Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/
André Chénier (1762-1794) penyair Prancis, lahir di Konstantinopel, dan mati atas giyotin (kapak gantung) di Paris, sewaktu api revolusi hebat mengamuk. Seperti Ronsard, banyak mencaplok pujangga-pujangga Romawi, serta Yunani Purba. Walau demikian bahasanya kukuh, sangat lincah bersemangat, yang berasal dari fantasi menyala dalam kancah revolusi, hingga dipandang pelopor jaman romantik Prancis. Chénier juga menggubah sajak neo klasik, satire pun puisi berfalsafah ilmu pengetahuan di jamannya. Sajak-sajaknya paling terkenal, pula penghabisan ialah Le Jeune Captive, tentang seorang yang sama terpenjara denganya.
DARI: SAJAK PENGHABISAN
André Chénier
Bagai sinar terakhir, bagai sepoi penghabisan
Yang melincah akhir hari yang permai,
Masih kucoba petik kecapi di kaki tiang gantungan;
Siapa tahu! Giliranku datang tak lama lagi.
Ya, siapa tahu! sebelum jarum menit dalam lingkaran,
Yang tercantum di muka jam kemilau,
Menamatkan enam puluh kali detik ingsutan
Dengan si pongang klenengan bergalau,
Tidur abadi telah tutup kedua pelupuk mata,
Sebelum pada sajak yang kugubah,
Aku mulai membubuh persajakan akhir-akhir barisnya,
Maka antara dinding-dinding ngeri, mungkin
Pembawa pesan dari Maut, si Hitam pengerah bayang-bayang,
Diiringkan oleh serdadu yang engkar
Telah menggemakan namaku di suram ruang panjang.
{dari buku Puisi Dunia, jilid I, disusun M. Taslim Ali, Balai Pustaka, 1952}
***
Menyimak Sajak Penghabisan Chénier, merasainya dalam gema bacaan pelan-pelan, tengah menebah ladang tandus masa-masa, menggemuruh sekaligus pecah, nasib nyinyir menanti panggilan kapak gantung, nyawa dipastikan melayang.
Kini aku mulai menyusuri, semoga pengetahuan puitik kekal dalam jiwa: Chénier menginsyafi perjuangannya, memupus bagai ujung daun pisang melambai-lambai, pada cahaya matahari senja memberi salam damai.
Seumpama keluhuran purba tercapai kesantausaan, akhir dimengerti angin sepoi menginsut bersembunyi, memasuki cela-cela malam, membeku dalam maknawi paling permai.
Tak sabar menanti panggilan terus bersenandung, dengan kecapi hati melagukan perih, alunannya menyayat menyobek langit paling sepi.
Membuyarkan awan-gemawan tersingkap artian mimpi, kaki-kaki gemetaran dalam keyakinan adanya sangsi, sebab waktunya bakal terjadi.
Betapa tiada guna disesali, masihlah untung dihayati, siapa tahu nada sunyi pedih, ada tersembunyi dibalik perubahan masa giliran jaman memaknai tragedi.
Kegemilangan tidak terkira, meski isyarat teka-teki. Kepasrahan teguh pendirian, kebisuan menghantar perimbangan. Betapa senang walau perwajahan menulis puisi.
Menit-menit berlalu nafasan gelombang, membisik telinga penuh gebalau pengaduan, Chénier tenang sesekali mencium harum kembang kesegaran, meremaja pandangan membeningkan fikiran.
Memelas tiada kesaksian selain kerahasiaan, diri pada pinggiran kepastian, dengan mengulurkan bentangan kemungkinan, andai bunga menanti kecupan kumbang.
Siapa tahu waktu dapat diajak berkawan, menyetiai ajal datang sudi berpelukan mesra, kuncupan mekar selalu dikenang, demikian pun langgam keabadian.
Detik-detik diejanya menambatkan kegundahan, tidak terasa atau kian dirasai, was-was bermelodi kekudusan, memompa jantung senyawa juang.
Waktu halus selembut uap dilayangkan udara bertiupan nafas, menunggu mengintip kecurigaan, walau denting kelenengan hampir sampai.
Makna waktu bertambah nikmat perjamuan, hembusan tegukan madu berwarna-warni memasuki penghidupan.
Kejernihan hening membuka hijab pelahan, galau mendedah seluruh pandangan berkeajaiban muasal.
Syaraf-syaraf batang pohon menyusuri akar, kembang bermekaran kembali kuntum, bayu masuki mulut awal pengetahuan, mitos beku, Chénier tak ubahnya batu.
Betapa lama menunggu dengan serat-serat berdetak di rongga air mengubah syair, tetap tiada mendengarnya.
Chénier belum puas purnakan hayat, saling hirup nafas makmurkan daya tarik alam meluas, seakan selalu baru dilahirkan, demikian insan sudi terima nasib diemban.
Syukur keluhuran budi panjatkan harap, mati tertidur dalam hayat diandaikan, sakit gula-gula diperoleh arti.
Tiada jemu membulatkan kefahaman, berkesungguhan menyadari yang pantas diraih, digayuh pejaman mata, belum digubahnya puncak, telah rela diterima.
Darahnya mendidih, membubuhkan ruang waktu berbaris-baris sajak diamnya menuju akhir, dingin dinding mata tanpa senyuman, wajah-wajah suram merendahkan, kadang menyelidik sejauh perkiraan.
Dan apa tersimpan tak dapat diukur lewati taksiran sambil jalan. Jiwanya tenang, walau betapa ngeri terjadi, lepas satu-persatu yang dicinta pula dibenci.
Sampai di pantai ditumbuhi gurun pasir antara tanjung karang, angin beringas merusak kapal berlayar, sebab tanpa rasa cinta pelaut.
Namun Chénier meneguhkan kehati-hatian kantuk, memeluk menembus batas isyarat, tiada ngeri, kala segalanya membaur.
Meskipun tidak mengenali, pembawa pesan bayang-bayangnya, selalu di samping rumah sebelah tubuh.
Tengah berbaring sedang berjalan, tak ada kenali sesuatu, saat mencabut tak lagi berbayang, sebab terambili bayangan menuju jauh dikawal pasukan.
Hingga tak mampu menculik badan bersama keutuhan nafas pengertian, enyah menemui yang mempurnakan sebelumnya.
Pendapat dapat kedudukan layak, sewarna pekat di bawah malam, ketebalan awan menghitam menutupi siang, selapisan bertumpuk ke dada-dada penasaran.
Jemari tangan mata liar, sudah akrab sejatihnya jauh, lewat cukup hati, Chénier mengenal lembut ujung puisi, dielus-elus belaian tipis sampai.
Betapa bergemanya kata-kata antara maut ditegakkan kalbu keyakinan bergetar, degup saksi berkumandang mengisi ruang suram pergolakan abadi, mentitahkan mental dikenang pelajaran.
Nyanyian sejauh terompet sangkala meleburkan hidup, menjelma debu-debu diterbangkan bayu atas matahari, menerobos daging menyongsong sejarah dirindukan.
Yang berteguh niat dengan puisi jiwa, tidak pernah mati, meski dikubur intrik timbunan tanah serakah.
Harum semerbak kabarkan hati, meresapi detikan usia teguh pendirian, takkan tersangkal meruapi tiupan ruh, atas restu digenggaman.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar