Kamis, 08 Juli 2010

ANALITIK ANATOMI KESADARAN

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/


Gagasan kata ibarat ruang dan esensi kedalaman kalimah bagi masanya. Sama dengan penciptaan insan dalam rahim, yang terjadi segumpal daging lalu disusul tertiupnya ruh. Maka kesadaran awal dari sebuah gagasan ialah kata, bermakna tempat serta sadar ruangan.

Pengisian-pengisian ruang menggunakan masa, mencipta ruh manfaat atas kebertemuan ruang-waktu atau penciptaan yang bergerak masanya. Tubuh-tubuh, fenomena, peredaran, tampakan dari perubahan embrio menuju gagasan gemilang.

Semacam ide takkan lahir sebelum datangnya pandangan suatu hal. Kabut pengalaman, terik dan dingin perjalanan, menentukan watak penciptaan sebuah benua lebih tinggi; drajat ide.

Posisi terbangun dari kesadaran ruangan, diteruskan dalam logika rasa, lalu menjelma muatan ruh manfaat, sebagai padanan langit-bumi selalu mencari pembicaraan alam rasa kehidupan.

Sekilat tampak pandangan di atas tidak bersesuaian dengan awal pencipaan yang berangkat dari anganan cita. Tapi sebuah penciptaan mitos pun dari kementokan mempelajari realitas, ketika akan dimanfaatkan sebagai daya tahan tubuh mental dalam memperjuangkan hayat.

Jadi awal buah gagasan, ide, fikiran serta perasaan puitik, datangnya dari himpitan persoalan pengarang, yang merasuk dalam kesadaran paling tinggi, menghujam jantung makna hayati.

Semisal bayi terlahir menangis sebagai kesadaran baru, saat tingkatan usianya menanjak, mengalami demam melewati waktu, hujaman kesadarannya bertambah mematri, serupa tempaan bathin dituntut berjuang terus.

Anatomi kesadaran itu pemaknaan diri depan cermin. Merefleksi segala yang ada bertopangan kesadaran, meneliti perubahan terus dirasakan, meski di tengah kantuk diseret goda kesambillaluan.

Saya sebut anatomi sebab kesadaran miliki tingkatan badan tertentu atas buaian masa bertumpuknya pengalaman. Dan wawasan terbaca sebagai tambahan mutunya perubahan, yang tidak melupakan esensi diri beranatomi.

Ruang-ruang yang dimaksud dalam bingkai anatomi, selalu mempelajari gerak gairah alam diri, untuk menerobos persinggungan wacana, agar tampil tidak menjadi yang terjajah.

Hikmah mengetahui anatomi kesadaran ialah manfaat kesadaran itu sendiri pada esensinya, pengembangan fitroh insani untuk diperjuangkan, meski pada rana mengecewakan.

Ketangguhan dari hempasan berulang, menjadikan anatominya menonjol, kalbu ditekan semakin berpancaran, akal dicekik keadaan terhimpit, kian lapang dalam pengambilan putusan. Kiranya jarak itu pembelajaran praktis di setingkap waktu sempit. Dan jiwa cemerlang menerima keadaan, menambah yang kekurangan atas sifat menutup diri.

Anatomi kesadaran ialah gabungan psikologi diri dalam meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar. Dan pencerahannya dihasilkan dari membuai bentuk-bentuk keseimbangan.

Semisal sepucuk surat dari kawan lama, tahu-tahu mendapati kegembiraan sebab rindu terobati datangnya. Ketiba-tibaan itu kesembuhan, gerak luar yang membentuk kesadaran baru. Kiranya sapaan lembut memanggil jiwa, atau sebaliknya jika berkabar tragedi. Kita bisa bantu dengan bertemu memberikan motifasi, agar yang terselubung soal cepat teratasi.

Gambaran di atas menyebutkan anatomi kesadaran bisa terbentuk dari luar, yang tentu berminat meneruskan. Olehnya, karakter takkan terbentuk jika tidak mau merawat, atau kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai pribadi.

Garis teritorial itu menyetiai yang selalu digebu agar tercipta wacana baru kesadaran diri. Pihak lain, anatomi kesadaran dapat mewujudkan kesungguhan cita, kepercayaan masa menancapkan gerak langkah menambah bobot penciptaan otot tangguh, atas kegigihan kerja demi mencapai tujuan.

Bayang-bayang purna itu terketahui, jika memiliki ruang renungan tersendiri yang baik, demi mencari daerah-daerah mana kekurangannya.

Apakah kecermatan kurang tajam dalam menganalisan, atau terlampau meremehkan pandangan orang? Apakah sering menggurui, tidak mau dengar gagasan yang lain? Jelas, kalau menginginkan anatomi kesadaran purna, kudunya membuka diri diperbaiki menerus.

Sebab sering kali egois hingga kesadaran menjadi tidak imbang, antara lengan satu dengan lainnya. Atau kita lupa diberi kaki-kaki lincah, guna langkah difungsikan berlari cepat. Maka anatomi kesadaran harus diselidik sejauh kekurangan, di mana letak kelewat batas, sebelum bercermin publik, dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.

Sebab kepercayaan diri tanpa latihan bukanlah wujud anatomi. Kesadaran ruang-waktu menjadi penentu terbentuknya. Ini bisa diproyeksikan menjadi kerja identitas kesadaran awal. Berbeda parade kesadaran maupun teror kesadaran, dirinya lebih menitik beratkan manfaat pribadi, agar kualitas yang terbangun seirama perubahan masa.

Jika diarahkan sebuah karya sastra, mencari ceruk anatomi kesadaran lewat menelisik karakter kejiwaan pencipta dengan alat yang dia pakai, demi menyelidiki kedalamannya. Kajian ini dapat dimasukkan ke bidang analisa. Ruang-ruang pembelajaran menyuntuki pribadi. Di jarak mana harus duduk atau melangkahkan kaki.

Perkembangan lanjut, analisa ini dimungkinan merombak kejiwaan seorang, kiranya membuka kemungkinan belajar, anatomi kesadarannya semakin gamblang atas pencerahan tunggal bernama kesungguhan kerja.

Ini bukan di ruangan teater tapi alam keterbukaan, wilayah setiap orang bisa memetik buah-buahan, tubuh yang terus memproduksi perkembangan kesadaraan. Kiranya tidak menyembunyikan bayangan di depan umum akan kedirian lapang, serupa prajurit maju berperang, meninggalkan bayangannya di rumah. Bertarung mengikuti hembusan angin pengalaman di medan laga, meyakinkan diri sebagai ras pemberontak.

Lebih jauh, bermain di wilayah santai asal terjaga. Di sini telah mengetahui kerakter lingkungan, berpengalaman meramu diri bersama ruang-waktu yang dihadapi. Keterjagaan sebagai bentuk awal yang kudu terawat pada lingkup keakraban.

Menambah tingkatan yang di muka pelaku, berhadapan dengan musuh yang dapat memenggal salah satu anatomi kesadaran jika terlena. Jikalau pelaku tidak ingin anatominya terputus, kudu mawas depan cermin menyendiri, pada forum atau medan perang perkarakteran, di saat saling singgung gagasan.

Analisa ini dimasukkan jangkauan harap, merindu nilai moralitas seimbang, olehnya harus diperbaiki kesadaraan. Kenapa saya sebut bukan semua hal, sebab insan tak bisa memiliki kesegaran kencang, ada masanya istirah, membungkus anatomi kesadaran di ambang pengendapan, bukan di sampirkan lalu besok dipakai. Sebab endapan juga menentukan warna-bentuknya.

Anatomi terbentuk dengan kuat, sekiranya bisa ambil memori yang lekat di jiwa, hati semangat berkeseimbangan. Transaksi masa lampau dan sekarang sebagai perolehan kekinian demi langkah ke muka. Ini infus anatomi yang kurang cairan, karena terlalu lama berkeringat, atas jalan hayat tanpa endapan mendewasakan, semacam jalan di tempat.

Bagaimana pun melangkah tanpa pengendapan, lama-kelamaan keropos. Tidakkan renung menciptakan gunung pengertian, mengenang sejauh mana mendaki, demi mencapai puncak jati diri, yang kudu dimiliki untuk menuntut takdir semestinya.

Arti kata, renungan bisa menggagalkan peristiwa kroposnya anatomi, atau daya tahan dapat langgeng dimiliki, jika mengambil jarak prosesi yang terkerjakan. Ini bukan percepatan dalam pengambilan kesimpulan, tetapi kesimpulan dari perjalanan sebagai tanda meyakinkan sejauh identitas terbentuk.

Erich Fromm dalam bukunya Psychoanalysa and Religion, menuliskan kurang lebih berkata; “Sementara kita mampu menciptakan sesuatu yang luar biasa, kita gagal membuat diri kita bangga.”

Atau manusia dapat menciptakan dunia baik bersesuaian imaji rasa yang dipunyai, tapi ketika kembali ke bilik pribadi, terasa gagal sebab tidak dapat mengurus diri secara wajar. Atau tidak mampu merasakan nikmatnya pencapaian, kecuali gula-gula sukses kesombong, yang tentu di balik lain menimbulkan penyakit gula.

Kacamata yang saya kemukakan ini, kelebihan dari anatomi tertentu yang tidak wajar atau cacat. Lebih tragis, para menemu pencerah itu tidak bisa memperbaiki dirinya yang selalu kehausan. Oleh kurangnya renung penerimaan seimbang, pada terbentuknya struktur anatomi kesadaran secara normal.

Tujuan analisanya membongkar kedirian dari dalam, membentur ulang hasil capaian sampai di tingkatan penerimaan, atas kesadaran jauh melangkah, selain kenikmatan ego. Sehingga menjadikan diri tidak sekadar dalil pendektean (bagi atau dari) orang lain, tetapi lebih pada diri yang terpelajari, dari mana keberhasilan usaha itu terjadi.

Hal itu menemukan nikmat seimbang dalam renungan, penerimaan hasil bukan berhenti, namun menyelidik jarak sampai memperoleh kehakikian kerja. Bukan sekadar transformasi kecerdasan nalar menggurui jerih payah, lalu dianggap gemilang. Yang lebih ditekankan, bagaimana pencetus gagasan psikologi diri bermanfaat dan berkeindahan dalam karya kreatif.

Di samping permenungan tinggi, melihat kecerdasan insan berangkat dari gesekan wacana semacam pisau tajam diasa. Namun ketika tidak, menjadikan tumpul lebih berbahaya sebab berkarat. Kalau menyadari pentingnya ilmu bukan sekadar tranformasi budaya, apalagi keahlian bicara, tapi kesadaran mengambil manfaat pembicaraan. Kiranya akan berfaedah, menambah kekuatan otot-otot anatomi kesadaran di dalam kehidupan.

Kelemahan analisa teramat dangkal di sini. Insan tidak sanggup sempurna, tidak terus menerus mampu menyeimbangkan kesadaran imaji, rasa, nalar dan keseluruhan alat dalam diri. Setidaknya hal ini tempuh, tidak larut menggeluti anatomi tertentu, namun menciptakan ruang-ruang permenungan dalam kebutuhan diri menuju pencapaian.

Ada tiga pembentuk anatomi kesadaran:
Pertama, penghancuran atau revolusi. Penggempuran karakter yang telah ada atas faham orang lain yang disetianya, diganti pemberian sudut pandang sendiri.

Kedua, mencari tempat terpencil atau meditasi. Permenungan untuk menemukan hakikat paling hakiki, tidak terasuki faham yang dapat merugikan keberlangsungan tumbuh mekarnya kembang kesadaran.

Ketiga, membuka argumentasi luar. Untuk dibicarakan pada kedirian, atau ada dialog dinamis demi tercapainya anatomi kesadaran, dari berbagai pengalaman orang, bersama kedirian yang tunggal. Cara ini banyak membutuhkan energi, juga perlu daya saring yang ketat, sehingga memunculkan kesadaran universal. Saya akan mencoba mendedahnya satu-satu lebih jauh:

Revolusi Kesadaran

Kita menyadari telah mengunyah beberapa gagasan orang lain, di mana kadang tindakan itu bukan murni desakan diri. Untuk itu harus merevolusi gagasan yang masuk, bersama gagasan diri yang tercampur ide sebelumnya. Penghapusan, menggagalkan hasil-hasil yang tercapai.

Cara nekat ini belum tentu mendapati hasil maksimal. Namun resiko harus ditanggung kalau ingin penghapus memori semaksimal mungkin, dan membangun kembali gagasan semangat baru, bukan berangkat dari akar kesadaran yang lalu.

Melakukan ini lain daerah, wilayah yang benar-benar baru. Jika berada dalam situasi yang sama pada kurun berdekatan, memulai bentuk baru lewat sikap berbeda dari sebelumnya.

Mungkin orang lain akan bilang munafik, sebab kaca mata mereka berbeda saat gejolak merasuki diri. Gejolak merombak saat dorongan merevolusi kejiwaan, toh yang mendapati manfaat dianya pula. Ini bukan berarti luput bahasan tanggung jawab, sebab pengertiannya berbeda dari sebelumnya.

Semisal seorang santri memasuki pesantren. Saat berada di dalamnya, mau tidak mau merevolusi kebiasaan rumah untuk membiasakan diri di lingkungan itu. Ini dapat terjadi orang rumahan yang sadar makna ibadah, mengaktualisasi pengertian beragama atas pertaubatan. Perubahan sikap yang tampak di sini, berangkat dari merevolusi kesadaran terdalam, kiranya menginginkan bentuk baru itu langgeng.

Atau merevisi ulang secara seksama akan kesadarannya, dengan merusak anatomi kesadaran yang pernah berdenyutan hidup, lewat tergantikan paksa atas anatomi yang baru, bersama angin kehendak perubahan seluruh.

Meditasi Kesadaran

Cara ini hampir serupa bagian awal, memasuki wilayah baru demi menemukan kesadarannya. Tetapi lebih ditekankan dalam pencarian gagasan murni, walau tidak bisa ditemukan semurni mungkin.

Kiranya melewati meditasi kesadaran terpencil, kita mengulangi benang merah kesadaran belia, dengan menyelesaikan permasalahan di hadapan masa itu. Gejala lampau kita proses kembali, demi menemukan kejiwaan diri sebenarnya. Namun dapat pula membawa gagasan awal, sebelum melaksanakan meditasi kesadaran dengan makna.

Dan tidak terpenjara ide sebelumnya, demi pencarian bentuk pandangan halus dari dalam. Hingga gagasan awal bisa diperbantukan mencari tubuh kebenaran dari kenyataan. Sebab setiap insan memiliki kejiwaan berbeda, meski dapat dikategorikan secara umum.

Resiko kecil kesalahan yang ditimbulkan metode ini, dalam membentuk piramida kesadaran. Karena meditasi kesadaran bukan membuang gagasan awal dengan sinis, namun kehati-hatian sahaja, mengajak merenungkan balik yang menghasilkan gagasan dari pantulan kesadaran yang dahulu.

Di sinilah memproyeksikan kesadaran pada tercipta gagasan atas subyektivitas diri. Makna kata, merombak faham lama di goa kemungkinan terciptanya kesadaran baru, berangkat dari pengendapan diri, atas perolehan masa lampau.

Ini sikap pembersihan diri di sendang kedamaian, penguraian makna perjalanan secara mengesankan, bagi yang ingin tercapainya kemurnian pengertian, lewat kelembutan fikiran-perasaan terdalam.

Meditasi Sosial Kesadaran

Adalah menghimpun kontak sosial atas gagasan orang lain dengan pandangan diri, juga memiliki ruang meditasi dalam pemilihan mencapai nilai kebenaran. Bisa dimaksudkan sebagai penggabungan bagian pertama dan kedua, yang pengolahannya menggunakan ruang tertutup juga terbuka. Dan hasilnya mencapai argumentasi kesadaran lebih, mementingkan pandangan umun, namun tidak merugikan pendirian pribadi.

Musyawarah baik dibutuhkan, namun tidak meninggalkan pandangan awal. Seperti laut keseimbangan, debur ombak dilakukan atas angin kerja sosial, kedalaman makna laut kesadaran permenungan, memungkinkan hidupnya ikan-ikan gagasan. Ini memungkinkan yang kita kunyah menjadi daging perbaikan anatomi, ditopang kerja merefleksikan luar berkaca ke dalam.

Memakan yang jelas memberikan gizi, tapi juga berani membuang yang menimbulkan lemak berlebih, agar anatomi dalam meditasi sosial kesadaran seimbang, atas pandangan luar juga penerimaan dalam.

Meditasi sosial kesadaran itu mengembangkan kelestarian baik, berinteraksi secara dinamis dalam kejiwaan, hingga tercapainya keseimbangan bernilai universal, atas membaca faham dari dalam, serta orang lain saat membacanya.

Wawasan ini sampai kalau tekun bekerja, melaksanakan ide berkesadaran menuruti peluang atas kesuburan daging anatomi, dengan tidak terlampau bernafsu yang dapat menggagalkan perencanaan, alias timbulnya ketidakseimbangan atau cacat.

Kerja keras membaca fenomena perubahan, lalu menelaah menjadi catatan-catatan membantu bergerak maju, bagi lelatihan yang dimungkinkan subur, daya kekuatan tercapainya otot-otot tanggung, dalam merawat anatomi kesadaran sang pelaku.

*) Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Indonesiaku.
Ditulis di Krapyak, Yogyakarta, 2005.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )