Minggu, 17 Januari 2010

Goethe Di Antara Mozart dan Beethoven

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

Pada Mozart, katanya hati mencurah dalam angan-angan yang halus, sedangkan pada Beethoven, angan-angan bercepatan dengan beraninya ke yang tak berakhir: itulah kepenuhan rasa yang berhadapan dengan keyakinan daripada tenaga (J. Van Ackere).

Kita dapat pergunakan keduanya, tergantung kejiwaan saat-saat membuahkan karya, bisa berpandangan Mozart ketika jiwa dalam keadaan tersedot peristiwa, terhisap daya pesona semisal kegemilangan iman.

Memasuki angan halus berharap sangkaan lembut menjelma formula penentu gerak laju melembutkan perasaan terdalam. Di kedalamannya ranting kering dihanyutkan arus besar, kerendahan hati menyimak situasi makna terhadapi, apakah daya hidup melembut dalam kemanunggulangan alam ataupun pencipta.

Semacam keterheranan tak mematikan, ketakjuban menarik kalbu mengikuti penanda, apakah angin atau teguran tak disengaja menggelinjak seirama yang tengah terbangun. Dan setiap langkah seakan bocah terbuai suasana, larut ke semenanjung kemungkinan selepas lantas tertandakan angan pertimbangan nalar sebelumnya.

Mozart bukan pendorong tapi sosok perayu memangfaatkan situasi mereproduksi kesaksian, tergetarlah jiwanya menggetarkan sesama. Seperti awan menyapu ubun-ubun pegunungan ke lereng lembah kemajuan renungan, pula dinaikkan angin firasat menjelma kabut dataran tinggi menyadarkan puncak-puncak lain setelah mengikuti yang terejawantah kepasrahan.

Mozart tidak memompa jiwanya namun pergunakan momen sekecil-kecilnya mengisari diri, tak sadar terangkat membumbung bersamanya terbang. Inilah kesaksian penerima takdir menghadirkan yang seolah tak terbayang tapi sudah ada gambaran. Alam bawah sadar menguntit keasyikan sambil terus membaca situasi agar tak buyar bangunan logika, sebelum beredarnya kemungkianan jauh memukau.

Di jalan Mozart tiada kerikil tajam kecuali menandaskan nikmat mengunyah kesendirian dalam gua pertapaan bathiniah, melangsungkan perkawinan malam-malam, tak habis-habisnya gurih tiada jemu menenggak manisnya indrawi; fitroh jiwa senantiasa perawan kecuali perasaan insan bebal panggilan.

Kegembiraan jauh kebendaan yang tercukupi limpahan pengabdian berkarya, selalu merasakan puncak menggetarkan kesaksian. Penglihatan kalbunya menyingkap hijab direguk tiada banding, angan-angan menjelma bangunan musik kemenjadian, yakni peristiwa terangkatnya puing-puing sejarah kemanusiaan. Dirinya sudah berperang melawan keraguan sebelum menandaskan guratan. Ada tak lekang disampaikan usia, manakala tersapa angin abadi lantas berserah meneruskan kembara.

Lebih tegasnya Mozart menerima ketentuan takdir telah ada, musiknya fitroh insani. Di hadapannya anak-anak manusia ialah seniman ketika mengikuti perasaan terdalam, indra menuntun saling menyapa kesadaran bertukar akal budhi, semisal kelepakan sayap-sayap malaikat menyadarkan dunia lain yang menggerakkan perikehidupan.

Manusia tekun menyungguhi kodrati bersinahu keadaan nasibnya, dengan begitu peroleh kegembiraan fitri kesenangan tercurah dari angan alam sekitarnya. Belajar menikmati yang disuguhkan dikabarkan untuk sesamanya dalam bangunan tak kalah mengagumkan. Sebab bunyi-bunyian musik mengangkat wewarna bebentuk yang ada, seperti bermain di bawah bayangan awan, jiwanya teresap kekudusan hayati melena melembutkan penghayatan.

Kini bahasan jiwa penyair musik Beethoven. Di depannya takdir hanyalah jalan lengang harus diisi kesungguhan, atas perjuangannya manusia hadir bersanggup mengagumkan tak kalah keindahan alam. Meski belajar darinya lebih maju lewat mengolah, di sini fungsi kemanusiaan tepat guna. Insan berani tak tunduk adanya takdir, berjuangan keras mengangkat yang menegangkan akal.

Anak manusia harus menjadi pahlawan kalau ingin dikenang, inilah kesungguhan Beethoven melaksanakan cita mengidupkan alam lebih dari harum bunga-bunga. Kesemangatan jiwa tergetar menggema alam bathin tragik contoh perjuangan, maka hadir gugusan kegemilangan nalar sedari jarak perasaan yang kadang diharuskan meninggalkan.

Bagi Beethoven, naluri sekadar pemantik tak bernafas lebih; sejarah panjang pergolakan perang tumpahan darah, memaksa berwaspada lonjakan besar, loncatan tak terjangkau nalar ketika tengah terjadi. Penjelmaan itu berasal hasrat mengumpulkan kilauan cahaya hayati menjelma kobaran kala dilaksanakan.

Dan musik jadi lukisan jiwa insan paling gelisah, kegilaan hadir sebab tulinya pemahaman alam sekitar yang kadang dianggap puncak kesintingan. Di sini seniman lebih unggul, perasaannya sebatu asah di sebilah keris pemikiran, yang diberlakukan jiwa pertanahan sekaligus menyerang.

Dalam pengembaraan jiwa Beethoven mendapati kerinduan angkuh, ini tak lepas dari keringat ikhtiarnya menghabiskan masa muda berkesuntukan, laksana tak menghargai seorang kalau tidak memberi tempat sah. Pencapaiannya kegemilangan dunia, mencakar nalar bentangan awan menarik mendung hingga hujan mau tak mau datang menderas.

Dirinya insaf bahwa kehidupan sungguhlah keras, tak bisa berdiri tegak kalau tidak benar sungguh. Musiknya mengangkat derajat lebih agung dari melodi pastoral, dialah penggagas sekaligus meremukkannya, ketika pertimbangan lanjut tiada berkenan.

Kesadaran darah perjuangan dari nilai-nilai mematenkan dirinya benar-benar hadir. Dan kita peroleh jiwa-jiwa keduanya di genggaman pena penyair Goethe pada Faust-nya yang seakan biji zaitun tidak tertanam di timur maupun barat.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )