Kamis, 08 Juli 2010

BAHASA KAUSALITAS YANG RAHMATAN LIL ALAMIN

Nurel Javissyarqi*

Prolog:
Sebelum membahas pokok persoalan, marilah berserah kepada Sang Penyebab segala sebab. Bagaimana dikatakan kegentingan karena seringkali mengartikan akibat sebagai sebab atau sebaliknya mengerti sebab padahal itu akibat. Tentu itu menghawatirkan kesehatan iman di alam fikiran. Jika yang terpaparkan ini tidak bertepatan dengan ketentuan ayat-ayat-Nya, tinggalkanlah. Andai ada senyawa tiupan ayat-ayat-Nya yang tersirat pun tersurat, bukan dari penulis semata.

Saya harap saudara memiliki jarak pengamanan agar yang tersampaikan bukan belenggu. Telah banyak para tokoh mengupas kausalitas, tetapi perlu menilik ulang untuk mendapati pencarian itu bersesuai dengan pribadi. Tidakkah yang baru berangkat biasanya menemukan keganjilan. Harapan saya ini sanggup memberikan kesan terdalam, menempati kedudukannya sebab-akibat, atas kesamaan irama tarian Ilahiyah, amin.

Kegagalan teori Darwin terdapat pada pemilihan contoh, yang mana proses perjalanan idenya ditimpakan pada sosok makhluk hidup. Jika evolusinya memaknai kehadiran insan, mungkin hasilnya seperti ini nanti. Secara ringkas, saya menggunakan teori evolusi saat menetapkan pijakan. Bahwa proses perubahan hidup manusia, pengalaman naik-turunnya hayati, sebagai penciptaan sebab dari kehendak Sang Penyebab. Lalu saya benturkan pandangan Nietzsche, yang menghilangkan tanggung jawab, karena meninggikan subyektivitas lewat melenyapkan fungsi ketuhanan.

Sebelum jauh, saya kemukakan keterangan apa itu: Sang Penyebab segala sebab (1), penyebab yang menyebabkan (2), penyebab mendekati pengakibatan (3), dan pengakibatan menuju pengakibatan akibat akhir atau akibat (4). Dari sini jelas, antara saya dan pandangan umum, maupun penggagas Nietzsche. Bedaannya, saya menawarkan empat poin, sedangkan pandangan umum memiliki dua pon, sebab-akibat. Sebenarnya saya menggunakan karakter tersebut, namun akan mencolok berbeda saat terbeberkan sebagaimana di bawah ini.

(1) Sang Penyebab segala sebab
Kita tidak memungkiri alam semesta yang tersaksikan, diciptakan oleh Penyebab segala sebab. Ketinggian drajad pencipta-Nya dalam keseluruhan permasalahan. Dzat-Nya bukan berasal penciptaan mistis, apalagi abiogenesis. Dia bukan berasal dari ketinggian uap yang naik-turun dan menjelma bintik makluk hidup, lantas membesar dan biak, tidak.

Tidak pula dari unsur-unsur bumi, Dia menciptakan bumi dan mengambil unsur-unsurnya untuk kehidupan insan bagi penghuni dunia. Dia bukan beranak dan tidak diperanakkan, apakah hasil buaian makluk hidup atau batu, tidak. Dia menggerakkan setiap kesadaran dan kelalaian manusia, lena atas hamparan fatamurgana ujian-Nya. Dia penyebab segala kebaikan, pencipta percoban bagi makluknya dalam keseimbangan karya.

Dia penyeimbang yang bukan dari keadaan diciptakan-Nya, atau Dia bukan penyelesai atas masalah dari kasus-kasus yang diciptakan-Nya. Dia Maha Mengetahui atas apa yang sedang dilakukan setiap makluknya, sebagai Penguasa sebelum dan sesudahnya kehidupan.

Dia bukan matahari yang menyinari kehidupan, bukan rembulan yang meneduhkan malam. Dia pencipta planet-planet juga gemintang, menguasai seluruh galaksi yang kita ketahui pun yang tidak tampak. Dia maha berkehendak mempercayakan wakil-wakil-Nya sebagai pengatur kehidupan di muka bumi, dalam kuasa gravitasi dan di luarnya.

Dia penggagas yang tidak siapa pun membandingi kebijakan-Nya yang melampaui material dan bathiniah. Penguasa mikro kosmos dan makro kosmos, serta di luar batasan-batasannya. Dia ketinggian hukum di atas hukum kesementaraan manusia, semua hukum yang diciptakan makhluknya, tunduk atas hukum-Nya.

Dia penguasa absolut sekaligus sulit dijangkau, selain kalbu keimanan:
Sesungguhnya langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku, namun Aku telah di jangkau oleh kalbu seorang mu’min. (Hadits Qudsi, Riwayat Ahmad dari Wahab bin Munabbih).

Sebab dengan kesegaran akal, pun manusia terbentur ozon kesuntukan. Tapi siapa yang hatinya tertancap cinta terdalam, maka segala kelupaan menemui penggantinya lebih dari kebugaran ingatan, atas penumpukan memori kalbu, yang penambahannya lewat rindu dan rindu.

(2) penyebab yang menyebabkan
Jika mengambil bagian pertama, Sang Penyebab segala sebab, Tuhan Allah yang menciptakan sebab. Dan seluruh ciptaan-Nya bermakna sebab. Karenanya, kelahiran makhluk kemunculan tanaman, harumnya bunga-bunga, wujud bebuahan, berputarnya bumi mengelilingi surya, di samping memusar di porosnya. Adalah kejadian sebab, dan bukan otomatis bermakna akibat dari Pencipta Awal.

Selintas paparan di atas tampak kabur, namun di sinilah makna Rahmatan lil alamin. Insan memiliki wewenang di muka bumi atas izin-Nya. Manusia berdaya kemampuan merenungkan kejadian sebagai pengalaman, menghadirkan hikmah-hikmah penelitiannya atas rahmat-Nya.

Setiap manusia beriman ialah pemimpin. Ini kajian ayat-ayat Tuhan yang tersirat di alam jagad raya menuju yang tersurat, meski kemampuannya dibatasi kasih sayang-Nya. Lewat keseimbangan psikologi, demi menggapai keilmuan tinggi, hasilnya tidak akan memuaskan, kalau bukan atas ridho-Nya.

Kenapa saya mengatakan insan itu “penyebab yang menyebabkan,” sebab yang membuat penyebab. Hal itu bukan menyamakan sifat insan kepada sifat ketuhanan. Namun kembali pada persolaan awal, pemberian wewenang menjaga kelangsungan hayati, agar selaras serasi timbangan-Nya, yang sudah disampikan berupa ayat-ayat tersurat pun yang tersirat.

Kenapa proses itu penciptaan sebab, karena keberlangsungan kehidupan ini bersinambung. Memaknai sejarah menarik kesimpulan tanda, bukan pembentukan identifikasi akibat, tetapi pengalaman hidup demi lebih baik. Jadi, pandangan umum berkata akibat, saya hanya namai akibat sementara, atau studi kasus belum mapan.

Terbukti hukum ciptaan manusia seringkali tidak terpakai pada jaman di depannya. Itu terjadi karena aturan dibuatnya sejenis jaminan kasus yang disetujui sebagai pijakan demi penelitian. Ini baik kiranya bukan patokan. Akan parah jika dibakukan, sampai generasi selanjutnya tidak membantah, lantaran hawatir tidak dipercaya tersebab aturan sebelumnya disetujui khalayak.

Jikalau hukum tersebut memaknai ayat tersirat atas kehendak-Nya, hasilnya benar adanya menjamin kebaikan, bukan mengurung ide generasi mendatang. Maka setiap aturan yang sudah disepakati, seyogyanya fleksibel agar ada relativitas di segenap bidang mata kajian.

Kenapa saya tekankan insan itu penyebab yang menyebabkan. Ini demi aliran kebijakan yang membuka terciptanya aturan baik-berkeindahan, penuh angin damai keselarasan.

Aturan-aturan dibuat manusia seringkali melukai jiwa kemanusiaan. Kalau aturan semakin dibakukan tanpa adanya kemungkinan, maka pertumpahan darah semakin takkan terelak. Walau intrik peperangan pun manusiawi. Di sini memetakan asal peperangan, yang dapat terjadi karena salah faham, dalam maknai akibat dan penyebab.

Saya yakin insan lahir dalam keadaan fitri tanpa dosa turunan. Jadi yang mengakibatkan peperangan itu penerapan hukum yang melukai naluri. Atau terciptanya perang dari sifat kebinatangan, hasut, dengki, dendam, cemburu buta &ll, melekat pada sosok manusia yang menyulut kehitaman panggung dunia.

Maka manusia (sebab) yang menyebabkan atau mencipta (proses atau evolusi nilai kemanusiaan) itu sumber kebaikan. Dengan menamakan sejarah bahan kajian, bukan mengambil kesimpulan darinya untuk hukum keberlangsungan. Yang kudunya menerima tiupan angin kekinian, harapan ombak keberjamanan kemanusiaan sekarang.

Seperti pelangi yang berangkat dari keadaan sekitar, mengkondisikan keberjamanan, pancuran air mencipta warna. Bukan pelangi mendatang, tapi kesadaran evolusi nilai kemanusiaan, wewarna cahaya kebersatuan mesra. Dan timur-barat hanyalah kutub pelangi yang menghampiri sungai-sungai peradabannya, selepas hujan deras penyadaran universal.

(3) penyebab yang mendekati pengakibatan
Penyebab bagian ini kecakapan insan atas kekuasaan-Nya, guna membuat penyebaban atau mengatur siklus kebutuhannya. Menyebabkan proses evolusi nilai-nilai penyebab dirinya. Atau proses adalah kerja insan menuju kelayakan penerimaan baik.

Status ini mendekati pengakibatan. Pengakibatan adalah proses di mana penyebab mengambil hakikat prosesi, kerja yang dilakukan atas sebelumnya atau finising asal hayati, evaluasi akhir dari gerak jaman. Pada terapan sejarah, proses mendekati pengakibatan itu bermakna revisi akhir sebelum hari menentukan. Masa tepat hadirnya aturan sesungguhnya, hukum seirama gerak kasih-sayang yang menyapu kening para wakil-wakil-Nya.

Machiavelli mencium kesadaran keberjamanan di buku ke II dalam The Discourses:
“Manusia selalu mengagungkan masa lalu, mencari kesalahan masa kini tanpa alasan, dan mendadak saat penuwaan, menyanjung segala yang pernah mereka alami ketika mudanya.”

Dan saya memulai ini dengan percaya, yang dianggap orang sejarah, hanyalah “dongeng” semata. Atau batu-batu monumen yang dilebihkan sejarawan. Inilah penampakan pribadi kekinian, dan pembelajaran berulang akan menciptakan banyak sekali pengalaman.

Kemenjadian adalah cermin senantiasa pembuka nalar kesadaran nyawa, keberadaan yang tidak menyangsikan esok pasti. Esok ialah sesuatu, tetapi sudah ada dari kini menyungguhi hayati, menjanjikan tanpa banyak dekte atas sejarah masa silam.

Fukuyama menyadari kekinian dalam pendahuluan The End Of History and The Last Man. Mungkin buku itu finising karya Hegel, The Philosophy of History. Kata Fukuyama:
“Hasrat untuk diakui yang dibarengi perasaan marah, malu dan bangga, merupakan bagian dari kepribadian manusia yang bersifat kritis terhadap kehidupan politik.”

Perasaan marah saya maknai penyelidikan lebih, kesuntukan menggali kebenaran hakiki, kemarahan akan kesangsian manusia kini, memperbesar situasi kemarin dan lalai kondisi sekarang. Andai benar tetaplah suatu kelenaan, seperti memaknai akibat dalam kehidupan adalah dekaden.

Kebanggaan itu bangkitnya kehalusan budhi, terangkat pada nuansa memukau, segala unsur tampak di sekitar perjalanan sejarah, menjadi bahan bangunan tidak runtuh. Dan kebanggaan bukan sekadar cita rumusan mekanik, tetapi jiwa halus merambah kemanusiaan penuh damai, kesadaran universal mengisi hayat berkeseimbangan.

Rasa malu memacu syaraf kendor menjelma tenaga berdaya guna, petualangan komunikasi antar sesama bukan saling tindih. Tapi bertaut memberi pelengkap dengan menanggalkan keculasan, mutu identitas damai diutamakan. Saya harap pembaca terjelaskan, penyebab mendekati pengakibatan. Yakni penilaian gerak jaman membuka kemungkinan berakhirnya atribut, lewat memperdalam nilai-nilai tradisi yang selaras kasih-sayang-Nya.

(4) pengakibatan menuju pengakibatan akhir
Ini hasil bagian satu, dua dan tiga yang mengharapkan makna rahmatan lil alamin. Dalam kajian budaya semacam impian masyarakat madhani, menyadari posisi terkemuka, bahwa pergerakan seyogyanya dengan peletakan batu pijakan, agar tidak terjadi salah penentuan, akibat sebagai sebab atau sebab dikelirukan akibat.

Kenapa saya katakan kajian ini membahayakan kesehatan nalar keimanan. Karena jika terjadi kesalahan penempatan dalam menentuakan kausalitas, maka bisa gelincirkan ke lembah kebingungan. Dan hasil kausalitas yang keliru, menyesatkan banyak orang. Olehnya perlu kehati-hatian pada argumen memukau, apologi menggiurkan imaji.

Kudunya kita berteguh kekuatan bathin pandangan cermat. Bagian ini ialah akibat yang ditimpakan Tuhan atas proses kemanusiaan, pahala akhir lewat hitungan. Pengakibatan menuju pengakibatan akhir, ialah totalitas evolusi yang mengedepankan jumlah nilai dari prosesi ikhtiar.

Bagian ini perimbangan temuan manusia atas tiupan seruling-Nya. Sejenis kata “atau” untuk melembutkan makna kata “dan.” Atau kata “atau” adalah anak turun kelembutan kata “dan.” Mungkin semacam inilah kesamaan gerak pengakibatan menuju pengakibatan akhir.

Kerepotan memaknai akibat yang tepat, jika tidak melewati tilikan murni semacam kata “dan” dan “atau” yang kerap tertempuh demi penghampiran lebih. Penajaman kehendak lembut yang sulit ditempuh, jika hanya mengandalkan efektifitas satuan kata “dan” dan “atau” yang dapat menyembunyikan kemungkinan di sekitar persoalan.

Sebagai renungan saya mengambil surat an-Najm, ayat 39 sampai 42:
“Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya usahannya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan paling sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan segala susuatu.”

Epilog
Nietzsche dengan terbuka mengatakan di awal kalimahnya, Empat Kekeliruan Besar, dalam buku Senjakala Berhala dan Anti-Krist, kekelirian sebab sebagai akibat;
“tidak ada kekeliruan yang paling berbahaya ketimbang menyangka akibat sebagai sebab, saya sebut ini bentuk instrinsik kejahatan akal.”

Dengan mengambil contoh bukunya Cornaro:
“diet itu penyebab dari hidupnya yang panjang, sedangkan syarat kehidupan panjang, metabolisme yang sangat lambat, jumlah makanan sedikit itu sebab.”

Di sinilah awal persinggungan saya. Nietzsche juga Cornaro sama-sama terburu menentukan sebab dan akibat. Saya katakan tergesa tersebab Cornaro masih berujar “jumlah makan yang sedikit sebagai sebab, dalam terjadinya penyebab atau diet, demi kehidupan panjang.”

Makna ini selintas mendekati pandangan saya bagian kedua, penyebab yang menyebabkan, atau proses kehidupan manusia. Namun dengan sorot lampu lebih terang, kita mendapati bayang kejelasan yang dia harapkan.

Dengan menekankan “kehidupan panjang” seolah jumlah makan sedikit akan melangsungkan kesehatan dengan diet (penyebab). Atau lelaku tirakat bagi penyebab kesehatan. Perbedaan jelas ketika selanjutnya Nietzsche melontarkan contoh:
“Rumusan paling umum, yang mendasari setiap agama dan moralitas adalah lakukan ini dan ini, jangan lakukan ini dan ini, dan kamu akan bahagia”

Nietzsche begitu jauh menghakimi moralitas agama, tentu saya maklumi sebab tidak melihat paparan manusia sebagai sebab menyebabkan (rahmatan lil alamin), yang tidak memberatkan dirinya dengan diet berlebih. Hingga apa yang diharapkan tirakat sebagai akhir dari mimpi dan harapannya, sementara hasrat pelangsingan tubuh sebagai kesehatan ruhani.

Mimpi atau harapan seolah menjanjikan akibat menyenangkan. Sedangkan bagi saya, impian ataupun harapan di atas, kurang tepat sebelum melewati hukum-hukum yang diyakini sampai kedudukannya berserah. Yang saya maksudkan hasil, tidak menyakiti sisi-sisi kodrati, malah mewakil yang dipercayai.

Marilah melihat kutipan Derrida di bukunya Specter of Max dari Fukuyama:
Baik Hegel maupun Max yakin bahwa evolusi masyarakat-masyarakat manusia bukannya tanpa akhir, tapi akan berakhir ketika umat manusia telah mencapai suatu bentuk masyarakat memuaskan kerinduan-kerinduannya yang paling dalam dan paling mendasar. Kedua pemikir itu dengan demikian mengajukan suatu “akhir sejarah.” bagi Hegel ialah negara liberal, sementara bagi Max, itu masyarakat komunis.

Saya katakan sebagai kapasitas memiliki kursi di lantai berbeda, namun dalam satu nafas gravitasi kemanusiaan. Bahwa yang Fukuyama katakan, seirama yang dirindukan Cornaro, Nietzsche di lain tempat. Setelah saya melewati pendekatan kata “impian” atau “harapan” di atas pada bahasa Fukuyama, akhir dari evolusi manusia, ketika mencapai bentuk masyarakat memuaskan kerinduan-kerinduan paling dalam dan mendasar.

Penekanan kata pasrah atau berserah, bukan wujud dari impian atau kerinduan terdalam kemanusiaan. Namun memasuki aura Keilahian, keselarasan alam dengan penghuninya, bersatunya wacana kesadaran peradaban. Dengan menanggalkan pengertian kajian dari sejarah bukan proses pengakibatan. Tapi temuan baru atau kelahiran suatu generasi lebih tinggi, sebagai penyebab yang menyebabkan.

Pun di tahap penyebab yang mengakibatkan, bukan berarti kefakuman setelah kerinduan terdalam dan mendasar tercapai. Sebab dengan menggunakan empat poin evolusi di atas, akan kehadirkan khasana rahmatan lil alamin. Atau saudara sedang membandingkan, antara kepasrahan dengan yang paling mendasar. Kalau saya dedah maknanya “paling mendasar” sebagai kebutuhan akan kebahagiaan material. Sedangkan “kepasrahan” melingkupi material dan spiritualitas.

*) Pengelana asal desa Kendal, Kemlagi, 2005 – 2009 Lamongan, JaTim Indonesia.

Tidak ada komentar:

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )