tertancap sudah sampai akhir masa.

Laksana badan dewata berkasih sayang diselimuti kabut dataran tinggi, melahirkan bulir-bulir iman kehidupan.

Menjadi kehendak sah tercapailah awan sebayang-bayang di mata, mengagumi pesona Dwipa.

Ukuran penerimaan nyata dari kehadiran naluri mengejawantah, disadap dirinya merindu rasa.

Jika pulang tak terbilang hari-hari di atas kapal, menyeberangi lautan derita asin garam angkasa.

Tentu merasakan air pertiwi ini betapa murni, bagaikan belaian ibunda bagi anak-anaknya.

Max diguyur derasnya perasaan, seakan lupa sekejapan seperti di negerinya sendiri.

Bathin teridamkan menggetarkan bulu-bulu, merangkum keseluruhan indra pengetahuan.

Aku saksikan kerling bola matanya pada gadis-gadis desa. Senyumnya membumi, sapaannya seperti panji-panji pujangga negeri ini.

Menorehkan kata-kata kalbu kemerah, melihat kaki-kaki lincah menanjaki pebukitan. Dirinya terpanah jantung blingsaran, rindu menggayuh.

Max masih khidmat mencium harum bunga, meski tangannya diborgol penjajah dalam penjara masa.

Mengabdikan seluruh kepada negerinya tercinta. Angin Dwipa kabarkan ketentramannya dilindungi dewata.

Jemari lembut begitu santun membelai kertas, demi mengguratkan selarik kisah. Atas segala deritanya, sampailah ke tanganku.

Pengelana yang setiap hari menuruti nafas kata dari ruh merubah maknawi, sedari getar sukma menetas balada.

Max tak kenali diriku, tapi percaya layangnya menuju naluri diugemi bencah ini, yang dirasa hingga tandas diakhir masa.

Adakah kegembiraan kali itu? Manakala dirinya menyatu getaran jiwaku. Auranya tidak kurang merambahi setiap kalbu.

Demi kabarkan negeri ini menyimpan angin semerbak wangi, anak-anaknya menghiasi kekisah penuh legenda.

Kata-kata Max menandaskan kesadaran hari-hari patut dikaji, selepas dijalani bagi tempaan lelaku jaman sejati.

Setatap mata elang mengeruk pengertian, yang hadir kesuburan faham bau kembang keadaban.

Menyaksikan kaum pribumi berjuang ke medan tempur, demi sedepa-depa ingatan sejarah;

darah air mata bumi putra, menjadi perhitungan kelak di kemudian hari merdeka.

Max tak menyangka di usianya baru enam tahun (1867-1918) di Jerman, pujangga agung tanah Jawa R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) meninggal dunia.

Dirinya seakan diawasi, lelangkah mungilnya diperhatikan; yang tertanda kali ini hembusan moyang terkisahkan.

Dedaun tropis gugur dihantarkan pulang, kering keemasan pengabdian, pepohon tegar bercerita jaman berulang.

Burung-burung menembangkan kepiluan dalam sangkar kepahitan, deritanya padaku, dan pada puncaknya berabadi.

Hatur salam dariku atas guruku, KRT. Suryanto Sastroatmodjo (1957-2007), semoga tuan bersahabat guyub dan damai di sisi-Nya…

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )