Persembahan kepada Muhammad Iqbal,
Rabindranath Tagore & R.Ng. Ronggowarsito
Nurel Javissyarqi*
Bagi siapa pun bisa merayakan keheningan dalam percakapan.
ADA yang tergerak saat ingatan diluncurkan. Ingatan itu tangan panjang yang menelisik ceruk dalam. Jika dikelola akan mendapati kesemangatan jiwa. Saat dipersatukan lewat penjabaran, atas lelangkah pengembaraan bathin dalam masa-masa silam bersimpan rindu.
Ketika ingatan dirawat, terwujudlah samudra bersama deretan gelombang gagasannya. Yang selalu bermunculan, manakala angin inspirasi terus dihembuskan kepada yang dahaga menuntut perjumpaan, hingga tercapailah nyanyian jiwa seimbang.
Saat waktu berkelanjutan, ingatan berjalin menjadi gugusan terindah esok hari. Penantian bukan saat-saat membosan, jika yang tertikam mau menterjemah wewaktu luang, sebagai lahan subur kreatifitas (meski) di tikar pesakitan.
Diri yang hendak menyempurna, menggali kedalaman berpijak; mata kaki tangga kemungkinan mendekati realitas yang terharapkan. Dan ingatan yang tertangkap oleh menyoal kepahitan. Namun, usah gusar di kemakanan beban sedih jawaban.
Segalanya mengalir, kita ciptakan tanggul kokoh demi maksud yang tercitakan. Sungguh yang susah payah menuju keberhasilan. Ini jalannya merawat ingatan, agar bertambah menggairahkan di dalam menggugah pengalaman.
Yang terjatuh di lubang serupa, sebab tak menghargai kemarin sebagai bahan pelajaran. Sia-sia jika tak menghadirkan ingatan silam demi tanjakan, padahal perubahan masa mengajaknya menuai makna. Yakni ingatan yang tertumpuk akan melemah, jikalau tak dipelihara lewat mawas diri senantiasa.
Inilah jiwa berkembang, kesadaran mengaca pada sesamanya, esok bakal bercahaya pandangan seorang. Ingatan itu memetik bebuahan yang tertanam, maka mustahil memanen ladang kosong; inilah proses pendewasaan yang kudu dilakukan, kalau berharap limpahan berkah makna.
SEBAGAIMANA tanah sumber kehidupan, anak manusia yang berjalan itu nyala api hayati, menghimpun dinaya yang beredar dari perubahan musim, sebagi tanda kasih langit, tanpa bayang-bayang mega selain kerinduan.
Saat insan terlahir, ia telah bersalam ruh nenek moyang; kejadian bathinnya menjelma bentukan takdir, oleh lelaku kehendak berkuasa di atas kaki-kaki kesadaran dunia.
Inilah pulung memancari malam benderang, pengharapan fajar menyeruak pekabutan, menggulirkan bulir-bulir embun. Lalu makna hayat berbicara, saat bayu meniup pada telinga rindu akan ayunan yang mendewasaan.
Meski merantau ke sebrang, insan tetap merindu-ingat-tanah muasal, kejadian gelombang mengarungi parasaannya yang dalam. Suatu saat dapat mengancam, jika keinginan jahat penunggui di balik badan.
Dalam balutan tubuhnya, denyutan darah perjanjian moyang, nilai-nilai yang diwarisi sejak dalam kandungan. Maka meski jauh merantau, hakikat tanah-kelahiran-ingatan itu tetap terbawa, sampai ajal membaringkannya.
Pengharapan masa baik pada setiap tikungan pergolakan, membuatnya bertahan sebagai lemah-lempung mematangkan jiwa, memaknai dirinya yang dierami tanah-ingatan. Barang siapa bersanggup mengolah keuletannya mencapai kilau cahaya, sebiji jarak bagi minyak lampu di pedusunan jiwa.
Senyum bulan ibunda tetap menyetiai anak-anaknya, memberinya nyenyak selepas merebahkan badan perjuangan. Jikalau teriknya siang, matahari menyengat kulit memberi kesadaran; ia diawasi ayahanda kehidupan dalam setingkap langkah perbuatan, sebagai ejawantah tanah kelahiran ingatan.
Dan jiwa-jiwa tradisi permenungan menjadi daya ketenangan, saat di awang-awang kemungkinan menerbangkan jasad yang keropos. Mimpi sebagai kesucian, ketika tempat melepaskannya menuju ruang kedamaian.
Langit menaungi gemintang saat memanjat ingatan, mununtun kepada kepulangan abadi, membuka pepintu rahasia wengi, kelambu halus tersentuh makna hayati. Tanah tumbuh bebunga beserta duri-durinya, menterjemah perubahan waktu dalam kelopaknya yang menawan.
Bagaimana kembang berbicara kepada manusia, bebatuan kerikil memberi pengajaran. Insan terus mengembara dalam batiniahnya, sebelum menemukan telempap labuhan jiwa.
Menuntunnya membaca tanda di jalan kembara, merawat ruang-waktu yang berkelebatan, sebagian dianggapnya musim tak kekalkan makna. Ia mengabdi pada tumpah darahnya; menyungguhi terjadinya sejarah.
Ketentuan terbentuk setelah berlatih permenungan, menumbuhkan bebulu sayap hasrat menaiki tangga-tangga awan, mengikuti tiupan angin bathiniah.
Seruling jiwanya mengumandangkan hidup menuju tlatah tanpa warna, wilayah yang belum memasuki berita. Lalu mengikuti dengan kehati-hatian membaca, menjabarkan hasrat serta kekinian;
“Air menumbuhkan pohon pada tanah,
menyegarkan lipatan rasa yang terkira.”
Keahlian dapat dipelajari atas penampakan hingga yang terjadi. Di mana yang berselimut kudu dirabah dengan jemari perasaan masa, agar tak lama memaknai usia.
Ini penggalian tanah leluhur, menempa spiritualitas, menggayuh perahu hayat sambil berkidungan, agar fajar terlaksana di kaki-kaki pesisir realita. Sebagaimana seruan ini;
“Wahai tanah kelahiran ingatan
daku tengah membicarakanmu
maka berikan petuah-petuahmu,
lalu lemah-lempung itu menggeliat
selepas terpanasi matahari”
Sebuah kemungkinan, di mana menarik kabut membayang, meyakinkan diri sebagai yang terjadi. Terpana atas kemabukan rahasia, bagi yang tidak sanggup mendegarkannya.
Ini percakapan hening, menterjemah tanah-ingatan manusia, mengembangkan unsur senyawa memercikkan cahaya, merespon sekitar demi teguhnya pendirian. Bukan menujum pembaca melampaui pagar rumah, namun membuka jejaring kemungkinan bagi luasanya jiwa bercakrawala.
*) Pengelana dari desa Kendal, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Jimur, Indonesia.
7 Mei 2006, 09 Lampung.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar