Nurel Javissyarqi*
Dalam menelaah konstruksi budaya, baik identitas-identitas personal maupun kolektif, teori kritis, teori budaya, lebih beralih dari menggunakan kata “diri” (self) menjadi menggunakan istilah “Subyek” (subject). Hal ini di karenakan kata “diri” secara tradisional memunculkan ide tentang identitas sebagai sebuah kepemilikan pribadi, sebuah gagasan mengenai individu sebagai unit dan otonom. “Subyek” lebih mendua atau ambigu. Subyek bersifat pasif maupun aktif. (Dani Cavallaro, 2001).
Saya bertanya-tanya tentang “subyek” kata Cavallaro, yang mengatakan subyek bersifat pasif maupun aktif. Pertanyaan saya: apakah yang berkedudukan sebagai subyek bersifat pasif? Apakah bisa dikatakan subyek, jika tidak memiliki identitas predikat atau turunan?
Atau, apakah dapat dikatakan “diri” sebagai wujud “ambisi” dan “subyek” penjelmaan dari “bayangan.” Sebab ambisi serta bayangan, keduanya sama-sama ngelangut pada ketidak menentuan. Pula keduanya berhenti di pojok kelelahan, keletihan fatamurgana, walau senyatanya berangkat dari kesadaran berlebih, semacam rindu atau daya cemburu. Keberlebihan inilah hingga orang-orang menilai sebagai subyek maupun diri (self).
Contoh: “Diri wanita itu membekukan hatinya.” Apakah kalimah barusan cukup dimaknakan pasif, sedangkan yang menggerakkan hal lain itu aksi yang menampilkan reaksi. Kemiripannya terletak pada contoh lain: “Para demonstran itu tutup mulut.”
Lalu saya bertanya: apakah tidak sama antara para demonstran dengan diri wanita tersebut? Atau saudara membandingkan antara kuantitas daripada diri yang beraksi tersebut?
Untuk sampai pada kemungkinan sebenarnya, kudunya saudara tidak menjatuhkan persoalan begitu mudah tercerahkan dengan argumen yang meski menjanjikan kebenaran. Karenanya, berhati-hatilah menerima pendapat, dan ingat pendapat yang sedang dikeluarkan bagi pendapatan, atau jarak mata pancar kehadiranmu yang subyek atau diri.
Sebab setiap lipatan persoalan, penulisnya tentu mengharap yang diimpikan untuk jalannya pemikiran, dapat pula sebagai hal bertolaknya akal yang tidak sesuai dengan maksud musim serta cuaca rindu dalam persoalan diri.
Olehnya, daya tuntut kuat menanggung sakit berketabahan ialah jiwa-jiwa patut diteruskan, sebab setiap pergulatan dan pergolakan adalah nilai bertebaran, jika sabar memungutinya bagi suatu kepemilikan.
Pertama
Dalam pada itu berbalik muka pertama. Biasanya saudara terdorong atas pencarian awal atau landasan penelitian. Bisa terjadi memaknai penyebab karena berangkat dari suatu yang tersebabkan bagi pijakan. Padahal belum tentu anggapan sebab benar-benar “sebab” adanya. Maka bisa dinilai, saudara seringkali mengambil makna “sebab” berawal dari keyakinan, maka fakta yang “ada” keimanan sebagai penyebab yang akan terjadi.
Sebelum sampai pada kebenaran yang dilalaikan sejak awal. Inilah peringatan saya yang saudara anggap fakta kebenaran penyebab, bukan berangkat dari faktual adanya, karena menaruh keyakinan demi pijakan kajian.
Maka penelitian saudara menjadikan kesangsiang saya yang selalu berkesegaran melimpah. Saya melihat kadang saudara menujum penelitian, contoh duluan mana ayam dan telur? Dengan didorong semangat penelitian, cepat-cepat menentukan keyakinan bahwa “A” atau “B” penyebabnya.
Manfaat kajian ini, saudara bisa berpijak di batuan mitos tanpa merasa sangsi, sebab mitologi itu anak turun keimanan. Boleh jadi logika kemarin yang berlaku atau tidak berjalan sama sekali, sebab telah mendapati jawaban sebelum penelitian. Keterangan ini sengaja saya perbalikkan agar lewat akrobatik, cepat keluar dari keraguan menggapai apa yang seharusnya tertempati sebagai pijakan.
Saya bertanya: Apakah sebab itu? Saya harap saudara tidak kedodoran menerapkan keyakinan, sehingga tidak saya tinggalkan. (Ini pertanyaan sederhana tapi membekas, menggemparkan jika menerima kedalaman yang tidak memiliki pandangan sebelah mata).
Prosesi saya andalkan di sini: penyebab ialah suatu ketunggalan, namun memiliki beberapa sebutan. Di mana sebab itu sesuatu yang memiliki tenaga, dan bukan bertenaga. Makna bertenaga tidak dari pekerjaan makan, tapi secara hakikat kodrati, niscaya benar memiliki hasrat. Karena “sebab” itu kebesaran ego atau gairah berlimpah.
Di sini berangkat dari perasaan subyektifitas murni. Tragedi sebab-akibat pernah di bahas Nietzsche, namun dengan melenyapkan suatu tanggung jawab, dikarenakan meninggikan subyekyifitas ego dengan menghilangkan fungsi tuhan.
Kali ini saya menuntut jawaban dengan memasuki perihal sesungguhnya. Ini jarak penulis yang tidak menerima formula tersebut. Dia percaya akan kebenaran tunggal dirinya. Meski itu suatu amat membanggakan diri yang kembara.
Kalau penulis singgung kepribadiannya, Nietzsche seolah bercermin pada dirinya dan menjadi benar jika cermin mengenal asal mana fungsinya. Maka kesadaran akan cahaya itu keniscayaan, sedang dirinya seolah tidak menghiraukan cahaya dengan sangat percahaya diri, bahwa dia mampu memantulkan segala di depan kajiannya.
Kefatalan terjadi, ketidak adanya penjelasan gamblang, letak pijakan yang memuaskan untuk lapangan menjanjikan damai. Tapi bukan berarti saya menghalalkan sesuatu dari kesepian.
Ada yang mengatakan kesepian wanita, akibat kesendiriannya. Namun jika sadar kesepian, hal tersebut berubah menjadi penyebab segala sesuatu berharga. Ini sebagai penciuman awal, jika sudi berhadap bersama melahap hidangan di meja.
Saudara bertanya: apakah tidak benar perputaran dunia itu putaran sebab akibat, berkesinambung sampai kini. Jawab: boleh mengikuti cara itu, tapi harus disadari bahwa penyebab awal kali manusia itu kesadaran akan fitroh.
Lalu saudara bertanya: Tetapi, kesadaran selalu berubah-ubah menurut kekuasaan masa dari kanak-kanak, dewasa hingga kematangan pemikirannya, maka perubahan kesadaran berarti perubahan sebab yang bisa sebagai akibat kesadaran sebelumnya.
Saya jawab: bagaimana pun perubahan diri yang namanya sebab, tetap berangkat dari kesadaran benar, bukan didasarkan tujuan kajian kesementaraan demi harapan, keharusan pijakan penelitian sementara atas impian dan harapan semata.
Saudara mencari pertanyaan: Bagaimana mengartikan kesadaran itu sebab. Cobalah lihat kasus ketika lapar. Yang tampil ialah kesadaran makan, dari sini makan berarti akibat dari rasa lapar. Ini saya anggap kasus begitu fatal dan termasuk dekaden.
Kemerosotan perlu ditilik. Atas kesadaran menempati subyek sebagai obyek atau sebaliknya, karena saudara sangsi dengan cukup mempercayai bagi suatu pijakan. Atau saudara menyudutkan saya dengan mengambil keyakinan yang ditampilkan sebagai tujuan penelitian.
Kasus semacam ini, tujuan penelitian menghasilkan ketuk palu bagi subyek atau penyebab yang saudara pilih sebagai keyakinan. Kesangsian saya, sebelum saudara meneliti telah mengambil sikap, seperti: Saya kudu berangkat dari garis “A” menuju garis “B.” Ini dekadensi, sebab hasil penelitian itu wujud ramalan yang terharapkan sebelum terjadinyan proses penelitian.
Jadi saudara mengikuti jalan teryakini demi mendapati yang teridam atau telah ternujum sebelumnya. Maka kefatalan ini, menyamakan keyakinan dengan nujum. Dalam kasus saya kembangkan: “Ciptakanlah sebab.” Dengan apa? Di atas telah disinggung. Sebab berdasarkan kesadaran total kepenuhan melimpah, rasa sakit bukan dibikin atau dikondisionalkan.
Atau saya beranggapan, pengulangan kerja bukan akibat dari kebodohan awal masa puncak kepenuhan yang tidak mau bersahabat. Tapi proses itu sebab yang menghasilkan akibat (?). Di sini langsung saya tekankan: kematian ialah akibat segalanya. Maka buah karya patut dinilai, jika dianggap telah ditinggalkan. Maka pengulangan yang menghasilkan kemerosotan, sama halnya bunuh diri.
Kajian daripada akibat ialah dekaden. Seperti pengulangan ataupun pendektean sejarah yang diulas tanpa menghasilkan sejarah. Atau tuntunan yang tidak menciptakan tuntutan. Inilah kemandekan fatal, ketakutan membuai, memproses sebagai kesadaran awal dari penyebab kemate’ngan.
Tinjauan kasus: hukum saklek akan memotong dirinya sendiri atau kebijakan bukan suatu kebijakan di lain tempat, ketika keyakinan satu dengan lainnya berbeda. Untuk menggabungkan diagram ini, kita cukup menggunakan catatan nilai, dari muatan yang ada. Hingga pemaknaannya menjelma universal.
Kedua
Yang memiliki keimanan percaya: tuhan adalah Penyabab segala sebab. Kita dihadirkan ke belahan dunia bukan lantaran tuhan mengusir Adam karena makan buah khuldi semata. Tapi di sini agar menjadi penyebab yang Rahmatan lil Alamin.
Penyebab bukan hasil kesakitan, tapi fitalitas tinggi yang tidak dari kesembuhan lantaran benci. Kita berasal dari alam kandungan demi mengatur bumi. Pengatur ialah penyebab, bisa ditarik kesimpulan, selama manusia masih hidup, dia sebagai subyek atau penyebab.
Kasus yang terjadi, sering orang merasakan kesengsaraan dunia karena kerapkali menganggap dirinya obyek, penderita atau akibat, semisal memiliki dosa turunan. Manusia lahir dalam keadaan fitri, untuk menjaga kefitrian tersebut, dengan selalu berkesadaran, bahwa manusia diemban demi kemaslahatan alam.
Karena itu tuhan menagguhkan catatan amal, meski setelah kita tiada. Sebab Dia Maha Bijak, tidak menutup kemungkinan bermaknanya kehidupan ialah proses dari subyektifitas keyakinan diri. Yang ternilai baik-buruknya, tentu kita memiliki cermin nurani.
Nurani bukan wujud kebakuan pasif atas tampang, sebab manipulasi bisa dihadirkan cahaya remang kegamangan yang menjerat langkah sampai jatuh. Nurani itu cermin yang patut dipergunakan, ketika lupa makna hakikat subyektifitas. Wajah diri yang diutus menjadi penyebab di alam dunia.
Dari pertama saya telah menyinggung kedatangan subyek itu ego, gairah berlimpah. Ego gairah berlimpah, sesungguhnya bukan subyek, tapi sekedar pintu memasukkan kesadaran. Kenapa tidak saya katakan lebih dulu di muka? karna saya ingin saudara duduk terlebih dulu pada persoalan, agar niscaya benar nantinya.
Bukan kebenaran perasaan atau keyakinan atas tujuan penelitian. Yang dicacat bagi kesombongan bukan atas tampilan ego, tapi ego yang sampai mengganggap dirinya sebagai penyebab awal. Yang diharapkan kehidupan kita sebagai rahmat lil alamain: agar dalam mengembangkan ego atau proses gairah berlebih tidak lupa, berasal dari kerahasiaan pemilik perbendaharaan tersebunyi, Allah SWT.
Kesimpulannya, kepatuhan kita bukanlah dinamakan akibat, tetapi kepatuhan sebab dari sang Penyebab. Di sini bukan berarti manusia anak tuhan, tapi yang dipercayai mengatur urusan dunia, dan tidak melampaui batas ketentuan-Nya.
Segala proses itu subyek atau penyebab. Kepatuhan kita sebagai subyek dari sang Maha Subyek. Dan akibat yang kita yakini ialah sandungan setan, demi mengutuk sebuah takdir yang sejatinya membahagiakan, jika sadar kehidupan itu penyebab.
Penutup
Bagian ini saya artikan putih menyehatkan seperti air susu dalam gelas kristal. Saya awali makna “rasa bersalah.” Rasa bersalah itu dari kemerosotan, tokoh dekadensi moral sekaligus guru mengajarkan keterpurukan, kelangutan, keputusasaan, prinsipnya pembodohan.
Rasa bersalah sebagaimana akibat atau menyetujui timbulnya akibat. Menurut saya terlalu dini keputusannya kalau disebut akibat. Yang pandangan umum bilang akibat, pandangan saya mengatakan suatu tangga kenaikan sebab, atau tangan panjang dari sebab niatan semula.
Jiwa penyebab selalu muda bergairah. Memang penyebab mengalami kelelahan tapi bukan diartikan akibat dari penyebab berlebihan. Tetapi demi penelitian lanjut, hal telah terjadi sebagai bahan penajaman proses, penguatan bukti bahwa penyebab itu puncak dari tuntutan.
Di sini memasuki gerbang yang kanan-kirinya tiada ilalang kesangsian. Bagimana pun, pencahayaan sempurna akan menghasilkan warna pelangi di lensa mata jeli. Ini terbukti walau tiada pancuran air menghadirkannya secara kongkrit pandangan umum, atau manusia bisa menyaksikan.
Proses sampai ke tahap kesimpulan ini, berasal energi cahaya. Sebagai misal, jika tanpa cahaya tidak mungkin mendapati diri terlihat di cermin. Inilah bukti cahaya bukan perwujudan dari ego atau gairah berlebih, tapi cahaya itu salah satu simbul Maha Penyebab.
Maka benar kiranya kalbu ibarat cermin berfungsi jika mendapati cahaya. Bagaimana pun beningnya kajian nalar, namun jika tidak mendapati cahaya hidayah, yang tampak hanya batu berhala keyakinan di kegelapan. Sebab itu cermin mestinya bergantung cahaya, jika ingin manfaat keberadaan dirinya demi yang lain.
Benar kiranya cermin memantulkan cahaya. Maka sebagaimana manusia itu subyek atau penyebab dari Maha Penyebab. Atau penyebab manusia akan menjadi penyebab yang rahmatan lil alamin, jika mendapati Maha Penyebab. Hingga penyebab insaniah sanggup memantulkan pensifatan Sang Penyebab Cahaya.
Ukuran cermin lebar-kecilnya tergantung kelapangan menerima cahaya. Semakin menganggap seluruh yang berproses penyebab, bertambah tertampunglah cahaya Sang Penyebab. Namun tidak harus dikatakan, sifat Cahaya itu serupa cahaya di cermin dan mendapati terangnya. Sebab hakikat pendapatan cahaya pada cermin sendiri, semacam daya berkah amanah pun hidayah.
Semakin dapat menjaga posisi cermin menghadap ketepatan datangnya Cahaya, bertambah komplitlah Cahaya masuk dalam diri dan menerangi atau berproses, usaha menerangi sekitar (rahmatan lil alamin). Bisa diartikan ibadah itu usaha cermin berhadap Cahaya, usaha subyek menghadap Subyek Tertinggi yang tak berupa cermin, namun Cahaya, dan merupakan berkah dari Sang Maha Cahaya.
Bertambah teranglah manusia itu menyampai Cahaya, sebab hatinya berupa kaca cermin. Dan keburamannya adalah rasa bersalah, yang menyatakan sebab sebagai akibat. Di tinjau dari sini, prinsip tuhan beranak, anak itu mewarisi dosa orang tua, dan reingkarnasi ialah kesalahan cukup fatal, seperti perasaan bersalah. Saudara tentu bertanya; Bagaimana hukum alam atau sunahtullah serupa penimpahan adzab dunia. Kembali di atas, rasa bersalah atau pengakibatan menuju pengakibatan akhir.
Jika menganggap kesengsaraan dunia ialah adzab atau sangsi sebelum sangsi sesungguhnya. Maka dapat ditarik manfaat, yang ditimpakan sebagai peringatan. Peringatan itu penajaman Cahaya ke diri atau yang membersihkan cermin buram, digetarkan dengan kedatangan Cahaya ketiba-tibaan. Sama kedudukannya adzab dunia dan keputusan sementara dari-Nya. Atau keputusan penuh, tapi bukan akhir. Keputusan adzab ialah tangga kenaikan kelas dari kelas bernama insan penyebab. Atau penyebab kedua (insan atau cermin) yang mendapati Cahaya.
Ringkasan: yang diberi kesempatan bertaubat bukan adzab tapi nikmat kesadaran. Adzab dapat berarti datangnya kiamat kecil (mati), yang sedang (bencana di timpakan kaum Nabi Nuh AS dan kiamat kehidupan). Tahap selanjutnya cinta. Ia menurut konsep ini adalah titik tengah antara subyek ke obyek, titik tengah antara makna penyebab dengan makna akibat, titik tengah antara niatan proses yang berproses dengan hasil akhir bernama akibat. Di sini jelas yang menentukan arah fokus cermin kita hadapkan ke mana, setelah mendapati Cahaya pada cermin diri.
Dapat diartikan cinta ialah bahasa lain ujian atau tangga penentu yang nantinya ke atas lurus atau ke atas menyamping. Tentunya tidak ingin menuruni tangga sebelum mencapai puncak dari proses perjalanan hayati. Sebab meskipun turun sebab takut ujian, tentu mengulang pekerjaan kemarin, hanya semakin menemukan kegelapan karena membelakangi Cahaya di depan-atas.
Kenapa saya katakan cinta sangat menentukan kelanjutan proses penyebab atau proses kehidupan subyek. Sebab ketika berada di titik koordinat, kita jelas mendapati karakter diri sebenarnya atau dengan titik seimbang, cermin diri sanggup merasakan getaran kesungguhan dari sang maha Penyebab Cahaya Ilahi: Apakah kita gemetar atau semakin asyik oleh kesejukan Cahaya. Sebelum sampai ke suatu akhir bernama akibat (mati, timbangan pahala).
Saya rasa sudah jelas paparan ini, proses kehidupan insan adalah penyebab dari Maha Sebab, yang mana hasil akhir (kematian, tamat riwayatnya karya, refisian akhir) ialah hasil proses berlanjut sebelum datangnya keputusan akhir kematian. Maka penderitaan dari proses bukan akibat, tapi tangga penyebab demi penyebab kelanjutan, sampai menemukan cinta dan kematian.
Akhirnya semoga yang tersampaikan tidak menjadi sesuatu yang menimbulkan tidak pedulinya Penyebab mencahayai penyebab (dunia, insan, kita). Namun mendapati kepercayaan selaras ridho-Nya. Tidak menemukan keruwetan penyelidikan dalam menentukn pijakan, semoga menjadi rahmatan lil alamin…
“Dialah yang telah membuatmu menjadi wakil di atas bumi dan telah mengangkat terajad kalian sebagian di atas yang lain guna menguji kalian dengan sesuatu yang telah diberikan kepada kalian,….” (QS.6:165).
*) 1 dan 3 Muharrom 1426 H, (Suro 1938,10 dan 12 Feb 2005).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
(1813-1883)
Abdul Hadi W.M.
Adelbert von Chamisso (1781-1838)
Affandi Koesoema (1907–1990)
Agama Para Bajingan
Ajip Rosidi
Akhmad Taufiq
Albert Camus
Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837)
Amy Lowell (1874-1925)
Andong Buku #3
André Chénier (1762-1794)
Andy Warhol
Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh
Anton Bruckner (1824 –1896)
Apa & Siapa Penyair Indonesia
Arthur Rimbaud (1854-1891)
Arthur Schopenhauer (1788-1860)
Arti Bumi Intaran
Bahasa
Bakat
Balada-balada Takdir Terlalu Dini
Bangsa
Basoeki Abdullah (1915 -1993)
Batas Pasir Nadi
Beethoven
Ben Okri
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Biografi Nurel Javissyarqi
Budaya
Buku Stensilan
Bung Tomo
Candi Prambanan
Cantik
Chairil Anwar
Charles Baudelaire (1821-1867)
Cover Buku
Dami N. Toda
Dante Alighieri (1265-1321)
Dante Gabriel Rossetti (1828-1882)
Denanyar Jombang
Dendam
Desa
Dwi Pranoto
Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra
Eka Budianta
Emily Dickinson (1830-1886)
Esai
Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia
Feminisme
Filsafat
Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta
Foto Lawas
François Villon (1430-1480)
Franz Schubert (1797-1828)
Frederick Delius (1862-1934)
Friedrich Nietzsche (1844-1900)
Friedrich Schiller (1759-1805)
G. J. Resink (1911-1997)
Gabriela Mistral (1889-1957)
Goethe
Hallaj
Hantu
Hazrat Inayat Khan
Henri de Régnier (1864-1936)
Henry Lawson (1867-1922)
Hermann Hesse
Ichsa Chusnul Chotimah
Identitas
Iftitahur Rohmah
Ignas Kleden
Igor Stravinsky (1882-1971)
Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo
Indonesia
Ingatan
Iqbal
Ismiyati Mukarromah
Javissyarqi Muhammada
Johannes Brahms (1833-1897)
John Keats (1795-1821)
José de Espronceda (1808-1842)
Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937)
Jostein Gaarder
Kadipaten Kulon 49 c
Kajian Budaya Semi
Karya
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kata-kata Mutiara
Kausalitas
Kedutaan Perancis
Kegagalan
Kegelisahan
Kekuasaan
Kemenyan
Ken Angrok
Kenyataan
Kesadaran
KH. M. Najib Muhammad
Khalil Gibran (1883-1931)
Kitab Para Malaikat
Kitab Para Malaikat (Book of the Angels)
Komunitas Deo Gratias
Konsep
Korupsi
Kritik Sastra
Kulya dalam Relung Filsafat
Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana
Lintang Sastra
Ludwig Tieck
Luís Vaz de Camões
Lupa
Magetan
Makna
Maman S. Mahayana
Marco Polo (1254-1324)
Masa Depan
Matahari
Max Dauthendey (1867-1918)
Media: Crayon on Paper
MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Michelangelo (1475-1564)
Mimpi
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Mistik
Mitos
Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881)
Mohammad Yamin
Mojokerto
Mozart
Natural
Nurel Javissyarqi
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pahlawan
Pangeran Diponegoro
Panggung
Paul Valéry (1871-1945)
PDS H.B. Jassin
Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949)
Pembangunan
Pemberontak
Pendapat
Pengangguran
Pengarang
Penjajakan
Penjarahan
Penyair
Penyair Tak Dikenal
Peperangan
Perang
Percy Bysshe Shelley (1792–1822)
Perkalian
Pierre de Ronsard (1524-1585)
PKI
Plagiator
Post-modern
Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi)
Presiden Penyair
Proses Kreatif
Puisi
Puitik
Pujangga
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)
Rabindranath Tagore
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Realitas
Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo
Revolusi
Revormasi
Richard Strauss (1864-1949)
Richard Wagner (1813-1883)
Rimsky-Korsakov (1844-1908)
Rindu
Robert Desnos (1900-1945)
Rosalía de Castro (1837-1885)
Ruang
Rumi
Sajak
Sakral
Santa Teresa (1515-1582)
Sapu Jagad
Sara Teasdale (1884-1933)
Sastra
SastraNESIA
Sayap-sayap Sembrani
Segenggam Debu di Langit
Sejarah
Self Portrait
Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole
Seni
Serikat Petani Lampung
Shadra
Sihar Ramses Simatupang
Sumpah Pemuda
Sungai
Surabaya
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
tas Sastra Mangkubumen (KSM)
Taufiq Wr. Hidayat
Telaga Sarangan
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Thales
Trilogi Kesadaran
Tubuh
Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga
Universitas Jember
Waktu
Walter Savage Landor (1775-1864)
Wawan Pinhole
William Blake (1757-1827)
William Butler Yeats (1865-1939)
Wislawa Szymborska
Yasunari Kawabata (1899-1972)
Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017
Yogyakarta
Yuja Wang
Yukio Mishima (1925-1970)
Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )
Kitab Para Malaikat
- MUQADDIMAH: WAKTU DI SAYAP MALAIKAT, I – XXXIX
- MEMBUKA RAGA PADMI, I: I – XCIII
- HUKUM-HUKUM PECINTA, II: I – CXIII
- BAIT-BAIT PERSEMBAHAN, III: I – XCIII
- RUANG-RUANG MENGABADIKAN, IV: I – XCVIII
- MUSIK-TARIAN KEABADIAN, V: I – LXXIV
- DIRUAPI MALAM HARUM, VI: I – LXXVII
- KEINGINAN-KEINGINAN MULIA, VII: I – LXXXVII
- DI ATAS TANDU LANGITAN, VIII: I – CXXIII
- ANAK SUNGAI FILSAFAT, IX: I – CI
- SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI
- PENAMPAKAN DOA SEMALAM, XI: I- CVI
- DUKA TANGIS BUSA, XII: I – CXVIII
- GELOMBANG MERAWAT PANTAI, XIII: I – CXI
- MENGEMBALIKAN NIAT SUCI, XIV: I – CIX
- PEMBANGUN DUNIA GANJIL, XV: I – XCIII
- SIANG TUBUH, MALAM JIWANYA, XVI: I – CXIII
- SECERCA CAHAYA KURNIA, XVII: I – CI
- TANAH KELAHIRAN MASA, XVIII: I – CXXVII
- RUANG-WAKTU PADAT, XIX: I – XC
- MUAKHIR; KESAKSIAN-KESAKSIAN, XX: I – CXXVI
- Mulanya
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (I)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (II)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (III)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (IV)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (V)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VI)
- Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)
- Akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar