Nurel Javissyarqi*
Saya menyebut kebertemuan itu mengikat. Fokus pandangan yang dipersatukan dari awalnya tidak dibingkai pigura penalaran. Sedangkan jarak sebelum bertemu, tercipta dari rentetan waktu-waktu lembut yang memiliki kemungkinan campuran, semacam takdir yang diterima.
Pengetahuan tersebut muncul saat bergerak ke satu titik yang dituju. Atau harapan yang pernah diperkirakan, walau yang dimungkinkan tidak sama persis di tempat bertemunya. Karena keinginan menyatukan pandangan dari hempasan ombak (: obyektif) atas dorongan subyektif.
Ketika kereta api berjalan ke arah kita berdiri, lebih dekat tentu terjadi, kecuali kesalahan mesin sehingga tidak dapat mendekat. Tetapi saat berjalan normal, perkiraan bisa ditulis atas tahap-tahapnya. Yang sedang diproses dari realitas sekarang, merupakan jalannya waktu-waktu kesadaran.
Kebertemuan hadir membawa tubuh kesadaran, dan tidak bermakna saat kesadaran lepas atau kendor. Kesadaran mengangkut segugus pandangan bertemu, sedang perasaan yang terkandung akan membentuk suasana mental.
Kalau kebertemuan tertunda, perasaan yang tersendat akan membawa dampak bagi penelaah. Jelasnya, makna yang terjadi menyunggi beban misteri, sejenis meleburkan debu penerimaan menjelma keberadaan, atau gegaris yang tidak tampak menjadi jelas dikala berjumpa.
Kebertemaun itu penampakan yang menjumput satuan waktu dengan waktu yang lain dipersatukan, sedangkan ruang menjadi ikatan benar dalam menelisik menuju keakraban.
Kebertemuan ialah memaknai. Di mana hidup sebagai pencarian makna atau dengan makna, manusia bergerak menguliti kebenaran atau pun dorongan pembenaran. Dan makna menempel guna dirasai.
Tidak ada maksud jika kehidupan tidak memantulkan faedah, maka perasaan yang tampil dari diri yang aktif dapat menggosok penalaran. Sehingga analisanya membentuk nilai-nilai yang diintip sejauh mata melejit, setubuh gagasan berbanding menjulang.
Atau pertemuan itu saling memaknai yang menghasilkan nilai, makna baru setelah kepaduan pun persinggungan. Dalam sudut saling tumpang-tindih menjadi tahapan dari jarak kedekatan pertemuan akan nilai-nilai tambah.
Dan pembentuk keselaraan dari pengurangan serta penambahan warna, atau menggali nilai-nilai sejati sebelum bermakna lebih, dengan suatu pengertian bahwa pertemuan itu fitroh menghasilkan.
Olehnya, gerak dorongan kuat dari perasaan terpendam, sangat menentukan kebertemuan nanti melengkapi atau sekadar. Bergeraklah sungguh, apa yang sedang tampil ingin dimaknai, sebelum luput tidak menjadi. Inilah jalinan interaksi menghamili kejadian, mengeluarkan bobot pada tempat kepastian.
Kebertemuan itu pengembangan jiwa ke arah purna sebab rencana, menggugah ingatan dari tahap perencanaan sedurung datang waktu yang lapang. Maka melangkahlah demi kemudahan mengembangkan sayap-sayap kemungkinan mencapai tetinggian. Dan singgahlah di tempat akrab, oleh perjumpaan awal itu kenangan yang disimak berulang, serta banyak faedah yang dipetik dikapan waktu pun di mana saja.
Kebertemuan awal ialah berkah tidak terjadwal, meski bermula dari anganan rencana. Seperti melihat matahari, namun tak tahu besok memandangnya bagaimana, serta dalam kapasitas kejiwaan serupa apa. Sebab kebertemuan merupakan kebaharuan yang terus melintasi padang pengetahuan, bercengkerama nilai-nilai yang tertandakan.
Inilah ingatan, memasuki ruang yang pernah disinggahi dengan bobot tertentu, ukuran serta daya warna yang ditampilkan berlainan dari semula. Di sini penugasan kerja keinginan yang dikembarakan, rindu pertemuan.
Telinga hati yang telah dimasuki memori, mengambang di awang-awang bawah sadar, tentunya waktu bertetap rupa keinginan masa lalu dapat diatasi. Dan terangkat kembali ke bundaran perencaan lebih tinggi dari sapaan.
Sapaan pun bisa berupa garam yang ditaburkan dalam gelas berisikan air. Larutnya itu mengejawantah, pengekalan rasa berhamburan kerja. Larutnya garam ialah persetubuhan jiwa-raga, persatuan rasa dari daya cipta saling menerima.
Kebertemuan bukanlah penolakan, meski di sisi lain ada. Ketidaksefahaman bukan berarti menerus, jika sudih menghadirkan sisi-sisi perbedaan sebagai batu gesek mencipta nilai-nilai baru. Maksud jauh dari itu, kebertemuan akan menggagalkan keraguan yang menseponsori jiwa untuk menggeliat berkesungguhan, memadati sendi nilai demi diwujudkan nilai lebih.
Ini menarik ulang sejauh penerimaan dan penantian. Penantian itu pokok dari pertemuan, kilatan cahaya realitas akan datang. Penantian sejenis bara bersiap menjilat, sekali sapaan mendatangkan kebugaran fitroh alamiah.
Alan Linghtman dalam novelnya Einstein’s Dreams, berujar: Di dunia ini waktu seperti aliran air, kadang terbelok oleh secuil puing, oleh tiupan angin sepoi-sepoi. Entah kini atau nanti, gagasan kosmis akan menyebabkan anak sungai waktu berbalik dari aliran utama menuju ke aliran sebelumnya. Ketika hal itu terjadi, burung-burung, tanah dan orang-orang yang berada di anak sungai itu, menemukan diri mereka tiba-tiba terbawa ke masa silam.
Saya teringat kawan-kawan yang bermimpi kelaknya menjadi penyair dahsyat seperti yang dikaguminya. Apakah ini bukan pengulangan? Maka lantas saya tarik pengertian, bahwa perevisian lebih berarti sebuah karya pembetulan, bukannya membetulkan.
Apa yang mereka dapat dari impian mendompleng bayang-bayang sejarah, apalagi bayangannya begitu panjang. Hendaknya faham sekaligus berani keluar dari kungkungan lain pun diri sendiri.
Tidak bisa kita berdiri di samping patung jika tidak dianggap patung juga. Olehnya, melangkahlah menjalani realitas bukan sekadar impian di ruang pengab berjubel gagasan. Tidakkah sebuah kamus hanya berarti satuan pandang dokumentasi. Sedangkan pergerakan hawa yang senantiasa, lebih lincah menggeliat.
Di sini harus menemukan angin yang termiliki, agar yang terkerjakan bukan sekadar kehendak bayang-bayang kuasa sesaat. Memang berat rasanya menegakkan rumput patah, tapi sekiranya rumput selalu hidup. Ini bukan kesuburan sia-sia, ketika menanggalkan lelah perjalanan jauh, atau pandanglah kebertemuan bukan sekadar, namun terus membiak laksana rumput mengabadi.
Saat mengetahui suatu karakter dan mengagumi atau sebaliknya. Di situ tidak menemukan diri selain rantai kesamaan, tetapi dikala menggali kemungkinan lain yang jelas tidak tertandakan ingatan, di sanalah mendapati percepatan bayang yang tidak harus dimaknai sendiri. Sebab akan habis jika hanya berkutat pada kubangan yang sama, semisal mati berkai-kali yang tidak memberi makna kesadaran.
Saat berani keluar dari perhitungan diri pun mereka, membebas lebih merdeka menanjaki realitas sesungguhnya. Jalan-jalan yang meski ada kesamaan sebelumnya, saat itu usahakan menerima juga menolaknya. Menerima bagi pelajaran, menolaknya sebagai pengetahuan lain, yang sejatinya membentuk pengertian diri bagi sesama.
Di sini pencarian murni bukan dibuat-buat sebab mendompleng perjalanan sejarah yang dikagumi, niscaya juga sampai ke sana. Namun berapa banyak yang terperoleh atas yang terambil dari yang lain.
Saya berharap awal judul di atas bisa keluar dari sana. Ini bukan pengingkaran alami atau perputaran mutlak, saat belum mampu menyebut yang belum bersebut. Sebab ada hukum yang tidak perlu dimaknai akan tetapi terasakan, ada tanda-tanda yang tak bisa dibuatkan penanda dengan ketepatan.
Sebaik-baik penanda tidak mudah merangkum kejiwaan tanda-tanda, apalagi yang masing menggejala di alam sukma, bathinnya itu hanya bisa diraih manusia sepenggal saja. Kiranya harus mewas pada kata-kata, apalagi janji-janji, kalau yang pertama belum masuk kategori nalar realita.
Lebih jauh memang memberat, nyatanya mulai menemukan sebersit sinar yang turut ke ujung kemurnian harapan, yang bukan dari mimpi sebelumnya, apalagi dari mimpi orang lain. Dari sini harus melangkahkan kaki sendiri, menghitung-mengolah sebagai pengetahuan anyar.
Ketika memikul beban, usahakan bukan pendapatan orang lain, dan jangan seperti milik sendirian. Tuhan menciptakan berjenis-jenis insan serta ragam warna, guna membedakan campuran dari wewarna alamiah. Dan sang pencari menjelma warna campuran yang belum bernama.
———————————
*) 2006. 08. Lamongan – Bogor . Pengelana asal Lamongan, Jawa Timur, Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar