Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/
Franz Schubert (31 Jan 1797 - 19 Nov 1828), komponis berkebangsaan Austria. Ketika berusia lima tahun, ayahnya sudah mengajarkan berbagai hal musik. Enam tahun kemudian masuk sekolah musik terkenal di Wina. Sementara itu menggubah karya musik. Lagunya pertama dihasilkan diusia 17 tahun “Gretchen at the spinning whell.” Menjadi guru, berhenti karena perlu banyak waktu menulis karya musik. Demi membiayai hidup sehari-hari memberikan les piano. Kadang menulis delapan lagu perhari. Bahkan tidur tanpa melepas kacamatanya, supaya bisa langsung menulis jika terbangun di tengah malam peroleh ide sebuah lagu. Sebelum berusia 20 tahun, telah menulis enam simponi. Secara keseluruhan menghasilkan sembilan simponi. Karya-karya Schubert meliputi karya musik dalam berbagai bentuk orkes, dengan ukuran berbeda-beda. Menulis 100 lagu, yang sampai kini dianggap terbaik, Ave Maria, Who is Sylvia?, The Trout, dan Serenade. Schubert meninggal di usia 31 tahun, tapi sudah mencipta hampir 1.000 karya musik. {http://id.wikipedia.org/wiki/Franz_Schubert}
Pada suatu persimpangan jalan di sekitar kota Wina, dimana Beethoven sering lewat kalau ia kembali dari jalan-jalan, kerap kali dilihat orang, seorang anak muda menunggu-nunggu di situ. Ia menanti sebab telah menjadi keinginan dan cita-citanya yang tinggi demi bertemu Beethoven. Anak muda itu Franz Schubert. Angan-angannya ini tak terpenuhi. Tidak pernah bisa berbicara dengan Beethoven. Bukankah pada kejadian kecil ini, terletak simpul suatu nasib yang terdapat pada hidup dan seninya? Ia banyak bercita-cita, tapi tak pernah mencapainya. Schubert ialah manusia dengan hati tak peroleh kepuasan, seniman dari yang tak selesai. Banyak tidak terselesaikannya, simfoninya yang terindah, suatu kwartet gesek, trio gesek dan amboi… juga hidupnya. Usianya baru 31 ketika meninggal. {J. Van Ackere, di buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}.
Sebelum jauh mengupas musik Schubert. Aku kan sedikit mengungkap:
betapa berat memasuki selubung nasib seseorang, apalagi dirinya seniman sejati.
Laksana ditimpahi gunung dengan batu-batu besar gagasannya.
Ini sungguh melelahkan, maka seyogyanya melaksanakan dengan kegigihan.
Kala menyusupi ketakdiran para seniman, mendapati resiko berbeda-beda.
Bersesuaian kedirian serta karyanya, seolah menghamili ruh ruhaniah paling rahasia.
Berusaha menggerak-gerakkan kemungkinan intuisinya bekerja.
Sedapat itu, mengolah dengan kehati-hatian, agar tidak lepas dari harapan yang dituju kembangkan.
Kefatalannya bisa terhanyut pula sulit melepaskan diri, dari yang telah dikupas.
Namun pahalanya, sekeluar dari kepompong tersebut, dikaruniahi kemegahan mental luar biasa.
Menambah dinaya menjejakkan mutumanikam raga bathin mensukma, ke tapak-tapak selanjutnya.
Jikalau kucoba mengidentifikasi karyanya, musik Schubert semacam olahan bentuk dekradasi jiwa.
Penurunan kwalitas dari harapannya, perusakan atas kecemasan pribadi. Mimpi-mimpi tak selesai, hantu kerap meneror tiap pagi.
Pun malam-malam suram dijadikan bahan ciptaannya. Seperti diharuskan sesuatu, yang dirinya sendiri tak sanggup mengurai jauh.
Selalu nada-nada puitisnya memancarkan cahaya, lantas berbalik ke dalam diri terpencil.
Menikmat keganjilan itu, Schubert menemukan tempat duduk nyaman. Kala pendengarnya merasai juga, kegetiran yang dialami.
Menggerus jiwanya bersamaan jiwa-jiwa penyaksi, tergerus dalam bunyi-bunyi serupa.
Lengkingan pahit keraguan, dendam tak tersalurkan, rindu mengoyak kalbu kering.
Atau suara menggelegak tetapi putus di tengah jalan nasib teramat sunyi.
Schubert, lambang keterpencilan insan, berontak di alam kesendirian.
Memandangi pegunungan bukan baginya, lautan maha luas pun tidak untuknya.
Hidupnya terpuruk dalam keminderan jiwa teramat sangat.
Kelembutan musiknya merindingkan bulu-bulu malaikat hingga menjatuhkan buliran air mata, melihat sosoknya bersimpuh di sudut kelam jagad raya.
Tidakkah itu memancarkan ketekunan tinggi? Kesemangatan terus ditempa pada legam batu malam, pula hari-hari siang tatapan nanar kecewa.
Rindu tak terbalas menjelma kasih sayang abadi, itu musiknya berkumandang ke belantara umat.
Menyusupi kelenjar kepemudaan, merongrong pori-pori demi berlubang besar. Bahwa dirinya pun memiliki nilai-nilai kemanusiaan sejati.
Retak cermin memantulkan ribuan cahaya, tak hendak purnakan melodi, dibiarkan berserak serupa nasibnya.
Laki-laki bertanggung jawab pada setiap pergulatan bathiniah, dalam keseluruhan menatap masa depan.
Aku bayangkan Schubert senantiasa dalam kejiwaan genting, yang mengeluarkan nafas-nafas terpaksa.
Pada ketinggian gunung di sisi jurang, melarutkan seluruh sepi bersimpan maut.
Digoyang ubun-ubunnya atas keleluasaan angin was-was paling cemas.
Ada pusaran sanggup menerbangkan angan menjadi pahit kenyataan.
Keterlelapan gelap, kesuntukan ganjil, awan dekat menjatuhkan kecupan bening mendiami kekalahan.
Seperti pertemuaan terakhir, perjumpaan dikenang perih, dirawatnya bersama gesekan masa-masa.
Waktu tak banyak memberi kesempatan lega, pengejaran yang penghabisan di tengah laluan.
Atau raut pucat gentayangan, mencari jasad terlupa jalannya pulang.
Pintu-pintu tertutup, telinga-telinga abai, namun terus digemuruhi suara-suara kekekalan.
Hanya dirinya beserta waktu sanggup menterjemah.
Schubert menghela nafasan panjang, tarikan tersengal gejala keabadian.
Meruapi tubuh di antara tumpukan buku kilatan cahaya, keluar-masuk melalui kelenjar kepalanya.
Menghujam ke jantung hidup. Nafas-nafas cemerlangkan yang rela menyemai musiknya, atas kekhusyukan jiwa muda.
Buah-buahan mentah segar, demi merangsang pertumbuhan janin pemikiran umat manusia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar