Rabu, 14 April 2010

Franz Schubert (1797-1828)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Franz Schubert (31 Jan 1797 - 19 Nov 1828), komponis berkebangsaan Austria. Ketika berusia lima tahun, ayahnya sudah mengajarkan berbagai hal musik. Enam tahun kemudian masuk sekolah musik terkenal di Wina. Sementara itu menggubah karya musik. Lagunya pertama dihasilkan diusia 17 tahun “Gretchen at the spinning whell.” Menjadi guru, berhenti karena perlu banyak waktu menulis karya musik. Demi membiayai hidup sehari-hari memberikan les piano. Kadang menulis delapan lagu perhari. Bahkan tidur tanpa melepas kacamatanya, supaya bisa langsung menulis jika terbangun di tengah malam peroleh ide sebuah lagu. Sebelum berusia 20 tahun, telah menulis enam simponi. Secara keseluruhan menghasilkan sembilan simponi. Karya-karya Schubert meliputi karya musik dalam berbagai bentuk orkes, dengan ukuran berbeda-beda. Menulis 100 lagu, yang sampai kini dianggap terbaik, Ave Maria, Who is Sylvia?, The Trout, dan Serenade. Schubert meninggal di usia 31 tahun, tapi sudah mencipta hampir 1.000 karya musik. {http://id.wikipedia.org/wiki/Franz_Schubert}

Pada suatu persimpangan jalan di sekitar kota Wina, dimana Beethoven sering lewat kalau ia kembali dari jalan-jalan, kerap kali dilihat orang, seorang anak muda menunggu-nunggu di situ. Ia menanti sebab telah menjadi keinginan dan cita-citanya yang tinggi demi bertemu Beethoven. Anak muda itu Franz Schubert. Angan-angannya ini tak terpenuhi. Tidak pernah bisa berbicara dengan Beethoven. Bukankah pada kejadian kecil ini, terletak simpul suatu nasib yang terdapat pada hidup dan seninya? Ia banyak bercita-cita, tapi tak pernah mencapainya. Schubert ialah manusia dengan hati tak peroleh kepuasan, seniman dari yang tak selesai. Banyak tidak terselesaikannya, simfoninya yang terindah, suatu kwartet gesek, trio gesek dan amboi… juga hidupnya. Usianya baru 31 ketika meninggal. {J. Van Ackere, di buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}.

Sebelum jauh mengupas musik Schubert. Aku kan sedikit mengungkap:

betapa berat memasuki selubung nasib seseorang, apalagi dirinya seniman sejati.

Laksana ditimpahi gunung dengan batu-batu besar gagasannya.

Ini sungguh melelahkan, maka seyogyanya melaksanakan dengan kegigihan.

Kala menyusupi ketakdiran para seniman, mendapati resiko berbeda-beda.

Bersesuaian kedirian serta karyanya, seolah menghamili ruh ruhaniah paling rahasia.

Berusaha menggerak-gerakkan kemungkinan intuisinya bekerja.

Sedapat itu, mengolah dengan kehati-hatian, agar tidak lepas dari harapan yang dituju kembangkan.

Kefatalannya bisa terhanyut pula sulit melepaskan diri, dari yang telah dikupas.

Namun pahalanya, sekeluar dari kepompong tersebut, dikaruniahi kemegahan mental luar biasa.

Menambah dinaya menjejakkan mutumanikam raga bathin mensukma, ke tapak-tapak selanjutnya.

Jikalau kucoba mengidentifikasi karyanya, musik Schubert semacam olahan bentuk dekradasi jiwa.

Penurunan kwalitas dari harapannya, perusakan atas kecemasan pribadi. Mimpi-mimpi tak selesai, hantu kerap meneror tiap pagi.

Pun malam-malam suram dijadikan bahan ciptaannya. Seperti diharuskan sesuatu, yang dirinya sendiri tak sanggup mengurai jauh.

Selalu nada-nada puitisnya memancarkan cahaya, lantas berbalik ke dalam diri terpencil.

Menikmat keganjilan itu, Schubert menemukan tempat duduk nyaman. Kala pendengarnya merasai juga, kegetiran yang dialami.

Menggerus jiwanya bersamaan jiwa-jiwa penyaksi, tergerus dalam bunyi-bunyi serupa.

Lengkingan pahit keraguan, dendam tak tersalurkan, rindu mengoyak kalbu kering.

Atau suara menggelegak tetapi putus di tengah jalan nasib teramat sunyi.

Schubert, lambang keterpencilan insan, berontak di alam kesendirian.

Memandangi pegunungan bukan baginya, lautan maha luas pun tidak untuknya.

Hidupnya terpuruk dalam keminderan jiwa teramat sangat.

Kelembutan musiknya merindingkan bulu-bulu malaikat hingga menjatuhkan buliran air mata, melihat sosoknya bersimpuh di sudut kelam jagad raya.

Tidakkah itu memancarkan ketekunan tinggi? Kesemangatan terus ditempa pada legam batu malam, pula hari-hari siang tatapan nanar kecewa.

Rindu tak terbalas menjelma kasih sayang abadi, itu musiknya berkumandang ke belantara umat.

Menyusupi kelenjar kepemudaan, merongrong pori-pori demi berlubang besar. Bahwa dirinya pun memiliki nilai-nilai kemanusiaan sejati.

Retak cermin memantulkan ribuan cahaya, tak hendak purnakan melodi, dibiarkan berserak serupa nasibnya.

Laki-laki bertanggung jawab pada setiap pergulatan bathiniah, dalam keseluruhan menatap masa depan.

Aku bayangkan Schubert senantiasa dalam kejiwaan genting, yang mengeluarkan nafas-nafas terpaksa.

Pada ketinggian gunung di sisi jurang, melarutkan seluruh sepi bersimpan maut.

Digoyang ubun-ubunnya atas keleluasaan angin was-was paling cemas.

Ada pusaran sanggup menerbangkan angan menjadi pahit kenyataan.

Keterlelapan gelap, kesuntukan ganjil, awan dekat menjatuhkan kecupan bening mendiami kekalahan.

Seperti pertemuaan terakhir, perjumpaan dikenang perih, dirawatnya bersama gesekan masa-masa.

Waktu tak banyak memberi kesempatan lega, pengejaran yang penghabisan di tengah laluan.

Atau raut pucat gentayangan, mencari jasad terlupa jalannya pulang.

Pintu-pintu tertutup, telinga-telinga abai, namun terus digemuruhi suara-suara kekekalan.

Hanya dirinya beserta waktu sanggup menterjemah.

Schubert menghela nafasan panjang, tarikan tersengal gejala keabadian.

Meruapi tubuh di antara tumpukan buku kilatan cahaya, keluar-masuk melalui kelenjar kepalanya.

Menghujam ke jantung hidup. Nafas-nafas cemerlangkan yang rela menyemai musiknya, atas kekhusyukan jiwa muda.

Buah-buahan mentah segar, demi merangsang pertumbuhan janin pemikiran umat manusia.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )