Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/
MABUKLAH!
Charles Baudelaire
Meski selalu mabuk. Terang sudah: itulah masalah satu-satunya. Agar tidak merasakan beban ngeri Sang Waktu yang meremukkan bahu serta merundukkan tubuhmu ke bumi, mestilah kau bermabuk-mabuk terus-terusan. Tetapi dengan apa? Dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi mabuklah!
Dan jika sembarang waktu, di tangga istana, di rumput hijau kamalir, dalam kesepian guram kamarmu, kau tersadar dan merasakan mabukmu sudah berkurang atau menghilang, tanyakanlah pada angin, pada gelombang, pada bintang, pada burung, pada jam, pada segala yang lari, pada segala yang merintih, pada segala yang berputar, pada segala yang bernyanyi, pada segala yang bicara, tanyakan jam berapa hari, dan angin, gelombang, bintang, burung, jam bakal menjawab: “Inilah saatnya untuk mabuk! Untuk tidak menjadi budak siksaan Sang Waktu, mabuklah; bermabuk-mabuklah tanpa henti-hentinya! Dengan anggur, dengan puisi atau kebajikan, sesuka hatimu-”
*
Puisi modern Prancis dapat dibilang berawal dari Charles Baudelaire atas kumpulan sajaknya “Les Fleurs du Mal” yang merupakan sumber inspirasi puisi masa kini, telah melahirkan dua aliran kepenyairan; para seniman dan para terus mata, yang satu mengalir ke Mallarme menuju Valery, satunya lagi menelusup pada Rimbaud menukik ke avontir, kaum surrealis (Marcel Raymond “De Baudelaire au Surrealisme”, Jose Corti 1963, dikutip Wing Kardjo).
Wing Kardjo sendiri mengatakan “Alam semacam alegori mistik, sejenis perangsang imajinasi. Walau begitu Baudelaire tetap menyatakan bahwa ilham ialah ganjaran usaha sehari-hari, bukan semata-mata turun begitu saja.”
Charles Pierre Baudelaire, lahir di Paris 19 April 1821, meninggal 31 Agus 1867, adalah Raja Para Penyair (ungkapan Rimbaud), pengkritik serta penerjemah berpengaruh abad sembilan belas. Ayahnya pegawai negeri juga seniman, meninggal ketika Baudelaire masih kecil 1827. Tahun berikutnya, ibunya Caroline, 34 tahun lebih muda dari ayahnya, menikahi Letnan Kolonel Jacques Aupick, kemudian menjabat duta besar Perancis untuk berbagai kerajaan. {dari buku Sajak-Sajak Modern Perancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, PUstaka Jaya, Cetakan II, 1975}.
**
Tahun 1841 orangtua Baudelaire mengirimnya ke India, agar berhenti dari kecenderungan hidup bohemian, tapi setahun kemudian balik ke Prancis menerima warisan. Pada 1844 telah kehilangan separuh uang warisan atas gaya berfoya-foya. Demi menunjang hidupnya menulis kritik seni, esai, serta resensi di berbagai jurnal, puisi-puisinya mulai bermunculan sejak 1840-an. Di tahun 1847, menerbitkan autobiografis, La Fanfarlo. 1854-1855, menerbitkan karya Edgar Allan Poe. 1857 Les Fleurs du Mal (Bunga-bunga Iblis) terbit, antologi puisi yang kental muatan seksualnya, Gustave Flaubert dan Victor Hugo menulis pujian atas capaiannya. Puisi prosais yang baru diterbitkan setelah kematiannya bertitel “Petits poemes en prose” 1869. {dari Ensiklopedia Sastra Dunia, disusun Anton Kurnia, i:boekoe, 2006}.
***
Aku saksikan Baudelaire sesosok penyair yang getol mencari formula kimiawi kata-kata, demi kesegaran terutama pada puisi-puisinya.
Pergulatan jiwa mengawang di antara hidup bohemian, menempa bathin penggerus waktu melewati peristiwa, sebugaran tampak terjaga.
Memukul dinding perpuisian lama, menghempas ke dalam kawah candradimuka pergulatan sukma, tak menghamba bayang-bayang sejarah.
Tapi melintasi warna abad lalu di tempatkan pada posisi telah bergumulan setubuhan kata, atas sikap karyanya.
Sebab detak-detik waktu tempat kejadian membebani kesadaran, diselesaikan dengan getol menulis sayap-sayap tetingkah terolah perasaan.
Nyata bau-bau harum merangsang dirinya mendaki tapak-tapak pencapaian, melahirkan pandangan matang, menaburkan deburan ombak kekhusyukan.
Sesampai takaran tertentu terhempas ke pantai keyakinan menjadi faham menggasing sekeliling, menjelajahi pengertian orang sesudahnya, atas nalar kritis menelisik mengembang dedahan pengetahuan.
Dari bacaan juga pertikaian masa menentukan terpojok di ruangan, memasuki atmosfir gelegak kepala memaksanya mengaduk relung terdalam, sampai temukan keleluasaan gerak penciptaan.
Keliaran hidup menyamping miring kadang jalan serong, naik-turun pada hiburan malam gemerlap teka-teki lampu, juga firasat-firasat menerobos padang sahara pemikiran.
Menembus bingkai aliran menerabas seperti bintang berekor menyepyurkan bintik-bintik cahaya di kegelapan malam, atas kecantikan bulan selalu edarkan kebaharuan.
Tekanan hayat rasa bersalah atau tengah lupa lenyap dari taksiran sebelumnya, pun kantuk memperjelas bacaan, mendorong masuk ke lorong tak terkira.
Entah keseimbangan atau lacur, tatkala insan pencari diayun gelombang melahirkan buih dari dinaya angin kenangan serta pegunungan jauh.
Ada tekanan kuat hawa menjelma musim di alam bathin bergantian, berkembang rontok berputar, sedang penanda jam demi kejadian peperangan tak henti bercampur pemahaman kental.
Bahwa nasib harus diteruskan pada rentangan masa-masa, jarak pertimbangan kehakikian memeluk kesendirian, seakan langitan hayati memberi restu meski kesilapan dilalui.
Entah ganjaran atau dosa manakala perbuatan terbuhul dalam buku pencapaian, jasad utusan atau menggila di jalan lusuh yang jauh jangkauan cahaya.
Perenungan mengelus dada wengi, menghaluskan panorama rahayu, sesempurna kembang berwarna di taman-taman kesejatian menempa.
Sementara kabut kegelisahan semega ketakutan menjatuhkan tangis hujan deras tiada tertahan, menggigil demam gejala keabadian sepanjang jaman.
Dan puisinya di atas pun, Baudelaire sandarkan segala dalam kesibukan, hantu-hantu hawatir dilenyapkan lewat sabetan parang telanjang penciptaan.
Tebasan kemungkinan ayunan diyakini menutup cela-cela ganjil tak beralasan, jantung berdebar memompa otaknya belajar dalam kegelisahan.
Laksana babak-babak kesintingan tak pernah berhenti menggayuh cakrawala dari harapan tertinggal.
Ada wujud tenaga kegaiban, manakala dirinya menyodok persoalan jenis huru-hara tetapi tak mencederai luka-luka lama.
Namun semakin banyak derita, manakala tiada ditemukan jawaban, umpama berjalan terlebih dulu, menunggu ketertinggalan lain.
Denyut penantian itu lebih menakutkan sedari kegagalan menyerupai wajah penghancur masa depan.
Tapi dirinya menjajaki yang menjegal kemungkinan gelap pemahaman menerus, bahwa persoalan kudu dihadapi.
Meski rerintangan bermata kelicikan, hingga tarian jemari memantul karang membentur tebing menjulang.
Menggemakan kehadiran yang jadi cencangan ruhaniah, demi budak takdirnya semata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar