Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/
Anton Bruckner (4 September 1824 – 11 Oktober 1896) komposer Austria terkenal dengan karya simfoni, misa, dan motet. Simfoninya dianggap penanda fase akhir Romantisme Austria-Jerman. Karena harmoninya kaya, polifoni yang kompleks serta lama. Komposisi musiknya membantu mendefinisikan radikalisme musik kontemporer yang mengambil disonan, modulasi tanpa persiapan juga harmoni rumit. Simfoninya mendapat kritik atas panjangnya, banyaknya pengulangan, sering melakukan revisi, pun keraguan mengenai versi mana yang lebih utama. { http://id.wikipedia.org/wiki/Anton_Bruckner}
Kita berada di gereja Sankt Florian di tengah-tengah alam Austria, di antara Linz dan Steyr. Menyusuri lengkung-lengkung lebar, di antara malaikat-malaikat yang melayang dengan sangkakala dimulutnya serta membawa jiwa kita ke alam surga, terdengar musik yang penuh kedamaian. Kabar berita dunia tak sempat kemari, seakan-akan jauh dari tempat ini. Agak membungkuk di depan orgel yang besar itu duduk seorang lelaki. Dari wajahnya memancar sesuatu dari kepercayaan Abad Pertengahan. Orang itu Anton Bruckner. Di bawah bayangan orgel, jauh dari segala keriuhan, seninya memasak dan membubuh dalam dirinya fikiran-fikiran besar. Ia tak kenal dunia dan dunia tak mengenalnya. Seperti Chopin berfikir dengan klavir begitulah Bruckner berfikir dengan orgel. Simfoni adalah daerahnya seperti lagu untuk Schubert. Mozart mempunyai grasi, Bruckner kebesaran. Dengan jarak nada sederhana sekali, ia membangun tema-tema mengagumkan. Alam, salah satu tenaga besar yang hidup dalam musik Bruckner. Seperti Beethoven ia kerap kali berjalan-jalan dengan catatan musik di tangannya. Tetapi tidak melarikan diri ke alam, melainkan hidup di tengah-tengahnya seperti rumahnya.
{Petikan pendapat J. Van Ackere, di buku Musik Abadi, terjemahan J. A. Dungga, Gunung Agung Djakarta, tahun lenyap, judul buku aslinya Eeuwige Muziek, diterbitkan N.V. Standaard-Boekhandel, Antwerpen, Belgie}.
***
Kala menulis sesuatu, khususnya mengupas karya seni. Aku menunggu perasaan merinding, memberdirikan bebulu tubuh.
Saat itu keniscayaan hadir, kalimah betapa mengalir merasai ruapan hebat. Kedatangan ciptaan tengah merasuki jiwa.
Jemariku tak hendak berhenti. Melayar detakan nadi sedari nada-nadanya. Tak kecuali kali ini, mengupas karya kejiwaan Anton Bruckner.
Bulu-bulu romaku mau terbang atau sudah, bagai ilalang tersapu badai. Dedaun melengking jauh ke lelangit hayali, melebihi wewarna biru ungu hayati.
Ada yang tidak tertandai, namun menjelma kesaksian hakiki. Menyuarakan kerahasiaan, mengembangkan sayap-sayap melodi.
Merentangkan suara tak cukup didengar sekali, selalu mengisi relung-relung sunyi, dalam keberadaan musti. Menghantar bathin abadi, pada keseluruhan nikmat tak terpermaknai.
Atau dengan sendiri, karya yang telah purna penggarapannya, mampu getarkan penyimak. Serupa magnit menarik, jauh-menjauhi, bergetaran tiada henti.
Yang di tengah-tengahnya kutuliskan. Betapa subyektivitasku bercampur obyek. Terperanga membentuk jembatan, demi titik-titik keberadaan masing-masing.
Kesaksian hidup di dalamnya bersimpan nilai-nilai terindah. Membeningkan kebutaan, mencairkan kebekuan telinga.
Umpama penyelesaian puitik sekeluar konflik. Penjegalan rong-rongan waktu lena, mandul serta mematikan.
Di sini aku bayangkan kota Wina, Praha, Galicia, laksana Yogyakarta. Senimannya sering berkumpul, sedari pelukis, pemusik, pesastra, penari juga lainnya.
Atmosfir itu membentuk wewatak penggeraknya ampuh menempa hidup berkesenian. Terciptalah gairah tiada henti mencari. Meneliti, menelisik jauh dari capaian sebelumnya.
Kegilaan itu, kesuntukan, langut jiwa mencemaskan, mewujud mental-mental tangguh menggali keluhuran pekerti.
Mengangkat air sumber dari sumur hayati, menyiratnya mewujud lengkung pelangi. Menyentuh sungai-sungai kehidupan bermasyarakat, atas batu-batu mendiami.
Mendengar musik Anton Bruckner, diriku diajak hembusan bayu ke pelataran kuil-kuil kuno. Yang mementaskan cikal bakal teater di Yunani sebelum masehi. Para penulis naskahnya seperti Aeskilos (525-456 SM), Sophokles (496-406 SM), Euripides (484-406 SM).
Nada-nada dibangun Bruckner bukan primitif, namun ada pengajaran-pengajaran para dewa.
Nyanyian menghormati pahlawan di kuburnya. Kisah perburuan di panggung, dengan pakaian kulit-kulit binatang, tombak-tombak runcing berkilatan.
Dipadu gema suara-suara arwah memekatkan telinga. Pepohon raksasa berdiri tegak ribuan tahun, digoyang angin Keilahian.
Kidung sejarah terus berkumandang, tragedi dikuliti, demi mendapati makna hakiki. Dari terbitkan matahari, sampai terbenamnya senjakala peradaban.
Dari lantunan rendahnya, memantulkan pelangi malam hari (?). Para dewata turun merestui sang pemberani, memberkati dengan jatuhnya embun pagi.
Atau hujan gerimis melalui jendela terbuka seorang putri. Di dampingi nalar kehadiran sesosok peri, berbusana halus sutra permai.
Kala paduan nadanya naik, bentangan gemintang bermekaran membentuk makhluk berjenis-jenis ke pebukitan cahaya.
Demikian musik Bruckner menghadirkan nuanse gaib, seperti ujaran J. Van Ackere: “Ia tak kenal dunia dan dunia tak mengenalnya.”
Tatkala musiknya dihentikan, dengung panggilan masih hadir merayapi sepi, membangkitkan naluri penyimak.
Akhir percintaan bermakna, lewat bulir-bulir kefitrian memberkah. Tuangan anggur di gelas-gelas piala, yang terangkat jari-jemari lentik waktu memutih.
Diriku seakan diterbangkan mengendarainya, masuk ke tubuhnya. Ikut berjalan-jalan di kota Wina, dengan jarak tatapan mata ganjil.
Panjang lembutnya pengulangan musik Bruckner, selayang filsuf Leo Tolstoy (1828-1910). Di dalam menanam nilai-nilai budhi insani, pada karyanya “A Calendar of Wisdom – Wise Thoughts for Every Day.”
Keharmonisan malakut tanpa nafsu selain dorongan nurani, berkumandang ulang menempa jejiwa menanam keyakinan, sedalam pengabdian.
Perpaduan memadat pelbagai hal, atas kesungguhan menancapkan iman, sejauh irisan belati pada daging penyesalan.
Simfoni akhir kesadaran itu, kemahabesaran kehendak Pencipta. Dirinya menginsafi, semua berasal tangan-tangan gaib kemurahan-Nya.
Mengembangkan bathin bermekaran di taman-taman sejarah musik, di antara tokoh sebelumnya.
Bruckner bersama pencariannya sunyi sepi sendiri membentang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar