Jumat, 29 Januari 2010

André Chénier (1762-1794)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/

André Chénier (1762-1794) penyair Prancis, lahir di Konstantinopel, dan mati atas giyotin (kapak gantung) di Paris, sewaktu api revolusi hebat mengamuk. Seperti Ronsard, banyak mencaplok pujangga-pujangga Romawi, serta Yunani Purba. Walau demikian bahasanya kukuh, sangat lincah bersemangat, yang berasal dari fantasi menyala dalam kancah revolusi, hingga dipandang pelopor jaman romantik Prancis. Chénier juga menggubah sajak neo klasik, satire pun puisi berfalsafah ilmu pengetahuan di jamannya. Sajak-sajaknya paling terkenal, pula penghabisan ialah Le Jeune Captive, tentang seorang yang sama terpenjara denganya.

DARI: SAJAK PENGHABISAN
André Chénier

Bagai sinar terakhir, bagai sepoi penghabisan
Yang melincah akhir hari yang permai,

Masih kucoba petik kecapi di kaki tiang gantungan;
Siapa tahu! Giliranku datang tak lama lagi.

Ya, siapa tahu! sebelum jarum menit dalam lingkaran,
Yang tercantum di muka jam kemilau,

Menamatkan enam puluh kali detik ingsutan
Dengan si pongang klenengan bergalau,

Tidur abadi telah tutup kedua pelupuk mata,
Sebelum pada sajak yang kugubah,

Aku mulai membubuh persajakan akhir-akhir barisnya,
Maka antara dinding-dinding ngeri, mungkin

Pembawa pesan dari Maut, si Hitam pengerah bayang-bayang,
Diiringkan oleh serdadu yang engkar

Telah menggemakan namaku di suram ruang panjang.

{dari buku Puisi Dunia, jilid I, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***

Menyimak Sajak Penghabisan Chénier, merasainya dalam gema bacaan pelan-pelan, tengah menebah ladang tandus masa-masa, menggemuruh sekaligus pecah, nasib nyinyir menanti panggilan kapak gantung, nyawa dipastikan melayang.

Kini aku mulai menyusuri, semoga pengetahuan puitik kekal dalam jiwa: Chénier menginsyafi perjuangannya, memupus bagai ujung daun pisang melambai-lambai, pada cahaya matahari senja memberi salam damai.

Seumpama keluhuran purba tercapai kesantausaan, akhir dimengerti angin sepoi menginsut bersembunyi, memasuki cela-cela malam, membeku dalam maknawi paling permai.

Tak sabar menanti panggilan terus bersenandung, dengan kecapi hati melagukan perih, alunannya menyayat menyobek langit paling sepi.

Membuyarkan awan-gemawan tersingkap artian mimpi, kaki-kaki gemetaran dalam keyakinan adanya sangsi, sebab waktunya bakal terjadi.

Betapa tiada guna disesali, masihlah untung dihayati, siapa tahu nada sunyi pedih, ada tersembunyi dibalik perubahan masa giliran jaman memaknai tragedi.

Kegemilangan tidak terkira, meski isyarat teka-teki. Kepasrahan teguh pendirian, kebisuan menghantar perimbangan. Betapa senang walau perwajahan menulis puisi.

Menit-menit berlalu nafasan gelombang, membisik telinga penuh gebalau pengaduan, Chénier tenang sesekali mencium harum kembang kesegaran, meremaja pandangan membeningkan fikiran.

Memelas tiada kesaksian selain kerahasiaan, diri pada pinggiran kepastian, dengan mengulurkan bentangan kemungkinan, andai bunga menanti kecupan kumbang.

Siapa tahu waktu dapat diajak berkawan, menyetiai ajal datang sudi berpelukan mesra, kuncupan mekar selalu dikenang, demikian pun langgam keabadian.

Detik-detik diejanya menambatkan kegundahan, tidak terasa atau kian dirasai, was-was bermelodi kekudusan, memompa jantung senyawa juang.

Waktu halus selembut uap dilayangkan udara bertiupan nafas, menunggu mengintip kecurigaan, walau denting kelenengan hampir sampai.

Makna waktu bertambah nikmat perjamuan, hembusan tegukan madu berwarna-warni memasuki penghidupan.

Kejernihan hening membuka hijab pelahan, galau mendedah seluruh pandangan berkeajaiban muasal.

Syaraf-syaraf batang pohon menyusuri akar, kembang bermekaran kembali kuntum, bayu masuki mulut awal pengetahuan, mitos beku, Chénier tak ubahnya batu.

Betapa lama menunggu dengan serat-serat berdetak di rongga air mengubah syair, tetap tiada mendengarnya.

Chénier belum puas purnakan hayat, saling hirup nafas makmurkan daya tarik alam meluas, seakan selalu baru dilahirkan, demikian insan sudi terima nasib diemban.

Syukur keluhuran budi panjatkan harap, mati tertidur dalam hayat diandaikan, sakit gula-gula diperoleh arti.

Tiada jemu membulatkan kefahaman, berkesungguhan menyadari yang pantas diraih, digayuh pejaman mata, belum digubahnya puncak, telah rela diterima.

Darahnya mendidih, membubuhkan ruang waktu berbaris-baris sajak diamnya menuju akhir, dingin dinding mata tanpa senyuman, wajah-wajah suram merendahkan, kadang menyelidik sejauh perkiraan.

Dan apa tersimpan tak dapat diukur lewati taksiran sambil jalan. Jiwanya tenang, walau betapa ngeri terjadi, lepas satu-persatu yang dicinta pula dibenci.

Sampai di pantai ditumbuhi gurun pasir antara tanjung karang, angin beringas merusak kapal berlayar, sebab tanpa rasa cinta pelaut.

Namun Chénier meneguhkan kehati-hatian kantuk, memeluk menembus batas isyarat, tiada ngeri, kala segalanya membaur.

Meskipun tidak mengenali, pembawa pesan bayang-bayangnya, selalu di samping rumah sebelah tubuh.

Tengah berbaring sedang berjalan, tak ada kenali sesuatu, saat mencabut tak lagi berbayang, sebab terambili bayangan menuju jauh dikawal pasukan.

Hingga tak mampu menculik badan bersama keutuhan nafas pengertian, enyah menemui yang mempurnakan sebelumnya.

Pendapat dapat kedudukan layak, sewarna pekat di bawah malam, ketebalan awan menghitam menutupi siang, selapisan bertumpuk ke dada-dada penasaran.

Jemari tangan mata liar, sudah akrab sejatihnya jauh, lewat cukup hati, Chénier mengenal lembut ujung puisi, dielus-elus belaian tipis sampai.

Betapa bergemanya kata-kata antara maut ditegakkan kalbu keyakinan bergetar, degup saksi berkumandang mengisi ruang suram pergolakan abadi, mentitahkan mental dikenang pelajaran.

Nyanyian sejauh terompet sangkala meleburkan hidup, menjelma debu-debu diterbangkan bayu atas matahari, menerobos daging menyongsong sejarah dirindukan.

Yang berteguh niat dengan puisi jiwa, tidak pernah mati, meski dikubur intrik timbunan tanah serakah.

Harum semerbak kabarkan hati, meresapi detikan usia teguh pendirian, takkan tersangkal meruapi tiupan ruh, atas restu digenggaman.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )