Kamis, 08 Juli 2010

INDONESIA MERANGKAK KE MATAHARI

Nurel Javissyarqi

Indonesia terdiri beberapa pulau atas kerajaan-kerajaan lama menuju tenggelam di bawah tumpukan debu masa, legenda kejayaan Majapahit, Sriwijaya, Kalinggapura, Kahuripan dan lainnya, tinggal abu berserak. Tiada kenang menjamin saksi kejadian, perputaran kekuasaan secepat pergantian musim wacana rindu yang semu. Inilah jerih payah penjajah mengusung simbul keilmuan ke negerinya yang kering dari keringat kerja. Pun pula wujud penguasa di Nusantara yang mudah tertipu gemerlap kembang gula.

Tiada dalam sejarah, bentuk apa pun pemerintahan langgeng, segala remuk berkebosanan. Manusia bangsa pencari dan tidak puas menjadi watak tidak tertandingi dari bangsa celeng. Tokoh-tokoh sejarawan telah menciumnya, hanya keheranan, watak dari bangsa beragama, meski berpeluk kepercayaan, namun tinggal nama dan tradisi semata. Sudah ratusan agama mati di atas bumi, hanya agamanya para intelek bernafas sampai kini, meski terjadi perang ideologi serta peminuman darah sesama tidak pernah selesai (agama intelek semisal ajaran tuhan yang tidak kesampingkan nalar bekerja).

Indonesia salah satu yang berserakan di muka bumi. Ketepatan di garis katulistiwa, kelahiran yang patut disyukuri, nyatanya digunduli, pepohonan ditebangi, pencarian ikan tanpa melihat dampak lingkungan, pengawetan makan yang membahayakan kesehatan. Terpandang sekilas, bangsa yang sehat mampu menjaga sumberdaya, ini didominasi kekuasaan modal, berperut buncit memenuhi kursi sarapan.

Kajian atas bangsa-bangsa Yunani, Mesir, India, Cina, Arab seterusnya, telah tampak dalam tranformasi budaya. Namun bagaimana dengan negeri Timur Jauh? Puluhan kerajaan tumbang, catatan banyak terhilangkan, atau tergadai oleh watak ketakpedulian akan sejarah, dan bagian terbesar diusung bangsa pewarna. Lalu apa patut dikaji pada lempar diri ke hadapan kekinian?

Sebelum kiamat, mari berusaha mengambil puing berserak, meski jatuh di negeri seberang. Bangsa besar bukan hanya menghargai pahlawannya, kalau tidak ingin distempel bangsa preman. Tapi juga menghargai karya anak bangsa, dari jerih kesungguhan sebagai pribadi berbangsa bernegara.

Setiap bangsa menghimpun watak anak-anaknya dengan tampakan adat istiadat. Tetapi anehnya, watak anak-anak selalu silau gemerlap, aliran baru, ideologi anyar, sebab tidak memantabkan jatidiri. Lalu apa patut dibangga dari tidak turut menghargai karya bangsa sendiri. Tranformasi sungguh indah, tapi saat kepribadian ditanggalkan lantas minum racun westernisasi tanpa pengolahan jiwa, usaha kritik diri atau mawas depan cermin menyendiri.

Seakan penggembaraan tanggung, malu sebab pribadinya sekedar tampang. Yang menentukan menjadi ialah bungkus tanpa ada tekat tangguh. Atau perlu dijajah lagi, agar sadar kepahitan berguna, ketika kemewahan menjadi cermin pembodohan yang mematikan mental, melahirkan sikap bergantung pada bangsa yang dianggapnya mapan, padahal hanya memberi hutang. Kita bertenaga harusnya mewarnai dunia, lewat menghargai keringat petani, pelaut, petambak dan lainnya. Kalau tidak, bangsa ini dirayu watak-watak korup.

Kita berotot, namun kenapa mengunyah ideologi diet, pembungan lemak berlebih hingga nalar tidak kritis. Sisi lain senang bertirakat, namun kenapa sudut tersebut terlalu runcing, sehingga tiada jalinan cantik, yang timbul acuh tak acuh, bantah membantah tanpa kerucutan kesadaran bahwa perbedaan ialah rahmat tuhan. Ini bangsa aneh yang iri sesamanya, namun tak dengan bangsa yang dianggapnya matang. Kenapa kita condong kepada bangsa yang ompong, yang kenyang pengalaman sehingga seenak udelnya berbuat onar. Bukankah bangsa asing sudah cukup mengocok penalaran yang mengaduk di antara ideologi kita.

Kita kerap terpatahkan mereka, walau pun tidak memungkiri adanya perlu diambil, tapi tidak lantas melupakan gagasan awal yang timbul dari kesadaran berbangsa. Indonesia serupa perempuan cantik mudah dirayu, namun penyimpan sifat keglamoran konsumtif. Bangsa penyuka kulit terang sebab kulitnya sawo matang. Sayang, tertarik keasingan namun tidak berakrab lantas mengunggulinya. Tidakkah warna kulit ini tempaan matahari sebelum mereka. Timur sebuah nilai dan Barat sekedar penilai, masak penilai lebih tahu dari yang dinilai? Mari kita putar hukum yang menyudutkan!

Sampai bahan pendidikan pun mengkonsumsi, yang nyatanya tidak bersesuaian. Hukum yang ada warisan penjajah yang pintar mendekte sebab melanglang buana. Namun tidakkah dengan percaya diri; saatnya telah tiba! Berilah wejangan yang sungguh milik kita. Apalah kelebihan di sana? Mari tanggalkan kesilauan memandang, Albert Camus sendiri dalam bukunya Resistance, Rebillion & Death, berkata: “Prancis dan Eropa sekarang harus menciptakan suatu peradaban baru, atau jika tidak akan binasa, 1988.” Mari menggali cahaya pribadi, sampai kedirian terang menggetarkan. Kudunya kita belajar ketegasan, penentuan sikap dinilai. Kalau prilaku mencla-mencle mudah dirayu, akan menjadi mainan sampai akhir masa.

Kita seharusnya lebih makmur jika melihat kekayaan alam. Tidakkah menganggur itu awal dosa menuju bencana. Namun kenapa tidak berusaha keras, apa orang tua tidak perbolehkan? Menginginkan yang wajar, makan, tidur, mati. Tidakkah nikmat hayat pada perjuangan? Lalu apa terwariskan kepada anak-anak terhormati nanti? Apa penjiplakan, atau watak paling buruk yang belum pernah ada, sebab tidak memiliki yang sebenarnya. Tidakkah pembentuk watak itu kesungguhan ikhtiar? Atau diganti nama saja guna tidak sia-sia, seperti Nusantara? Syukurlah jika ada yang tidak berkenan, sebab penolakan merupakan penampakan sesungguhnya. Tapi kalau sekedar lewat, apakah pantas dibalas. Ingat, kita memilikinya; danau yang indah, rawa-rawa menawan, laut megawan, kepulauan rentet sekalung putri raja. Tetapi dengan apa kita suguhkan, jika masih pulas mendengkur atas mabuk kekuasaan.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )