Kamis, 08 Juli 2010

REVOLUSI DAN SAKIT GIGI

Nurel Javissyarqi*

Saya ibaratkan reformasi dengan sakit perut, pembuangan demi pembersihan, pencucian. Sedangkan revolusi, menyerupai sakit gigi, proses di mana terjadi ketegangan syaraf-syaraf otak yang menyempitkan peredaran udara kebugaran. Sehingga menimbulkan tekanan-tekanan yang menarik rasa nyeri tidak tertahan. Yang berasal dari pengolahan bahan tidak seimbang, tidak bersih penuh kotoran dalam skala peta perpolitikan.

Sebagai kesalahan berulang yang bertumpuk menjelma gumpalan ledakan, pasti teriakan-teriakan yang keluar dari kondisi kesakitan itu terjadi. Jerit di mana tidak sampai dimaknai, tidak difahami sebelum datangnya kebebasan masa, atas kendornya urat syaraf kelenturan sesaat. Nantinya rasa bermasyarakat terganggu, suatu saat menemui pemberontakan.

Ada yang mengatakan ini disebabkan masuk angin. Terlalu banyak wacana yang ditelan masyarakat pribumi tanpa mengindahkan nilai mutiara atau sekadar hembusan. Dimana pola-pola analisa yang kritis tidak tertanam, mengundang para spekulan, lantas pemaknaan nilai membuyar, bercerai berai. Tanda-tanda ketegangan urat syaraf para pengemban idealitas masih terkungkung kebutuhan materi, menjelma tuntutan yang membuat watak cengeng.

Perlu digaris bawahi, sakit gigi itu kompleksitas perasaan logika. Fikiran-fikiran yang sering digunakan dengan cerdas dan lincah, cekatan dalam mengambil unsur wacana luar atas jarak diri, namun masih kurang memperhatikan efek yang terjadi di dalamnya. Sehingga gejala kotoran sempat tertelan, menjadi permasalahan paling genting ketika sampai menghasilkan suatu karya sebagai tujuan.

Ketegangan revolusi sebenarnya bisa dihindari, sehingga tidak sampai berdarah-darah. Namun bisakah demikian? Pembengkakan mulai terjadi, kian menyudutkan di ruang tunggu bernama nafas renungan. Maka revolusi perlu demi mencapai puncak kesadaran tertinggi akan realitas kesemrawutan, gejolak yang tertahan dari pemompaan tidak juntrung, atau yang tadi disebut awal munculnya masuk angin.

Tapi tujuan dari itu, bukan berarti mencabut gigi yang selalu menyeret keadaan genting. Kita bisa memperbaikinya dengan membersihan lingkungan, menambahkan gizi, disamping perlunya istirahat penuh, guna memulihkan tenaga. Lewat mengendorkan urat-urat syarat, ketika alternatif penyembuhan mulai dijalankan. Dengan sangat hati-hati, perasaan tinggi kemanusiaan, dan tetap menggunakan pertimbangan nalar, akan kapan harus berhenti, saat ketegangan mulai mendorong pada sikap keburukan.

Realitas lubangnya gigi harus diterima dengan sadar, untuk memudahkan teknik penyembuhan. Ditambah dukungan beberapa elemen, pijat urat para agamawan memberi pencerahan, obat-obatan para pakar. Dan di sini, sugesti positif pun patut dijalankan, sebab rasa sakit gigi itu tidak tertahan, karnanya sumbangsih semua pindah meredam sakit sangatlah dibutuhkan. Lingkungan penuh ketenangan, dialog tidak menggurui, atau yang harus kita telan sebagai jamu akar-akaran.

Setelah seluruh elemen di bawah kendali pemimpin tertinggi kesadaran puncak, penerimaan total dalam pelaksanaan, memungkinkan terselesaikan kemelut tersebut. Maka kudunya dimulai dengan pertimbangan sangat teliti, agar tidak mengganggu aroma revolusi. Tidakkah bau revolusi pada bidang-bidang lain memberi dampak kurang baik, sebagian dalam bentuk kepuasan anarkis.

Di sini seyogyanya dibicarakan pula makna keseimbangan, antara birokrat dan masyarakat di dalam kesadaran masa, bahwa memang terjadi revolusi. Keadaan membingungkan di satu sisi, bagi yang belum siap menerimanya. Penuh ketegangan, saling singkur pendapat, jikalau itu tidak dibersihkan dengan berkumur, semacam tahap finishing daripada revolusi.

Makna revolusi bukan sekali jadi, tetapi pengulangan diri menyadari keadaan, realitas gigi berlubang, dengan mengembangkan kemungkinan, agar tidak sampai tercerabut gigi yang sakit. Atau kita harus kritis menghadapi setiap persoalan, sehingga tidak timbul kecemburuan sosial. Bagi yang mengetahui persoalan tubuh pemerintahan, janganlah sok gegabah, meski dirinya seorang dokter demokrat.

Yang perlu diperhatikan pula, harus berani menjegal gejala-gejala pembekakan dari peresapan wacana, dengan analisa jitu perasaan lembut, peralatan manajemen kemanusiaan. Di mana ruang waktu lain harus diperhitungkan, sehingga masa-masa tidak terfokus pada satu gigi semata. Ini takkan sampai jika rasa sakit masih menggetarkan tubuh negara, tetapi kita bisa keluar dari keadaan genting tersebut dengan menguras keringat dingin atas kerja, semangat membangun sektor lain. Tetapi keseluruhannya ditujukkan demi perbaikan gigi yang menyedot banyak perhatian pemerintah saat itu.

Kudunya ada perbaikan saluran informasi yang harmonis, yang sanggup menyehatkan badan kenegaraan. Aspek yang perlu dijaga, senantiasa mengukur suhu tubuh serta tekanan udara kehangatan. Sebab bagaimana pun wilayah dingin atau kebekuan informasi amat menentukan tekanan suhu rendah. Dan dari penyumbatan kesementaraan kembali berulang, yang otomatis berakibat balik keadaan darurat, atau kambuh.

Olehnya, keseiramaan segala unsur tubuh kenegaraan harus dinyanyikan dengan baik, berseruling kasih perdamaian. Di satu sisi juga memerhatikan, hal yang dapat memindahnya sakit gigi pada sakit gusi. Di sini dituntut tidak sekadar mematuhi perintah dokter demokrasi, tetapi juga melihat dampak-dampak lain. Menimbang mahalnya obat atau bahan bakar minyak, masalah struktur pemerintahan yang kaku. Atau malah berbalik seperti keadaan sebelumnya, memakan yang lezat-lezat tanpa mempedulikan dampak kurang baik bagi gigi, sejenis tuntutan kebutuhan yang tidak sesuai anggaran pemerintah.

Kita tidak bisa memanipulasi keadaan darurat dengan berpesta-ria kemerdekaan, serupa pembuangan dana yang tidak disalurkan secara tepat. Agar tidak kembali berulang keadaan krisis, perlunya prihatin atau menggunakan bahasa curiga. Mencurigai gerak-gerik pemerintah yang menimbulkan bobolnya dana rakyat, semisal anggaran pembelian mobil sekadar mentereng, sedang masih sakit gigi.

Kita dapat merombak pandangan ini dengan berhemat di segala bidang, namun tidak pada sektor yang jelas-jelas membutuhkan, semisal kasus kelaparan yang masih melanda di mana-mana, khususnya di pinggiran kota. Maka seharusnya ada ruang dialogis nyambung, pertukaran informasi pada semua lini, transparan, kalkulasi berlanjutan mencapai kejituan bentuk, efektif-efesien yang sebenarnya.

Ini cita-cita atau mimpi? Namun ketika semua bangsa tubuh bermimpi dalam keseluruhan. Tidakkah organ merasa terasing, lalu menemukan kesadaran hakiki. Realitas kebersamaan kerja, berbaur dengan sepak terjang pemerintah. Dan infestor asing hanya kembali teringat, tanpa melihat asal mula rasa sakit yang bersarang di kedalaman diri anak bangsa.

Karenanya, harus membolak-balikkan perasaan penalaran, agar tidak dalam kondisi mandek, atau slilit yang menciptakan sakit gigi yang lain. Puncak kesadaran itu penerimaan total dengan merasakan sakit sekujur badan kenegaraan, unsur pemerintahan serta rakyat menanggung hutang sebagai modal menanjaki waktu walau sangat tertatih dan hati-hati. Agar tak kembali terjerumus dalam struktur kapitalis keblinger, pemerasan yang hanya mengundang nikmat sesaat seperti prosesi dukun urat yang mengurut. Yang kembali kambuh, kalau tidak benar-benar dengan kesadaran mendasar, bukan omong-kosong belaka.

Kita tidak dapat menyelesaikan semua dengan mengesampingkan rasa sakit, atau hanya dengan perawatan seadanya, khotbah para pembual yang membuat mules masuk angin dan sebagainya. Di sini harus menyadari, antara jarak sakit dan kesembuhan itu kenikmatan tiada terkira, wujud yang menggairahkan. Dan semoga apa yang terasakan itu menuju kesembuhan total. Bentuk apa pun pemerintahan, yang terpenting demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, amin.

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
2005, ditulis di sekretariat SPL (Serikat Petani Lampung), wilayah Surabayan, Bandar Lampung.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )