Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/
PELAIANG*
Hermann Hesse
Malam benderang oleh cahaya kilat
Dan menggerenyet dalam sinar memutih
Dan berkedip ganas, goncang dan mencolok
Di atas hutan, sungai dan mukaku pucat.
Bersandar pada batang bambu yang sejuk
Aku berdiri dan menatap tiada henti,
Tanah pucat yang dicambuk hujan
Mendambakan ketenangan,
Dan dari masa muda yang jauh
Mendadak terdengar bagai kilat
Teriakan gembira lewat kesuraman mendung hujan,
Bahwa toh tidak semua hampa,
Bahwa toh tidak semua hambar dan gelap,
Bahwa petir masih memancar
Dan bahwa kebosanan hari-hari
Dilewati rahasia dan keajaiban buas yang membara.
Mengambil nafas dalam aku dengarkan guruh menghilang
Dan kurasakan kelembaban badai di rambutku
Dan untuk beberapa detik aku jaga bak harimau
Dan gembira, seperti pada masa muda
Yang sejak masa itu tiada pernah lagi aku rasakan.
* Pelaiang ialah nama tempat di Sumatera (Pelayang).
Hermann Hesse, penulis sajak dan prosa yang tertarik kebudayaan Asia, lahir di Calw, Jerman 1877. Di usia 18 tahun pindah ke Basel, Swiss, bekerja menjual buku serta menghabiskan sebagian hidupnya di sana. Tahun 1911 mengelilingi Asia, pengalamannya tersebut tergambar jelas dalam bukunya bertitel Aus Indien (Dari India). Ketika pernikahan pertamanya berakhir, berpindah ke Montagnola, Swiss. Novelnya antara lain Siddharta (1922). Penerima Nobel sastra 1946, meninggal dunia 1962. {Dari buku Malam Biru Di Berlin, terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H. 1989}
***
Mengingat novelnya Siddharta, kubayangkan Hesse sesosok petualang yang peka lelanggam Asia serta nilai-nilai luhur menghidupinya. Alam semesta menggoda perasaan, maha bathin tersendiri seniman menghidupi pengindraan hayati lebih berarti.
Renungan matahari mengeluarkan ribuan serpihan makna atau tak pernah puas cahaya utama, ikhtiarnya pengaruhi susunan gemintang di angkasa merubah bentukan takdir tersendiri.
Melalui jiwa perempuan menyelami keganjilan keakuan, penolakannya lebur bersama tragedi tergaris, tak masuk perubahan tetap bertahan kembarai bayu menjalankan warna pandangan.
Keingintahuan menanjak berbahan pelajaran serupa doa tak terucap tempaan laku, derita hidupnya mengajarkan tak silap percepatan bertemu kehakikian. Dikurbankan bercerai istrinya, ada garis penolakan namun harus memilih, memotong waktu di luaran tampak beringas.
Setiap langkah tersenyum kebaharuan penyeimbang di tepian sungai didatangi, ingatannya menuju karya sedari letih saat-saat mencium abadi.
Sosok kembara seolah tak kemana-mana, tapi bumi beredar di hadapannya. Ketakutan serta keriangan semata dadu, atau ayunan suatu waktu berhenti seperti benda jatuh.
Getaran firasat dari kenangan purba terbaca buku-buku, mendengar arus sungai jauh mendekati kalbu berdamai merindu, bergejolak menyampaikan bayang pendapat.
Dirinya tak dituntut gagasan namun ketinggian bathiniah, luka kecewa terpancar indah, derita tersembul kembang hidup bermekaran mengenal dunia.
Membaca sajaknya Pelaiang, kusaksikan Hesse datang di musim penghujan. Kilatan petir menyambar-nyambar diri digetarkan, suara alam bangkit dari tebing malam, mengeroyok ingatan terpojok menguatkan jiwa semuda di jalan-jalan Swiss.
Ada gundah tapi dengan senyum persahabatan alam selama ini, kian akrab menemui kesaksian raya, merasai dirinya ditakdirkan jadi insan mempuni, denting kelenengan bayang-bayang membentuk kesatuan menghadap langit.
Entah hawatir atau gembira digerakkan sesuatu yang belum menjelma, tanah India masih jauh, catatannya mengalami kebuntuan atau keraguan menghantui dari masa lampau yang tengah terhadapi juga nanti.
Adalah bongkahan padat harus ditebang nalar kelelakian tegar berbaca isyarat. Entah sebab bacaan di belahan Asia tempo dulu, menyeret takdirnya ke hutan belantara Sumatera.
Kaki-kaki berlepotan tanah, hujan mengguyur ganas beserta kilatan pedang cahaya tiada berhenti. Kejadian itu tak pernah terlupa dalam perjalanannya mendatang.
Sosok pencari tiada jera meneliti semesta nilai hayati. Pagi hari pemandangan indah, lebih segar dari kemarin, angin tropis maha santun rupawan seelok senandung pujian Timur berdengung dalam telinga kelembutan.
Keyakinannya tumbuh meremaja, pertarungan ruang-waktu di berbagai negeri memantabkan diri, kelana tak puas mencari kehadiran jiwa.
Baginya hidup memperbaharui nilai dari suara-suara jaman di belakang, menggali rahasia alam bathin menghadapi kehendak mutlak, dengan bersastra melestarikan budaya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar