Kamis, 08 Juli 2010

MELEBURKAN RUANG WAKTU DUNIA PUITIK*

Nurel Javissyarqi*

Inilah gagasan peleburan, demi mencapai keuniversalan makna.
Berbincang mengenai ruang, mau tidak mau menyoal ukuran, bentuk, warna dalam tampakan. Lantas ditariknya sebagai saksi. Menjadi saksi bisu jika tak memiliki waktu.

Ketika membahas waktu, pelaku dihadapkan panjang-pendeknya masa, menggebu-terlena, kejumudan atau hal biasa. Dan ruang itu semacam kata, angka, lebar, lonjong pula bulatan. Sedangkan waktu ialah ruh daripada ruangan.

Jika berbicara waktu tanpa menyoal tempat, seolah membahas hantu, atau waktu-waktu gentayangan tanpa aktivitas kaki-kaki kesadaran. Dan jika membahas ruangan tanpa waktu, bisa dimasukkan sebagai pemberhentian, rumah tidak berpenghuni, kawasan kering yang hanya mementingkan logika. Jikalau ruang-waktu terkumpul, itulah yang dinamakan realitas kesadaran.

Andai dipetakan, ruang semacam pandangan logika, sedangkan waktu membicarakan esensinya. Ketika digabungkan menjelmalah karya bernilai universal, persekutuan materialistis-filosofis, strukturalis yang natural.

Untuk mendedah serpihan di atas, marilah mencoba melancarkan jawab;
“kata” saya masukkan dalam kelompok ruangan, sebab kata-kata bukan kesadaran itu sendiri, meski membentuk susunan. Atau saya berpandangan akan kekuasaan pasar, pembaca itulah yang menentukan logikanya. Kefahaman ialah prodak atas jalinan waktu menyuntuki kata. Persetubuhan ingin mengerti esensi daripada kata atau ruang tersebut.

Dan “angka” saya tempatkan juga di bagian ruang, sebab betapa pun angka berjejer, tidak memiliki makna khusus sebelum menemukan tanda baca atau maksud. Maksud itu sebagaimana perkalian, penambahan, pengurangan, penjumlahan dsb. Di sini, maksud menempati jembatan ruang-waktu. Jalannya nalar waktu sebagai kegiatan perhitungan akan esensi bahasa angka.

Panjang, lebar pun bulatan, merupakan tubuh dari ruangan. Dan itu takkan berarti, jika tidak berada dalam masa-masa bermanfaat, berangkat dari kegunaan waktu-waktu yang dibutuhkan. Ini sedikit membingungkan, namun ketika telah menguasai keberadaan ruang-waktu atas kesadaran mandiri. Maka ketepatannya akan muncul semacam tercerahkan.

Sebelum menginjak keinginan judul. Seyogyanya mengetahui secara detail makna ruang dan waktu. Kita sering terkungkung persoalan yang tidak tepat waktu. Atau ternyata kerja kita diperintahkan ruang dan waktu. Seolah dalam tahanan keduanya, terjebak di salah satunya, juga keinginan diri semata.

Dalam bahasa teater, kita mengenal istilah -tidak menguasai ruangan. Orang semacam ini tidak menyadari kepentingan ruangan. Misalkan, kita tidak dapat berlalu-lalang di tengah jalan terus-menerus, kalau menginginkan keselamatan.

Kalau hanya mengetahui ruang-waktu serta manfaatnya dengan terikat, tidak ubahnya orang gila yang masih menggembol rasa ketakutan, yang berjalan di trotoar. Di pihak lain, kenekatan tidak bisa dihakimi sebagai hal tidak sadarnya pada ruang dan waktu. Jikalau ruang membutuhkan revolusi, atas waktu berkepentingan mendesak lebih bermanfaat.

Kita seharusnya di atas orang-orang gila yang sadar ruang-waktu. Meleburkan keduanya dengan mengambil manfaat sebagai jawaban inti. Yakni hakikat hayat terlaksana, yang tidak terbentur kedua-duanya.

Jangan mandek datangnya senja turunnya malam. Namun ukuran senja dan malam merasuk dalam diri yang terkendalikan semangat, endapan renungan dalam istirah. Dan ruang-waktu dianggap bumbu perjalanan hayat, sejenis iklim atau musim yang berada di luar. Kalau tak ingin terpenjara datangnya musim cuaca terang, dinginnya gelap malam, demi mencapai pribadi yang berkualitas.

Ketika ruang-waktu lebur dalam pribadi. Keduanya bukan yang membentuk kualitas diri, tetapi kitalah yang menciptakan bobot ruang-waktu tersebut. Dan mendapati manfaat, nilai-nilai tidak terpenjara wacana musim gagasan sepihak.

*) Pengelana asal Lamongan. Pengantar diskusi di Universitas Tujuhbelas Agustus Surabaya, 1 Desember 2005.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )