Minggu, 17 Januari 2010

Charles Baudelaire (1821-1867)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

MABUKLAH!
Charles Baudelaire

Meski selalu mabuk. Terang sudah: itulah masalah satu-satunya. Agar tidak merasakan beban ngeri Sang Waktu yang meremukkan bahu serta merundukkan tubuhmu ke bumi, mestilah kau bermabuk-mabuk terus-terusan. Tetapi dengan apa? Dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi mabuklah!
Dan jika sembarang waktu, di tangga istana, di rumput hijau kamalir, dalam kesepian guram kamarmu, kau tersadar dan merasakan mabukmu sudah berkurang atau menghilang, tanyakanlah pada angin, pada gelombang, pada bintang, pada burung, pada jam, pada segala yang lari, pada segala yang merintih, pada segala yang berputar, pada segala yang bernyanyi, pada segala yang bicara, tanyakan jam berapa hari, dan angin, gelombang, bintang, burung, jam bakal menjawab: “Inilah saatnya untuk mabuk! Untuk tidak menjadi budak siksaan Sang Waktu, mabuklah; bermabuk-mabuklah tanpa henti-hentinya! Dengan anggur, dengan puisi atau kebajikan, sesuka hatimu-”
*

Puisi modern Prancis dapat dibilang berawal dari Charles Baudelaire atas kumpulan sajaknya “Les Fleurs du Mal” yang merupakan sumber inspirasi puisi masa kini, telah melahirkan dua aliran kepenyairan; para seniman dan para terus mata, yang satu mengalir ke Mallarme menuju Valery, satunya lagi menelusup pada Rimbaud menukik ke avontir, kaum surrealis (Marcel Raymond “De Baudelaire au Surrealisme”, Jose Corti 1963, dikutip Wing Kardjo).
Wing Kardjo sendiri mengatakan “Alam semacam alegori mistik, sejenis perangsang imajinasi. Walau begitu Baudelaire tetap menyatakan bahwa ilham ialah ganjaran usaha sehari-hari, bukan semata-mata turun begitu saja.”
Charles Pierre Baudelaire, lahir di Paris 19 April 1821, meninggal 31 Agus 1867, adalah Raja Para Penyair (ungkapan Rimbaud), pengkritik serta penerjemah berpengaruh abad sembilan belas. Ayahnya pegawai negeri juga seniman, meninggal ketika Baudelaire masih kecil 1827. Tahun berikutnya, ibunya Caroline, 34 tahun lebih muda dari ayahnya, menikahi Letnan Kolonel Jacques Aupick, kemudian menjabat duta besar Perancis untuk berbagai kerajaan. {dari buku Sajak-Sajak Modern Perancis Dalam Dua Bahasa, disusun Wing Kardjo, PUstaka Jaya, Cetakan II, 1975}.
**

Tahun 1841 orangtua Baudelaire mengirimnya ke India, agar berhenti dari kecenderungan hidup bohemian, tapi setahun kemudian balik ke Prancis menerima warisan. Pada 1844 telah kehilangan separuh uang warisan atas gaya berfoya-foya. Demi menunjang hidupnya menulis kritik seni, esai, serta resensi di berbagai jurnal, puisi-puisinya mulai bermunculan sejak 1840-an. Di tahun 1847, menerbitkan autobiografis, La Fanfarlo. 1854-1855, menerbitkan karya Edgar Allan Poe. 1857 Les Fleurs du Mal (Bunga-bunga Iblis) terbit, antologi puisi yang kental muatan seksualnya, Gustave Flaubert dan Victor Hugo menulis pujian atas capaiannya. Puisi prosais yang baru diterbitkan setelah kematiannya bertitel “Petits poemes en prose” 1869. {dari Ensiklopedia Sastra Dunia, disusun Anton Kurnia, i:boekoe, 2006}.
***

Aku saksikan Baudelaire sesosok penyair yang getol mencari formula kimiawi kata-kata, demi kesegaran terutama pada puisi-puisinya.

Pergulatan jiwa mengawang di antara hidup bohemian, menempa bathin penggerus waktu melewati peristiwa, sebugaran tampak terjaga.

Memukul dinding perpuisian lama, menghempas ke dalam kawah candradimuka pergulatan sukma, tak menghamba bayang-bayang sejarah.

Tapi melintasi warna abad lalu di tempatkan pada posisi telah bergumulan setubuhan kata, atas sikap karyanya.

Sebab detak-detik waktu tempat kejadian membebani kesadaran, diselesaikan dengan getol menulis sayap-sayap tetingkah terolah perasaan.

Nyata bau-bau harum merangsang dirinya mendaki tapak-tapak pencapaian, melahirkan pandangan matang, menaburkan deburan ombak kekhusyukan.

Sesampai takaran tertentu terhempas ke pantai keyakinan menjadi faham menggasing sekeliling, menjelajahi pengertian orang sesudahnya, atas nalar kritis menelisik mengembang dedahan pengetahuan.

Dari bacaan juga pertikaian masa menentukan terpojok di ruangan, memasuki atmosfir gelegak kepala memaksanya mengaduk relung terdalam, sampai temukan keleluasaan gerak penciptaan.

Keliaran hidup menyamping miring kadang jalan serong, naik-turun pada hiburan malam gemerlap teka-teki lampu, juga firasat-firasat menerobos padang sahara pemikiran.

Menembus bingkai aliran menerabas seperti bintang berekor menyepyurkan bintik-bintik cahaya di kegelapan malam, atas kecantikan bulan selalu edarkan kebaharuan.

Tekanan hayat rasa bersalah atau tengah lupa lenyap dari taksiran sebelumnya, pun kantuk memperjelas bacaan, mendorong masuk ke lorong tak terkira.

Entah keseimbangan atau lacur, tatkala insan pencari diayun gelombang melahirkan buih dari dinaya angin kenangan serta pegunungan jauh.

Ada tekanan kuat hawa menjelma musim di alam bathin bergantian, berkembang rontok berputar, sedang penanda jam demi kejadian peperangan tak henti bercampur pemahaman kental.

Bahwa nasib harus diteruskan pada rentangan masa-masa, jarak pertimbangan kehakikian memeluk kesendirian, seakan langitan hayati memberi restu meski kesilapan dilalui.

Entah ganjaran atau dosa manakala perbuatan terbuhul dalam buku pencapaian, jasad utusan atau menggila di jalan lusuh yang jauh jangkauan cahaya.

Perenungan mengelus dada wengi, menghaluskan panorama rahayu, sesempurna kembang berwarna di taman-taman kesejatian menempa.

Sementara kabut kegelisahan semega ketakutan menjatuhkan tangis hujan deras tiada tertahan, menggigil demam gejala keabadian sepanjang jaman.

Dan puisinya di atas pun, Baudelaire sandarkan segala dalam kesibukan, hantu-hantu hawatir dilenyapkan lewat sabetan parang telanjang penciptaan.

Tebasan kemungkinan ayunan diyakini menutup cela-cela ganjil tak beralasan, jantung berdebar memompa otaknya belajar dalam kegelisahan.

Laksana babak-babak kesintingan tak pernah berhenti menggayuh cakrawala dari harapan tertinggal.

Ada wujud tenaga kegaiban, manakala dirinya menyodok persoalan jenis huru-hara tetapi tak mencederai luka-luka lama.

Namun semakin banyak derita, manakala tiada ditemukan jawaban, umpama berjalan terlebih dulu, menunggu ketertinggalan lain.

Denyut penantian itu lebih menakutkan sedari kegagalan menyerupai wajah penghancur masa depan.

Tapi dirinya menjajaki yang menjegal kemungkinan gelap pemahaman menerus, bahwa persoalan kudu dihadapi.

Meski rerintangan bermata kelicikan, hingga tarian jemari memantul karang membentur tebing menjulang.

Menggemakan kehadiran yang jadi cencangan ruhaniah, demi budak takdirnya semata.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )