Kamis, 08 Juli 2010

KECANTIKAN & MISTIS ALAM NATURALIS

Nurel Javissyarqi*

Siapa pun yang dicintai adalah cantik, tetapi tidak semua yang cantik itu dicintai (Jalaluddin Rumi, Discourses of Rumi, fihi ma fihi, A. J . Arberry).

Marilah memohon ridho-Nya, Yang Maha Cantik, Yang Maha Mistis. Hanya dengan-Nya menyandarkan pemahaman, tidak sekadar dataran pemikiran. Dia pemegang hati menguasai lupa serta ingatan, segala tautan, tambatan, mesti kepada-Nya.

Dengan kasih sayang-Nya, insan diberi ketampanan pengertian menurut kadarnya tanpa terkecuali. Hanya kebanyakan belum mengetahui, pintu mana saja mendatangkan khasana dalam diri. Ada yang faham tapi belum mampu mengikuti, sebab jalannya berliku kepahitan, ada yang terbelenggu diri sendiri.

Banyak yang tertipu label mistis, pengetahuannya dari kegagalan mencapai puncak sesungguhnya. Dengan menyamaratakan pengertian, semisal menyebut kebaikan itu kebijakan, kesahajaan dianggap tangga pada mistis. Benarkah demikian?

Kenapa saya gabungkan mistis dan kecantikan? Apa ada kesamaan? Atau sekadar selentingan yang dapat memerosotkan asal penipuan? Marilah mengupas, demi mengetahui ini puncak kekenesan atau benar adanya.

Saya ambil tahapan berikut, agar paparannya runtut mudah difahami, yang mungkin kurang layak juga diberi urutan. Namun itu kadang dibutuhkan, atau saudara berharap persoalan tersebut sebagai keharusan.

Dengan ringan hati saya melalukan, demi pandangan baik. Pertama mahabbah (Cinta), kedua Syauq (Rindu), dan ketiga Muwajjaha (Bertatap Muka).

Mahabbah (Cinta)
Sebelum jauh, marilah menyimak paparan ini:
“Kecantikan adalah penggerak alam mistis.”

Secara manusiawi, kita tertarik wujud kecantikan, dan seringkali terprogram sesuai idealitas, atau adanya makna universal darinya. Kajian ini, seperti tertarik pandangan pertama. Rasa tertarik ini saya sebut pintu mengenal mistis. Kenapa berminat? Dan dengan cara bagaimana melanggengkan?

Pertanyaan itu kudu dijawab, demi mengetahui sejauh mana mengenal mistis dalam diri. Seolah rasa tertarik itu mendadak tanpa alasan, kalau menyelidik mundur, tentu mengenalnya. Warna yang disuka, atau yang dibenci? Dan warna apa yang asing baginya?

Pola pertanyaan ke belakang akan memberi tanda permulaan daya suka, semisal cinta bukan datang tiba-tiba meski tampak mendadak. Kenalan sebelumnya mengenai warna, sudut pandang, pun bentuk yang pernah dibayangkan. Mendekatiyang namanya pertemuan berkesan. Kesan dari beberapa idealitas yang belum jelas menjadi terang, jika mendapati wajah kemisterian itu akrab.

Setelah mengenal kemauan, lalu bertemu mahabbah. Cinta timbul egoistis, berhambur dalam keikhlasan keputusan ruang-waktu. Dan setiap kejadian sebagai rona. Kenapa saya sebut cinta itu pintu mistis? Sebab menyimpan perbendaharaan tersembunyi, sedangkan kecantikan sebagai daya tariknya.

Kesaksian kaum mistis melihat ciptaan di bawah matahari, bersimpan kecantikan. Pengakuan segala unsur itu kecantikan, maka semakin terang tahap mistis merealisasikan, jalan memandangi perjalanan hayat. Semisal hidup itu anugrah, dan kebaikan menerimanya meski kepahitan. Dengan penerimaan seluruh, asing menjadi akrab, kecantikan agung tergapai harap.

Setelah mengenal tambatan hati, lantas tergerak memberi. Itu wujud realitas pecinta, tidak menolak meskipun menyakitkan. Sebab di balik titik terlihat lebih, seperti tebaran bintang di malam hari. Inilah perbiakan pandangan kasih sayang atas kepasrahan.

Dengan cinta berkenalan misteri diri yang tercinta, pulalah mengembangkan layar menuju pulau-pulaunya. Para pecinta adalah kembara ilmu, yang haus mencari kepribadian. Cinta membuatnya belajar darimana pengertian, dan berlalu ke mana. Sebab cinta adalah cakrawala tanpa batas, kalbu yang suci.

Di atas saya singgung idealitas atas kecondongan bertemunya cinta. Idealitas di sana bukan dogma, tapi kemampuan mengenal diri, atau seleksi alam bersesuaian. Mistis bukan profesi tapi kepribadian diri mengembangkan cinta. Mistis adalah kerjanya cinta, pada apapun profesinya.

Cinta memaknai tanaman berbunga, dan seluruh tangkainya menjelma tongkat emas, buah-buah apel bergelantungan, bersimpan air kehidupan. Lewat cinta mengenali kelembutan, gejala paling halus segetaran bathin. Yang menebarkan aura, dan orang lain menangkap sang mistis pada bentuk kecantikan.

Sedalam apakah mistis? Sedalam pengertian mengembangkannya. Maka rawatlah getaran itu hingga tidak runtuh, atau mengeras tak mau bangkit demi perjuangan sungguh.

Jalan di depan seolah buntu, tapi geserlah tempat dudukmu barang sedikit. Pandangmu menemukan kemudahan, sedang keegoisan tidak mau beranjak menemukan apa-apa sebab menganggap berakhir. Namun saat melayarkan kemungkinan, kasus yang tak bisa dipecahkan, lantas bernalar mencapai persolan. Ini tantangan berat-ringannya tergantung kesiapan. Seorang mistis benar terjaga, meski orang lain dalam istirah.

Dengan cinta orang sanggup melampaui, tanpa menanggalkan tanggung jawab. Tapi sekali saja meninggalkan, getarannya berkurang atau bisa tidak muncul kembali. Lewat getaran cinta, pandangan kaum mistis begitu tajam, menimbulkan intuisi pencerahan.

Mistis serupa laut selalu berombak mesti menemui karang. Dia tidak berhenti sebab jiwanya selalu baru. Orang lain melihatnya kecelik, sebab dia tidak hidup dari simbul atau dihidupi olehnya. Dia pasrahkan hayatnya pada Sang Mistis, yang membentangkan realitas pencerahan. Kaum mistis berangkat dari esensi. Dirinya tidak pernah sedih berlebih, apalagi berlarut dalam pilu.

Hasil kematangan jiwanya bukan dari penelitian yang tampak, dia pertimbangkan segala dengan kehatian-hatian, berat hitungan rasa di kedalaman. Andaipun keliru, dia menarik keberadaan, lalu pengertian menyeruah satu-satu dalam jiwa lapang.

Kaum mistis selalu pasrah perjalanan bathinnya, direalisasikan dengan langkah kerja. Sebab itu, pertimbangannya bukan dari perjalanan, tapi dia perhitungkan dirinya sebagai magnit menarik pengertian. Terkumpul bukan kemauannya, namun kehendak masa yang tergariskan.

Dari awal sampai didapat, kaum mistis berbeda kaum filsuf dan para bijak. Kaum bijak membaca tanda bagi pijakan, kaum filsuf melewati logika, sedang kaum mistis pada intuisi keyakinan. Yang mendekati daripadanya ialah pujangga, getarannya dikembangkan sayap lembut udara pengertian.

Kaum mistis ke bilik dunia lewat mahabbah. Bagaimana para mistis bercinta? Kiranya pengamatan mengenai keindahan, kecantikan, tiada pudar dari esensinya. Menyelidiki jiwa makna yang dikembangkan kaum mistis, hanya ukuran penelitian sering berbeda, ini daya jawab yang muncul di permukaan.

Kaum mistis selalu setia apa yang dipandang penilaian semula, yang berasal dari kumpulan permenungan. Boleh jadi yang dihadapi merubah pandangan. Semisal dia mencintai perempuan, lantas suatu masa meninggalkannya, seolah tidak bertanggung jawab.

Ini letak kerumitan mistis bagi kaum awam. Kenapa dia meninggalkan? Apakah habis cintanya buat dirinya semata, atau dia tidak berdaya memegang teguh yang dikembangkan dirinya? Pandangan sang mistis tidak memandangnya, sebab perempuan itu tidak sebobot dengan berat semula.

Atau esensi perempaun tersebut berubah sebab perjalanan masa-masa, bertemunya ruang-waktu mempengaruhi. Sedangkan pandangan sang mistis tidak sama sekali luntur, meski melewati ruang-ruang berbeda-beda.

Kenapa dia tidak menggunakan jiwa hipnotisnya, demi kembalikan yang dicintai balik kepada esensi semula? Ini jawabannya pada sang mistis. Dia berbuat sesuatu dengan naluriah, lelangkahnya selalu merawat tanggung jawab kepurnaan makna.

Syauq (Rindu)
Pada tahap dua, syauq (rindu). Dia anak turun cinta juga penjaga kesetiaan mahabbah. Kerinduan kaum mistis lebih misteri dari rindunya wanita. Kangennya melewati lapisan kabut melepas kulit-kulit diri, sehingga tidak melukai yang dirindukan.

Rindunya bukan menggoyak hadir paksaan tapi ketulusan. Sejenis kerinduan akan waktu yang tidak bisa diformulasikan lewat tahapan psikologi. Rindunya serupa waktu diimpikan tetapi bukan, kehadirannya lebih lembut dari impian.

Kalau kaum mistis mendamba kebendaan, sejatinya pada getaran esensinya. Dengan memunculkan ombak dirindu, dirinya bergetar oleh kesaksian padat yang meneguhkan pendiriannya menemukan waktu. Waktu adalah anggur, dan tempat sebagai gelasnya.

Kenapa tidak rindu esensi tapi getarnya? Sebab seringkali orang merindu, melukai juga yang dirindu. Jika mengambil getarannya, tidak kurang dari esensi, tanpa memaksa masuk dalam kalbu.

Tidakkah esensi cahaya itu cahaya? Ini pensifatan, tapi saya tak jauh mengoreksi dzat yang dirindukan, sebab batasan itu ada. Ini sekadar perangsang tahapan lebih, ketika bertemu getaran akan terpesona.

Mengkaji rindu sebenarnya mengaji waktu, sebab ruang tidak menjadi penentu dalam kalbu. Ini gelayutan kayungyung bergantung perindu, di sekitar rindu hawa merayu, demi menetapi rindu selalu.

Saat kerinduan menjelma kenikmatan menuju esensi kebertemuan. Apakah bukan nafsu? Maka kudu ditetapkan keseimbangan jiwa, keselarasan nalar perasaan. Agar tak terlukai beling-beling cermin, ketika bertepat waktu rindunya berjumpa.

Kerinduan mistis jauh lebih maju, sebab dengan pandangan seksama akan ke depan, sehingga jarang sekali kecelik. Mereka selalu sigap menerima, sebab mempelajari kasus sekitar juga yang dekat terjadi. Kelebihan ini kerapkali membingungkan orang awam, dikira ngelantur atau bualan.

Dia tahu sebelum pengertian berkumpul menjadi artian umum. Kerinduan murni tanpa berharap belas kasih adalah doa, keharusan sebab menjalani fitroh. Kerinduan menginggat kekasih sehingga lupa pengharapan, tetapi kekasih takkan lupa ketulusannya. Dirinya selalu dihibur waktu-waktu makbul ketentraman.

Rasa tentram, nafas lembut, kadang melalaikan kerinduan. Sebab itu fariasi merindu diperlukan, demi menghilangkan kejenuhan. Ada melewat puja-puji rasa syukur dendangan hening, atau bekerja mengaktualisasi kangen berupa karya pahatan nisan, untuk kebertemuan abadi.

Kerinduan seperti membaca ketepatan waktu yang disediakan ruang. Kerinduan itu tuntunan perindu pada ketepatan, efektivitas daya gerak, walau terlihat berlalu. Kerinduan penuntun gerak tanpa paksaan yang dirindukan atau merindukan. Ini tranformasi gelombang terdalam pada perindu. Bukankah kesamaan menentukan kebertemuan, kerinduan sepadan ombak lautan pada bentukan karang.

Itulah rindu menampilkan perindu dalam penampakan ruang-waktu, berketepatan ruapan berayun mesra. Rindunya kaum mistis bukan menghantui perindu, namun kelembutan budhi kecerdasan akal, menangkap rindu sebagai pengharapan. Sedangkan rindu menghantui perindu menyayat, menguras jiwa menarik paksa dirindukan, adalah bukan rindu berkeikhlasan.

Ketika rindu tersampaikan, tidaklah gelombangnya berkurang, malah menggebu dalam kepasrahan mengejawantahkan diri. Ini bukan tahap kemandekan menuju hilangnya rasa yang dirindukan getaran menjauh. Jika digambarkan sejatinya sampai, hanya perindu kadang tak merasakan, sebab getaran mendayu-satu di dalam jiwa.

Seakan rindu manisnya gula telah mengenyamnya, walau bijian gula tidak tersentuh bibir maupun lidah. Ini perasaan merasai, tanpa wujud terasai kesejatiannya. Kaum mistis mengulum buah manis perindu, tanpa diiringi keterlenaan pun menggebu, sebab bahagia bersentuhan saat lidah kalbu merasai. Merindu manisnya merasai, realitas penanda menjelma petanda.

Kerinduan filsuf hampir mendekati rindunya, karena akalnya mengajak ingatan kekinian dengan berpegang teguh kesadaran. Kaum mistis pun mengikuti dalil aqli juga naqli. Sehingga yang dirindu bukan hanya pelajaran masa silam terbacakan di depan, apa masuk akal, atau hanya merasuk iman.

Daya mistis menyeimbangkan keyakinan serta kelembutan nalar, hal mana tak dimungkinkan bagi filsuf, bisa menjadi kemungkinan lain kaum mistis. Pujangga mendekati mistis, sehingga dalam dirinya berkumpul kegaiban, bagi realitas hidupan tanpa menyebutnya ganjil.

Ketika telah melampaui kegilaan, hal ganjil bukan keanehan, perasaan sebagai timbangan akal, lebih lembut seperti kabut menggapai awan yang tidak goyahkan tangkapan. Alirannya mendekati frekwensi petapa, namun selalu disosialisasikan berkabar berita. Temuannya melembutkan kaki-kaki melangkahi kejadian, dalam pembentukan realitasnya.

Muwajjaha (Kebertemuan)
Ini bertatap muka kebetemuan padu, harmoni seimbang seruling merdu, atau angin bertiup menelusup dalam kalbu penyadaran. Kaum mistis itu musikus handal, mengimbangi laguan hidup demi persaudaraan, sehingga yang tercapai ketenangan bathiniah.

Suatu capaian drajad kemanusiaan, sebab tanpa nafas berontak pun sanggup mengubah. Selintas orang mistis tidak mengetahui persoalan musik, tapi saat diajak bicara, tiada berhenti kidungkan kesejatian, luapannya naik seringan kabut.

Pada dirinya alat-alat musik, dari yang ditabuh sampai dipetik kelembutan. Segala alam musik dalam dirinya, sedangkan jiwa sebagai aktornya. Inilah kebertemuan harmoni kehendak hayati. Dia bukan penggagas, namun seorang perenang yang mengikuti anak turun aliran. Suatu kerja tiada lebihkan keringat, keringatnya segera dijilati bayu pengharapan menerus.

Kabut berasal kepaduan atas kepadatan yang hidupi pandangannya. Kadang seolah gila, dia tak memainkan harmoninya. Tapi di alam sana, lebih lembut dari materi, membangun jembatan yang semua orang lewatinya, usaha tidak tersangkakan mata.

Orang awam berkata: aku seolah pernah mengalaminya di dalam mimpi. Jika kaum mistis mengetahui, tidak mengatakan. Dia lebih mementingkan di balik kejadian, sebab mimpi sekedar petanda. Dirinya mengharuskan menguliti itu sebagai hakikat tanda-tanda.

Dia cukupkan dirinya tidak menyampaikan selain kehendak kalbu, bagai seorang penemu telah peroleh yang dicari, namun dia bukan penemu. Kidung mistis tidak terpengaruh lelaguan luar. Pada dirinya berlimpah kepenuhan welas asih, kepada sesama hidup, menyayangi yang tiada.

Muwajjaha adalah kebertemuan hidup membahagiakan realita diri, semacam panggung diisi persandiwaraan sejati, rupa layang-layang ditarik benangnya. Orang tidak melihat tarikan benang sebab silau cahaya, sedang kaum mistis mempermainkan tarikan benang layang-layangnya. Mengetahui kesejatian goyangan, bukan berasal nafsu namun kehalusan bathiniah.

Seorang mistis telanjang di atas puncak ketinggian gunung, dia mempelajari angin bawah realitas menuju keabadian. Seperti pendaki yang tekun adalah awal bakat mistis. Angin menerpa dirinya itu fenomena lebih dari kehidupan bukit-bukit, juga kemanusiaan di lembah peradaban.

Kalimah seorang mistis seolah tak juntrun di dataran umum, padahal dirinya jalan berkelembutan bathin yang berangkat dari realitas mereka. Sisi lain, sang mistis seperti orang bijak tidak cepat ambil putusan, dari pertanyaan menghujami makna hidup. Tapi dia penampung segala bayu pengalaman, menikmati rintik gerimis, deras hujan malam, pun masa siang nerawang.

Kaum mistis seperti hujan di siang bolong, tanpa awan tebal menjanjikan musim berganti. Sejenis keberangkatan warna pelangi dari kondisi, begitu juga yang menarik dirinya menjadi kesempurnaan. Adakah pelangi di malam hari? Begitulah kaum mistis tergantung Cahaya dari pancuran air kehidupan.

Penguasaan lingkungannya berkelengkapan, sebab seimbangkan ornamen pada dirinya, sehingga tampak kesahajaan, tidak menuntut ruang-waktu diidam. Muwajjaha itu kebertemuan sejati bukan halusinasi. Dia berjalan di atas realitas kesejatian diri, yang jauh mempelajari tipu daya relalitas semu kehidupan. Hadir kemurnian pandang, tak terperangkap ruang-waktu hayati.

Bukan tidak maunusiawi, dia manusiawi di hadapan orang yang sama, atas gunung realitas. Tiap tarikan nafasnya pelajaran, penyeimbang diri dengan ketinggian, yang bukan asal pandangan peradaban. Dia berangkat sedari perabadaban agung penyadaran, bukan berasal mempelajari jalan hidup, bukan dari lingkungan lantas menyeimbangkan diri.

Kita bergetar menyaksikan sapuan bayu ketinggian, mengelupaskan kulit punggung. Dan seorang mistis merasakan, saat saksi kebertemuan angin gunung, juga terik mentari puncak realitas. Mistis tidak gusar perubahan jasad, dia menikmati panorama agung, namun tidak berarti lalai keadaan.

Dia berjalan tanpa rencana, mengikuti kehendak bathin tersembuhkan pengalaman. Pandangannya penuh pengampunan yang selalu digetarkan keajaiban, tetapi bukan lantas ambruk menyetujui. Bergetar oleh kesaksian takjub, saksi di ketinggian memandangi perjalanan awan, pernik kehidupan.

Kebergetaran muwajjaha kesaksian murni, bukan didatangkan dari gejolak penelitian hasrat selidik, tapi menggelinjak air menemui bebatuan. Dapat disebut elastis, pandangan tajam yang bukan sudut menyakitkan insaniah.

Melampaui ruang-waktu namun berada dalam penghayatan. Seperti cahaya tidak membutuhkan ruang-waktu, namun ruang-waktu takkan berarti kalau tiada cahaya. Maka pandangan tajam pada bayangan juga realitas pencerah.

Sang mistis ibarat pemancing tidak menghiraukan, sebab hakekatnya terpegang. Dia ikhtiar menuruti pandangan umum, agar tidak disangka keluar. Sang pemancing formula keunggulan kesaksian, menarik diri dari realitas kegaiban kolam, masa berjalan sebagai angin pencerah pertemuan.

Kaki menggantung di atas geladak sesekali menggoda air, dirinya bagai jembatan antara, dinginnya aliran kesaksian penjaga waktu kemanusian. Muwajjaha ialah kebertemuan merindu, dan realitas kesaksian sang jatuh cinta sebagai mistis.

Sebagai penutup saya kutip perkataan al-Hallaj, tiga belas tahun sedurung dirinya dihukum gantung: “Hari ketika aku akan dipancung di tiang gantungan, saat itu aku sangat dekat sekali (Iqtarub; 96:19) dengan Tuhan.

Lalu tiga belas tahun kemudian, hari ketika dia dipancung. Dia berkata: Aku telah menerimanya, aku dipenuhi keyakinan penglihatan hingga aku malu; aku tidak boleh menyerah kepada kebahagiaan.” (Louis Massignon, Hallaj Mystic and Martyr).

*) Pengelana asal desa Kenda-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesia.
2006- juni 2009.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )