Nurel Javissyarqi
Indonesia terdiri beberapa pulau atas kerajaan-kerajaan lama menuju tenggelam di bawah tumpukan debu masa, legenda kejayaan Majapahit, Sriwijaya, Kalinggapura, Kahuripan dan lainnya, tinggal abu berserak. Tiada kenang menjamin saksi kejadian, perputaran kekuasaan secepat pergantian musim wacana rindu yang semu. Inilah jerih payah penjajah mengusung simbul keilmuan ke negerinya yang kering dari keringat kerja. Pun pula wujud penguasa di Nusantara yang mudah tertipu gemerlap kembang gula.
Tiada dalam sejarah, bentuk apa pun pemerintahan langgeng, segala remuk berkebosanan. Manusia bangsa pencari dan tidak puas menjadi watak tidak tertandingi dari bangsa celeng. Tokoh-tokoh sejarawan telah menciumnya, hanya keheranan, watak dari bangsa beragama, meski berpeluk kepercayaan, namun tinggal nama dan tradisi semata. Sudah ratusan agama mati di atas bumi, hanya agamanya para intelek bernafas sampai kini, meski terjadi perang ideologi serta peminuman darah sesama tidak pernah selesai (agama intelek semisal ajaran tuhan yang tidak kesampingkan nalar bekerja).
Indonesia salah satu yang berserakan di muka bumi. Ketepatan di garis katulistiwa, kelahiran yang patut disyukuri, nyatanya digunduli, pepohonan ditebangi, pencarian ikan tanpa melihat dampak lingkungan, pengawetan makan yang membahayakan kesehatan. Terpandang sekilas, bangsa yang sehat mampu menjaga sumberdaya, ini didominasi kekuasaan modal, berperut buncit memenuhi kursi sarapan.
Kajian atas bangsa-bangsa Yunani, Mesir, India, Cina, Arab seterusnya, telah tampak dalam tranformasi budaya. Namun bagaimana dengan negeri Timur Jauh? Puluhan kerajaan tumbang, catatan banyak terhilangkan, atau tergadai oleh watak ketakpedulian akan sejarah, dan bagian terbesar diusung bangsa pewarna. Lalu apa patut dikaji pada lempar diri ke hadapan kekinian?
Sebelum kiamat, mari berusaha mengambil puing berserak, meski jatuh di negeri seberang. Bangsa besar bukan hanya menghargai pahlawannya, kalau tidak ingin distempel bangsa preman. Tapi juga menghargai karya anak bangsa, dari jerih kesungguhan sebagai pribadi berbangsa bernegara.
Setiap bangsa menghimpun watak anak-anaknya dengan tampakan adat istiadat. Tetapi anehnya, watak anak-anak selalu silau gemerlap, aliran baru, ideologi anyar, sebab tidak memantabkan jatidiri. Lalu apa patut dibangga dari tidak turut menghargai karya bangsa sendiri. Tranformasi sungguh indah, tapi saat kepribadian ditanggalkan lantas minum racun westernisasi tanpa pengolahan jiwa, usaha kritik diri atau mawas depan cermin menyendiri.
Seakan penggembaraan tanggung, malu sebab pribadinya sekedar tampang. Yang menentukan menjadi ialah bungkus tanpa ada tekat tangguh. Atau perlu dijajah lagi, agar sadar kepahitan berguna, ketika kemewahan menjadi cermin pembodohan yang mematikan mental, melahirkan sikap bergantung pada bangsa yang dianggapnya mapan, padahal hanya memberi hutang. Kita bertenaga harusnya mewarnai dunia, lewat menghargai keringat petani, pelaut, petambak dan lainnya. Kalau tidak, bangsa ini dirayu watak-watak korup.
Kita berotot, namun kenapa mengunyah ideologi diet, pembungan lemak berlebih hingga nalar tidak kritis. Sisi lain senang bertirakat, namun kenapa sudut tersebut terlalu runcing, sehingga tiada jalinan cantik, yang timbul acuh tak acuh, bantah membantah tanpa kerucutan kesadaran bahwa perbedaan ialah rahmat tuhan. Ini bangsa aneh yang iri sesamanya, namun tak dengan bangsa yang dianggapnya matang. Kenapa kita condong kepada bangsa yang ompong, yang kenyang pengalaman sehingga seenak udelnya berbuat onar. Bukankah bangsa asing sudah cukup mengocok penalaran yang mengaduk di antara ideologi kita.
Kita kerap terpatahkan mereka, walau pun tidak memungkiri adanya perlu diambil, tapi tidak lantas melupakan gagasan awal yang timbul dari kesadaran berbangsa. Indonesia serupa perempuan cantik mudah dirayu, namun penyimpan sifat keglamoran konsumtif. Bangsa penyuka kulit terang sebab kulitnya sawo matang. Sayang, tertarik keasingan namun tidak berakrab lantas mengunggulinya. Tidakkah warna kulit ini tempaan matahari sebelum mereka. Timur sebuah nilai dan Barat sekedar penilai, masak penilai lebih tahu dari yang dinilai? Mari kita putar hukum yang menyudutkan!
Sampai bahan pendidikan pun mengkonsumsi, yang nyatanya tidak bersesuaian. Hukum yang ada warisan penjajah yang pintar mendekte sebab melanglang buana. Namun tidakkah dengan percaya diri; saatnya telah tiba! Berilah wejangan yang sungguh milik kita. Apalah kelebihan di sana? Mari tanggalkan kesilauan memandang, Albert Camus sendiri dalam bukunya Resistance, Rebillion & Death, berkata: “Prancis dan Eropa sekarang harus menciptakan suatu peradaban baru, atau jika tidak akan binasa, 1988.” Mari menggali cahaya pribadi, sampai kedirian terang menggetarkan. Kudunya kita belajar ketegasan, penentuan sikap dinilai. Kalau prilaku mencla-mencle mudah dirayu, akan menjadi mainan sampai akhir masa.
Kita seharusnya lebih makmur jika melihat kekayaan alam. Tidakkah menganggur itu awal dosa menuju bencana. Namun kenapa tidak berusaha keras, apa orang tua tidak perbolehkan? Menginginkan yang wajar, makan, tidur, mati. Tidakkah nikmat hayat pada perjuangan? Lalu apa terwariskan kepada anak-anak terhormati nanti? Apa penjiplakan, atau watak paling buruk yang belum pernah ada, sebab tidak memiliki yang sebenarnya. Tidakkah pembentuk watak itu kesungguhan ikhtiar? Atau diganti nama saja guna tidak sia-sia, seperti Nusantara? Syukurlah jika ada yang tidak berkenan, sebab penolakan merupakan penampakan sesungguhnya. Tapi kalau sekedar lewat, apakah pantas dibalas. Ingat, kita memilikinya; danau yang indah, rawa-rawa menawan, laut megawan, kepulauan rentet sekalung putri raja. Tetapi dengan apa kita suguhkan, jika masih pulas mendengkur atas mabuk kekuasaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar