Nurel Javissyarqi*
Semua mata melihat dengan antusias seperti rasa lapar yang lama. Atau jangan-jangan anda memakai jaket tebal, agar mengeluarkan keringat sebelum jalannya cerita.
Bagaimapun pemulian sakit menuju sembuh atas serangan demam, sakit gigi atau nyeri sebab bacaan yang tidak melonggaran cakrawala fikiran. Kondisi inilah yang menentukan warna kalimah mengikuti hasrat terdalam, memeras saripati manfaat kerja.
Tulisan itu sekadar plakat jalan jiwa, bagi arahan jelajah kedirian anak manusia. Ketika yang berbicara bungkus, tampaklah status sanggup mengenyangkan. Kata-kata menjelma sulap, sedangkan isi tidak diperhatikan, inilah permulaannya.
Kekuasaan pasar menentukan permainan, daya tarik permodalan yang kuat sejenis makluk penghisap. Semua mengikuti gaya perdagangan, yang ujungnya menuntut kembalian lebih.
Menujulah dunia konsumtif ketakseimbangan, penghilangan identitas pribumi yang nyatanya memiliki rumpun dasar. Tetapi, ketika barang pasar menjamur serupa limbah. Siapa sanggup menahan? Saat itu, idealisme praktis mewujud dalil tuntutan, hidup menyenangkan diri kebangsaannya yang hilang.
Naluriah kreatif mengelolah alam atas cerminan alamiah, membuyarkan kesenangan singkat. Ia mengambil keserupaan diharap dengan cara pembelian barang, lalu merasa dikuasainya. Padahal barang-barang yang ia beli, meminta dengan cara sendiri pada tuannya.
Identitas insan itu tangga hayat, komunikasi saling meringankan, bukan manipulasi prodak. Tetapi kejujuran tranformasi nilai, keselarasan obyektif atas kesemangatan sama. Sebuah alur yang ditentukan bagi pencari, bukan pemodivikasian satuan barang.
Pada lapangan ini, seolah terlihat nilai kelanggengan dipergunakan bagi aturan main, namun jika dicermati sekadarlah penstempelan. Atau penumpukan yang hanya menampilkan bungkus baru dari dorongan tren atau musim.
Semisal suatu penduduk yang sangat gayeng keilmuan tertentu, mereka memproduksi dan menkonsumsinya, lalu diseiramakan angin perubahan yang berganti kecepatan aura kebutuhan. Perubahan kejiwaan tidak terkira atas ketakmapanan anak-anak manusia.
Atau? Post-modern itu relativitas melonggarkan perubahan, hingga tidak tersisa yang dinamakan identitas. Kedalaman sejati seolah tercuri kesenangan kembang gula keberjamanan, maka cederalah. Mendiami lembah kepapaan, tidak betah berdiri terus-terusan di terik mentari kesadaran.
Hanya segelintir orang pembawa bendera perjuangan bagi tangan perkasa jaman. Tidakkah semua mengharap kesamarataan adil terkendali nuraniahnya, di kedalaman insan luhur berketulusan tanpa pamrih.
Tulisan ini tukar rembuk kesadaran yang terbeli atas barang, wacana tanpa mematangkan jiwa, sebab telah larut dalam bungkus pemanis. Maka marilah perdialogkan diri masing-masing, seberapa jauh terjerembab di pusaran periklanan yang mematikan perasaan.
Dalam post-modern, kita memasuki dunia iming-iming kenikmatan, peta perburuan ingin dianggap, sementara lupa melihat balik prosesi. Sering terburu mengambil untung definisi, atas pencarian belum selesai, cepat-cepat mematenkan atas tuntutan pasar.
Maka seyogyanya menyukai prosesi, tidak terburu dipatenkan sebagai penemu. Kelebihan menggali diri dalam pembongkaran jiwa, menentukan kemunculan identitas inti esok pasti.
Untuk memahami post-modern, seharus memiliki ruang-ruang kendali beragam, waktu-waktu bertepatan dengan warna yang telah terbangun, sampai terjalinnya kesadaran erat.
Post-modern seharusnya dijadikan ruang penyembuh, lewat pengambilan tidak berlebih atas nilai masa lalu. Agar tidak sekadar penumpukan, namun ada alur yang meresapi kesadaran.
Daya resap ini bukan membeli serampangan, tetapi benar membutuhkan. Ini perbandingan hayat masa-masa berkesadaran kekinian, penciptaan ruang bernilai.
Menggali identitas sejati dengan berjalan pada jalur sejarah atas frekuensi kekinian. Mengikuti perjalanan masa kematangan, tempaan kenangan berulang pada kilatan kesadaran mendatang. Atau pengisian waktu tidak sepatutnya dilupakan.
Prodak-prodak unggulan bukan banyaknya ditawarkan, tapi seberapa guna kenikmatannya, menemukan inti kehidupan yang tidak semata lewat di tepian.
Di sini saling tolong ketulusan, uluran tangan pertemukan yang hilang dari diri juga dalam pribadi yang tertolong. Atau penolong menemukan jalannya, dan yang ditolong mendapati identitasnya.
Hadiah terbesar tidak kentara, tetapi ketika jiwa merasakan kedalamannya, menjadilah danau ketenangan, dan semua orang boleh meminumnya dengan keikhlasan.
Dan pemberi bukan membeli atas identitasnya yang hilang. Sebab segala mata ialah identitas semu yang kapan saja bisa ditanggalkan pandangan umum, pun keseriusan pelaku lewat perilaku iseng atau sambillalu.
Ketika keringat kesembuhan menderas, melewati pori-pori kulit pengetahuan, maka segala pengalaman bermanfaat, mata air terus memancur menyegarkan penyadaran setiap saat, berlanjut menuju kepemudahan segar.
Ini bukan berlawanan jalan penuwaan, tetapi pemahaman itu bertambah purna, maka gemilanglah cahaya pencarian, sama dengan terangnya penerimaan secara dalam.
Pagi tentu memberi cahaya istimewa di hadapan kesembuhan atas belenggu kulitan semata. Kalimah bijak tidak lagi sekadar transformasi budaya, tetapi kejiwaan menuju kebulatan tekad dalam tuntunan hidup berkelapangan cakrawala.
*) Pengelana. 05-09, Lamongan, JaTim, Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar