Nurel Javissyarqi*
Berangkat dari kesadaran kesemestaan atas organ lingkungan diri, memasuki wacana memproyeksi hal tertandakan bagi tampakan keberzamanan. Poin-poin mengenai perubahan, wajib dimengerti pribadi secara terus berevolusi di dalam kapasitasnya memurnikan nilai-nilai kemanusiaan.
Satu gagasan mensengajakan wahana untuk sarana perbaikan kasus, agar tidak lusuh meninggalkan aspirasi insani. Segerak maju saat-saat suasana data dari kontrak sosial, perjanjian kesementaraan dinilai, ditemukan solusi pencerahan. Dengan mengesampingkan suara lokal demi kepentingan perubahan global serta tidak meninggalkan unsur lainnya.
Mempelajari makna kekuasaan, lewat mengedepankan kebersamaan, bertumpu pada jalinan sesama. Bermula lingkungan terkecil atau rumah tangga, berkelanjutan sampai struktur pemerintahan. Ini bisa kiranya setelah kemanusiaan terpuruk di bingkai pertikaian berkepanjangan, lalu kesadaran masa berbangkit, menyuarakan nurani keamanan bersama sebagai perwujudan hayat.
Pokok permasalahannya melewati pendekatan bathin, yang mana penulis turut bagi jalannya beberapa pendekatan yang telah mapan. Atau saya menggunakan pendekatan humanis naturalis, yang menampilkan keberimbangan dari ruang yang ada, di dalam pun di luar lingkup diri kemanusiaan.
Mungkin sebagian orang mengatakan, pendekatan ini sekadar asumsi kelewat berani dari apa-apa menjadi kendaraan sebelumnya. Atau mereka berkata, saya terlalu yakin mempersoalkan ini, sedang tanda dari perubahan menuju keambrukan belum tersentuh.
Lalu saya mencoba mengurai persoalan tersebut, sebagai daya rindu bertumpuknya pesakitan atas teror terlihat di depan mata, terpampang di media masa. Bukankah asumsi itu daya rindu menggebu atas tingkat kendali saat-saat pilu, lalu menjadi tahap pelajaran demi mewujudkan asumsi sebagai ilmu.
Mungkin jalan tengah tertawarkan ini menjadi solusi baik di medan persoalan kehidupan sosial, atau pada puncaknya saling memberi kasih, ruang-waktu bermeditasi sosial, sebagai tahap pembuka keselarasan pandang di bangku-bangku penyelesaian persoalan yang ada.
Revolusi sosial, bahan penulis tempuh menggigit kebakuan atau kebekuan masa yang selama ini mencekik makna kemanusiaan. Sebagai lokomotifnya kalbu mengurai persoalan, sehingga hasil tercita-citakan berupa kesejukan pilihan, palu penentu perimbangan, penyelesaiannya bukan berdasar kepentingan kekuasaan ambigu yang tiran.
Dasar tertempuh berkendaraan perubahan sosial dan geografis dinamik menuju pencerahan, berasal kerja bersama bahu-membahu. Sehingga beban tertanggung mengoreksi ulang perubahan dengan diperbantukan atas makna kata-kata yang bertebaran, yang telah merasuk menjelma racun atas kenangan.
Atau kenangan atas kata-kata memproyeksikan kerja keyakinan, ini pendekatan filosofis, mengurai pokok permasalahan menjadi bahan kajian. Bagian ini, saya sebut kontrak kata dalam menjalankan asumsinya sebagi suatu kekuatan dalam, atau kenangan bahasa yang merasuk sebagai pijakan kesadaran insan menjalani hidup.
Yang ditujukan tidak sekadar rutinitas membosan berakibat mematikan, tetapi dimana alirkan arus kesadaran sungai menggelinjak bertemu bebatuan, mengalir ke lembah kemanusiaan yang teduh penuh kedamaian.
Sehingga yang terbangun berasal wewarna, corak atau volume perubahan jiwa sosial, yang garapannya memasuki bahasan filosofis. Tentunya didasari kesadaran rekonstruksi makna asal kata-kata. Suatu bangunan takkan runtuh jika memang dunia mempercayai kekuatan bahasa.
Apa yang sedang berlangsung itu proses evolusi kemajuan kesadaran indra luar-dalam, memasuki pemahaman yang diharapkan menjadi suatu kemapanan, terkendalikan pada bingkai perasaan manusiawi. Menjembatani remang menuju kejelasan makna kata-kata, dan suatu ambigu pencernaan sebagai konstelasi mencerahkan nantinya.
Maka ikutilah kalimah dengan seksama, lantas bersegeralah memasuki kalbu permenungan sebagai gerak maju revolusi sosial dalam batok kepala, tanpa lupa kaki-kaki berpijak di bumi pertiwi. Atau proses sedang berlangsung pada diri nantinya, merupakan jarak penghubung fenomena dan gejolak nalar serta perasaan, lalu diperbantukan sebagai jemari tangan terkepal.
Dinamakan revolusi, tonggak sejarah, keadaban anyar, menitik beratkan hikmah hayati. Dapat diartikan proses rekonstruksi keyakinan sesuatu yang ilmiah, kelupaan keluputan arah terus diperbantukan sejarah sebelumnya kepada jalur tertempuh berasal kesadaran bersama, identifikasi diri oleh beberapa teguran, probem, tragedi pun musibah serta gejalah menuju ke sana.
Wajar kiranya gagasan yang tampil sebagai jawaban kendali. Berpijak di situ, meski seangin kencang mitos nenek moyang berhembus, meniup debu menutupi pandangan sebelumnya. Nikmat terasa yang tertera menjadi jalannya kisah mendebarkan, tidak sekadar hangat namun menggelora, memuntahkan lahar atas penebangan pohon nilai luhur kemarin silam.
Itu dimaksudkan kesadaran nilai insan, kebangkitan bersama sebagai tahap diri menuju global. Pantas kiranya mengangkat suara-suara anak negeri, corong-corong lantang bukan berdasarkan kedirian sesaat, tapi atas beberapa proses berulang, jatuh bangun bekas jajahan, dan yang sedang berlangsungnya virus merasuk meracuni tubuh permodalan ke pinggiran matahari kita.
Harus diakui, kita sudah lama memendam racun menular dalam tubuh bangsa atas kedirian telah ngapal oleh bertubi-tubinya tragedi, juga kesalahan terus berlangsung, namun hanya menjadi berita manis yang terpampang tanpa memberi pesan ajaib bagi kesadaran.
Pengembangannya pun sekadar pengulangan yang membuat perut pengetahuan kita mulas, atau pertikaian omong kosong membuat mandul, berfikir dari proses sejarah yang melelahkan dari kebodohan. Sehingga yang ada ialah muspro, bukan menjadi mapan seperti petikan berangsur membosan dalam telinga, oleh melodi berkepanjang yang bukan memberi musikal pencerahan.
Makna kekuasaaan hadir saat bertemu kesadaran, atau awal kesadaran bernama keremajaan serta penuwaan di dalamnya. Tentu penilaian ini dari proses yang diperbantingkan ruang waktu diri menyuntuki hal digebu. Dan kehadirannya tidak jauh dari lingkungan, daya asumsi yang dikendalikan renungan. Ini ujiannya sebelum kaki-kaki melangkah di bencah perencanaan.
Sebab-sebab perhitungan matang menjelma penentu fikiran di sekitar terjadinya perubahan. Poin-poinnya melandasi pacuan yang cukup mempengaruhi gerak kedirian mendatang. Seleksi alam pemicu lahirnya kesadaran paling pribadi.
Kesadaran itu kekuasaan terbangun untuk keberlangsungan naluri berbunga dari sekumpulan pertanyaan dan ruang-ruang penentu pijakan. Perbendaharaannya dari kesembuhan nalar atas daya tarik kontrak sosial yang dinamai kesadaran kuasa.
Kekuasaan dan kesadaran ialah cara pandang mendasar, hadir atas percobaan persepsi hingga menjelma premis penentu. Membangun sarana mental evolusi nilai, di sekitar acara telaah hari-hari, dan jarak yang ditempuh pengoreksian diri di depan cermin hayati.
Keduanya (kesadaran dan kekuasaan) merupakan penentu terjadinya pembuangan timbunan pengetahuan yang melelahkan. Yang meletihkan ditariknya beberapa studi kasus kelumpuhan gerak, dengan seperangkat kesadaran manusiawi.
Ini harus selalu dipegang negara, organisasi serta diri yang menanjaki hayat, agar tampil tidak berupa kegagapan menuju kegagalan. Tetapi memberi peluang kemajemukan matang, ruang-waktu atas kontak kemungkinan tertandakan. Membuang gelembung waktu percuma, jika sekiranya sekadar bahan banding tanpa lapangan nyata; kerjasama realitas kesadaran, berperang melawan goda kepentingan kekuasaan yang tiran.
Proses selanjutnnya, memungkinkan mengambil beberapa pelajaran tengah berlalu, bagi kuasa diri atas kesadaran termiliki. Itu evaluasi penting pada nilai-nilai terbangun sampai berkebugaran. Namun sering kali rencana gagal menemui prahara di muka bumi, ialah hasil perencanaan salah; membangun daya dari sesuatu tak hakiki, jauh dari kesadaran manusiawi. Sebab kemasyarakatan selama ini, terbangun berlandaskan keberpihakan, hukum standar ganda membingungkan, yang tampil tali kendali terlepas, sasaran yang seharusnya dilalui itu terabaikan.
Musibah selama ini berasal dari keluputan pengamatan, pada ruang kabur yang sulit menentukan arah kelanjutan, atas lahirnya wacana berseliweran, tidak tertampung di ruang kesahajaan. Kalau memetik kebablasannya revolusi industri; berangkat tergiur perubahan, jiwa kebutuhan merangsek ingin dipenuhi, pola terbangun terstruktur, tiada keberagaman yang nantinya mencapai titik tak manusiawi.
Asumi yang ditimbulkan, bergesernya nilai menjadi bentuk-bentuk perbendaan. Dan fasilitas yang ada, rancangan proses perputaran kerja, tampak ideologi perbudakan. Medan pemaksaan yang menjerumuskan, menenggelamnya nilai-nilai luhur naluriah. Sejauh ini belum memiliki kontrol efektif; tidak ayal, bencana atas rencana berlebihan menemui muara, kehancuran.
Sejenis pola yang dikembangkan orang setres, kelewat mengumbar kesenangan yang masih terbebani sakit kepala atau kumat tiba-tiba. Dengan membaca gejolak yang ada, marilah menghentikan gerak masa sesaat, sehingga tampak yang bergerak bukan berdasarkan kedirian sejati. Semua berjalan serupa tubuh-tubuh robot, kelicikan memerima kepahitan realitas di kedalaman bathin, menghadirkan pelaku frustasi, mesin-mesin pencetak waktu tidak jelas, membuang sejauh mungkin perencanaan yang ada kemungkinan lainnya.
Padahal apabila yang lain ditarik, hasilnya dapat menemukan sesuatu yang lebih baik. Ini kerja membuang kebiasaan lama, membangun berkekuatan baru dari tiap-tiap diri yang ingin merevolusi dari evolusi nilai positif yang terabai. Menjadi minat baca sekiranya digerakkan kesadaran menilik bencana dari rencana. Olehnya gigih menjalankan pilihan sebagai pribadi berkembang. Yang siap terima resiko dengan tantangan serta konsekwensi gerak perubahan. Minat lain kembali pada niatan semula, mengambil tameng pribadi yang terlupa untuk dibawa sebagai jarak keamanan ketika meluruskan perjalanan besar, revolusi.
*)Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar