Kamis, 08 Juli 2010

EKSPRESI POST-MODERN, MEMBELI IDENTITAS YANG HILANG

Nurel Javissyarqi*

Semua mata melihat dengan antusias seperti rasa lapar yang lama. Atau jangan-jangan anda memakai jaket tebal, agar mengeluarkan keringat sebelum jalannya cerita.

Bagaimapun pemulian sakit menuju sembuh atas serangan demam, sakit gigi atau nyeri sebab bacaan yang tidak melonggaran cakrawala fikiran. Kondisi inilah yang menentukan warna kalimah mengikuti hasrat terdalam, memeras saripati manfaat kerja.

Tulisan itu sekadar plakat jalan jiwa, bagi arahan jelajah kedirian anak manusia. Ketika yang berbicara bungkus, tampaklah status sanggup mengenyangkan. Kata-kata menjelma sulap, sedangkan isi tidak diperhatikan, inilah permulaannya.

Kekuasaan pasar menentukan permainan, daya tarik permodalan yang kuat sejenis makluk penghisap. Semua mengikuti gaya perdagangan, yang ujungnya menuntut kembalian lebih.

Menujulah dunia konsumtif ketakseimbangan, penghilangan identitas pribumi yang nyatanya memiliki rumpun dasar. Tetapi, ketika barang pasar menjamur serupa limbah. Siapa sanggup menahan? Saat itu, idealisme praktis mewujud dalil tuntutan, hidup menyenangkan diri kebangsaannya yang hilang.

Naluriah kreatif mengelolah alam atas cerminan alamiah, membuyarkan kesenangan singkat. Ia mengambil keserupaan diharap dengan cara pembelian barang, lalu merasa dikuasainya. Padahal barang-barang yang ia beli, meminta dengan cara sendiri pada tuannya.

Identitas insan itu tangga hayat, komunikasi saling meringankan, bukan manipulasi prodak. Tetapi kejujuran tranformasi nilai, keselarasan obyektif atas kesemangatan sama. Sebuah alur yang ditentukan bagi pencari, bukan pemodivikasian satuan barang.

Pada lapangan ini, seolah terlihat nilai kelanggengan dipergunakan bagi aturan main, namun jika dicermati sekadarlah penstempelan. Atau penumpukan yang hanya menampilkan bungkus baru dari dorongan tren atau musim.

Semisal suatu penduduk yang sangat gayeng keilmuan tertentu, mereka memproduksi dan menkonsumsinya, lalu diseiramakan angin perubahan yang berganti kecepatan aura kebutuhan. Perubahan kejiwaan tidak terkira atas ketakmapanan anak-anak manusia.

Atau? Post-modern itu relativitas melonggarkan perubahan, hingga tidak tersisa yang dinamakan identitas. Kedalaman sejati seolah tercuri kesenangan kembang gula keberjamanan, maka cederalah. Mendiami lembah kepapaan, tidak betah berdiri terus-terusan di terik mentari kesadaran.

Hanya segelintir orang pembawa bendera perjuangan bagi tangan perkasa jaman. Tidakkah semua mengharap kesamarataan adil terkendali nuraniahnya, di kedalaman insan luhur berketulusan tanpa pamrih.

Tulisan ini tukar rembuk kesadaran yang terbeli atas barang, wacana tanpa mematangkan jiwa, sebab telah larut dalam bungkus pemanis. Maka marilah perdialogkan diri masing-masing, seberapa jauh terjerembab di pusaran periklanan yang mematikan perasaan.

Dalam post-modern, kita memasuki dunia iming-iming kenikmatan, peta perburuan ingin dianggap, sementara lupa melihat balik prosesi. Sering terburu mengambil untung definisi, atas pencarian belum selesai, cepat-cepat mematenkan atas tuntutan pasar.

Maka seyogyanya menyukai prosesi, tidak terburu dipatenkan sebagai penemu. Kelebihan menggali diri dalam pembongkaran jiwa, menentukan kemunculan identitas inti esok pasti.

Untuk memahami post-modern, seharus memiliki ruang-ruang kendali beragam, waktu-waktu bertepatan dengan warna yang telah terbangun, sampai terjalinnya kesadaran erat.

Post-modern seharusnya dijadikan ruang penyembuh, lewat pengambilan tidak berlebih atas nilai masa lalu. Agar tidak sekadar penumpukan, namun ada alur yang meresapi kesadaran.

Daya resap ini bukan membeli serampangan, tetapi benar membutuhkan. Ini perbandingan hayat masa-masa berkesadaran kekinian, penciptaan ruang bernilai.

Menggali identitas sejati dengan berjalan pada jalur sejarah atas frekuensi kekinian. Mengikuti perjalanan masa kematangan, tempaan kenangan berulang pada kilatan kesadaran mendatang. Atau pengisian waktu tidak sepatutnya dilupakan.

Prodak-prodak unggulan bukan banyaknya ditawarkan, tapi seberapa guna kenikmatannya, menemukan inti kehidupan yang tidak semata lewat di tepian.

Di sini saling tolong ketulusan, uluran tangan pertemukan yang hilang dari diri juga dalam pribadi yang tertolong. Atau penolong menemukan jalannya, dan yang ditolong mendapati identitasnya.

Hadiah terbesar tidak kentara, tetapi ketika jiwa merasakan kedalamannya, menjadilah danau ketenangan, dan semua orang boleh meminumnya dengan keikhlasan.

Dan pemberi bukan membeli atas identitasnya yang hilang. Sebab segala mata ialah identitas semu yang kapan saja bisa ditanggalkan pandangan umum, pun keseriusan pelaku lewat perilaku iseng atau sambillalu.

Ketika keringat kesembuhan menderas, melewati pori-pori kulit pengetahuan, maka segala pengalaman bermanfaat, mata air terus memancur menyegarkan penyadaran setiap saat, berlanjut menuju kepemudahan segar.

Ini bukan berlawanan jalan penuwaan, tetapi pemahaman itu bertambah purna, maka gemilanglah cahaya pencarian, sama dengan terangnya penerimaan secara dalam.

Pagi tentu memberi cahaya istimewa di hadapan kesembuhan atas belenggu kulitan semata. Kalimah bijak tidak lagi sekadar transformasi budaya, tetapi kejiwaan menuju kebulatan tekad dalam tuntunan hidup berkelapangan cakrawala.

*) Pengelana. 05-09, Lamongan, JaTim, Indonesia.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )