Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=78
“Tuhan kaum mistis adalah realitas”(Hazrat Inayat Khan)
Hidup memang pilihan, kata ayat yang tersirat dalam realitas kehidupan. Namun siapa yang sesungguhnya memilih, siapa pula penentu pilihan tersebut hingga langgeng?
Kehalusan akal kelembutan perasaan merupakan aura senantiasa berubah, sejenis timbangan takdir tak pernah berhenti menghitung gerak cahaya. Karnanya lelingkup kehidupan insan itu misteri yang naik ke puncak maya, menuju pijakan rasa terdalam menyodok niatan. Inilah kehendak berjuta penerimaan-penolakan, halus juga kasar.
Menjembatani kegamangan menjelma sosok bertanggung jawab di persidangan ruang-waktu. Kesadaran memberi-menerima memelihara tekad kebulatan nyata. Bagaimana seekor burung kecil tak berani belajar terbang, tentunya kan lumpuh di hari kemudian. Melihat dedaun tersambar angin jatuh pun induknya terbang melayang, menambatkan kaki-kaki pada pijakan kebenaran.
Apakah sang burung kecil terlalu berfikir perkembangan nafasnya saat-saat terbang, atau sebelum melayang sudah takut habisnya tenaga di udara kebebasan? Ialah benar nilai berangkat dari niatan kuat, mewujud tampilkan reaksinya hasrat. Perhitungan menentukan titik pergeseran menuju matang, atau sebaliknya keluar dari keyakinan.
Maka doa bukan sekadar pujian, tapi realitas buah menggelantung ingin terambil tangan halus pengetahuan. Janji kalbu berbicara bukan sehawa kabut dilenyapkan cahaya, namun membumbung bagi realitas menyadari, menjadi awan menghujani tetumbuhan, menyuburkan ladang, menyejukkan pandang. Ini bukan kesegaran bangun sehabis terlelap, tapi kesakitan memantapkan niat. Maka percobaan itu keharusan mengikuti jalan pertimbangan, kesadaran diri serta lingkungan yang menjadikan jiwanya mendapati tolak ukur manfaat.
Hazrat Inayat Khan dalam buku The Inner Life;
“jika orang mencapai realitas, maka ia berbicara dengan kehadiran tuhan.”
Ini kesadaran tidak dipaksakan, kemanusiaan teguh bersama Realitas, sehingga yang semu diabaikan. Waktu menjadi berdaya guna, bukan ngelantur dari ketiadaan, namun dari kehadiran jiwa bersentuhan mesrah kehadirat tuhan. Sebagaimana Allah Swt berfirman; “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah akan kekal. Dan sungguh Kami akan berikan balasan buat orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl 96).
Kesabaran itu tiada rintihan hamba pada sesamanya. Dalam ketabahan memantabkan diri melangkah bagi saksi jiwanya, yang teralami memondasi kelestarian realitas. Ini tidak iming-iming tapi keharusan, di mana sang penempuh tiada merasakan keberatan, oleh nafasnya berulang menghirup kesejatian. Ini bukan rangsangan esok terlupakan atau sugesti akal-akalan. Namun yang sejati kau pandang melewati keajaiban, atau tak lagi ajaib atas kematangan. Suatu tangga menghadirkan diri tertunduk dalam kelesuan hasrat, selain berserah kepada-Nya.
Sering kali kaum materialis menganggap tuhan imajinatif. Ini menjadikan kekeliruan, yang memunculkan pengucuran dana tidak wajar, pengadaan ritual panjatan jauh, atau tak percaya sama sekali. Apakah tidak sama antara tuhan imajinatif dengan ateisme? Kerap kali ini menimbulkan kericuan antar tradisi. Pemungutan tidak masuk akal dalam realitas nalar materialis. Ini ketimpangan menyegarkan, sejenis laguan jiwa yang haus hiburan. Orang sibuk yang inginkan kesenangan, atau menganggap peribadatan sejenis permainan.
Semisal tradisi yang mulanya baik, bersama iring-iringan waktu tidak bersahaja, sebab kepentingan umat yang kerap berubah atas olahan wataknya. Maka seleksi perubahan alam pemikiran menjadi syah, di samping terus mencari jalan keluar demi kedudukan ruang-waktu lebih baik bagi generasinya. Dan kemunculan model terbaru kudu diwaspadai. Apakah pola lama yang dibungkus, atau benar-benar anyar tetapi memboroskan sisi lain tanpa perhitungkan memiskinkan bidang tertentu. Menjadi tugas menempatkan kursi sesuai jangkauan yang mustinya lebih baik.
Ini gambaran lajunya spiritual yang berangkat dari imajinasi anak menuju kepastian penggalangan sewaktu dewasa, dan menjadi ternyatakan ketika masanya benar adanya. Sebagaimana dikatakan Hazrat Inayat Khan; “tujuan kaum mistis ialah merentangkan kesadaran seluas mungkin, sehingga mencapai kemajuan tertinggi serta ketawadhuan paling dalam.”
Senada di atas, Jalaluddin Rumi dalam fihi ma fihi menuturkan; “Dunia dibangun melalui imajinasi. Engkau menyebut dunia ini kenyataan, hanya karena dunia ini dapat dilihat dan nyata. Sedang gagasan hakiki yang merupakan cabang dunia, justru engkau menamakan imajinasi. Padahal kenyataannya sebaliknya, imajinasi adalah dunia itu sendiri.”
Ini lompatan penyadaran untuk menggubah pandangan kemarin yang materialis pasif menjadikan positif, apapun namanya atau berangkat dari mana, apa dari mistis atau materialistis. Sebab di kedalaman rasa senantiasa bening, hadir sebagai realitas sejati yang terdalam, benar-benar mempengaruhi gerak keseluruhan maya.
Membalikkan pandang sesungguhnya mudah setelah mempelajari apa yang benar-benar ada dalam renungan. Lewat menginsafi sudut kemarin, meluruskan proses kekinian yang tercerahkan. Kesulitannya disebabkan masih gamang menancapkan kekinian, ragu menggandoli kemajuan menjadi. Maka bukalah jiwa selebar mungkin, demi menampung segalanya menyegarkan, bukannya kesenangan sebab kesuntukan kangen. Inilah kebugaran meminta diambil yang hadir ke depan.
Mulla Shadra berkata; “Setiap kebaikan ialah cahaya samar-samar dari Cahaya Kecantikan-Nya yang bersinar-sinar.”
Tidakkah pandangan samar sebab mengenai hijab realitas semu yang terlihat kemarin. Maka marilah berusaha menuju Cahaya, mendekatkan diri kepada sinar-seminarnya, agar yang tampak dalam perbendaharaan tak lagi kesamaran, namun kejelasan dari realitas hakiki.
Kita melangkah naik turun sebab nafsu masih mengikuti, tapi bukankah dengan selalu merawat pandang kekinian; yakni tuhan realis. Segala ketakjuban menjadi kemesraan, keajaiban yang ditampakkan ialah percumbuan mengenyangkan, buka kembung terlalu banyak menelan angin ketidakjelasan di perjalanan. Maka segala panorama tertangkap menjelma rasa bersyukur nikmat pemberian amanah, yang menjadikan tidak disia-siakannya waktu berlalu dalam hayat.
Penyelesaian proses benar-benar hilang jika kesadaran terambil Sang Waktu. Yang bukannya hilang sebab keputusasaan lelah mencari. Al-Hallaj dalam kitab Thawasin VI, tentang Adam AS, 23 berujar: Dan Aku berkata, “jika engkau tidak mengenal Dia, maka lihat dan kenali tanda abadi-Nya, tanda yang kekal; dan Tanda itu adalah Aku, dan Akulah Kebenaran itu (ana al-Haqq), dan pada Hakikatnya Aku selamanya bersama dengan kebenaran itu.”
Al-Haqq ialah realitas kebenaran terpandang yang menuju realitas kebenaran-Nya. Maka pakailah celak demi menahan kantuk yang belum memberat, agar pandangan benar-benar jitu. Ini menjadi penampakan esensi dari Tanda yang menjadikan akrab bersahabat. Olehnya ditarik kesimpulan, cair atau kentalnya suatu gelombang akan masuk dimengerti dalam permenungan kepada tanjung karang paling senyap, serta beribu juta kesaksian ditemukan, tertangkap dalam keajaiban yang tidak lagi ajaib, karena telah mencapai realitas-Nya.
Ini perjalanan sisi lain dari batang tubuh lelakunya jasad, menjadi tempaan kematangan dari prosesi spiritual, melancongnya nalar budhi ke rumah damai yang teridam. Jauh dari sangkaan lalu yang keliru, maka mintalah restu dan berdoalah sungguh, agar jadwalnya tidak berbenturan namun menjadi tatanan terbaik sebagai pandangan jitu.
Sebagai penutup, kutulis panjatan doa yang digemakan Hazrat Inayat Khan:
Ya Allah
anugerahkan kepadaku fikiran mendalam
mimpi yang menyenangkan,
sedikit ungkapan banyak permenungan,
jalan yang lurus
cara pandang meluas
berakhir dalam kedamaian
Amin.
2004 Lamongan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar