Bagian 14:
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
(kupasan ke nol dari sebelum paragraf ketiga, lewat
esainya Dr. Ignas Kleden)
Nurel Javissyarqi
“Wahrheiten wollen erkannt und festgestellt, eben
bewahrheitet sein; die Wahrheit selbst bedarf dessen nicht, sondern sie ist es,
die allein bewährt, was irgend als wahr erkannt sein und gelten soll.” “Segala
kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu
sendiri tidak perlu akan itu, karena ialah yang menunjukkan, apa yang diketahui
benar dan harus berlaku.” (Paul Natorp, Individuum und Gemeinschaft, diterjemahkan oleh Dr. Mohammad Hatta).
***
Setelah
menggurat judul di atas, tiba-tiba rasa kantuk datang menyerang. Ketiba-tibaan ini entah disergap
angka nol (kupasan ke nol), ataukah imbas dari bagian XIII nomor sialan? Dan alirannya mengajak jiwa saya meneliti jauh alam pekabutan
mitos menuju
dataran purba yang beralamat di bencah Flores, letak kediaman Ignas Kleden dilahirkan.
Meski radak
ragu, naluri pengelanaan saya menjangkau hal-hal berpenghayatan lembut menembus
masa-masa lampau. Kehendaknya sekeluar dari sana, bertumpuk lingkaran mengecil sampai membuka paragraf yang ketiga. Untunglah mempunyai beberapa buku lama, di sisi
informasi terbuka lebar oleh jasa google.com. Perihal tersebut menggurangi bebentuk hayal demi membuka lelembaran kemungkinan, dan dinaya bertuah bisa dibangun ulang. Sepertinya, mulai
mencium daun-daun kering pada tanah yang didiami hewan komodo serta bangau raksasa.
Memang serba
hawatir menyibak ilalang Indonesia timur dengan kedipan mata kata-kata. Selain
belum pernah ke sana, juga jarak penciumannya jauh di seberang tempat duduk saya. Tapi lantaran ada
peribahasa negerinya yang menyebut peradaban Jawa, tempat kelahiran saya. Maka
rasa percaya
diri timbul menundukkan was-was berbayu sentausa. Pribadi ini merasakan diberkahi untuk menelusupi segenap debu purba
yang diterima
bangsa mengakui perhelatan lama, rasa hormat sesamanya. Di mana
kelenjarnya kini saya tarik-tarik untuk sesuatu pencarian; darah nan menetes di
bumi menjelma kurban tidak terhindari, selembut syukur perjuangan. Meski tidak menyaksikan -itu ada, serupa perasaan tawadhuk
pada cermin kedirian yang berhadap-hadapan dan menerimanya ibarat ganjaran dari kehalusan budi lama nan turut menyimak meski berbeda.
Saya turunkan
saja peribahasanya dan tidak mengudarnya, hanya merasa bangga khasana bencah Dwipa diterima oleh
para insan di
daratan Flores nan adiluhung pula. Ini kidungannya; “Lewo teti perik nope piga Sina, tana teti lota nope makok Yawa, kala lewo
haka kai, kala tana aen gere,” yang artinya; “Tanah airku bersusunkan pinggan Cina dan mangkuk Jawa,
akan kujalankan hasrat serta keinginannya.”
BABAD NUCA NEPA
I
Nuca Nepa, kini dikenal bersebut Flores. Beratus kali ribu berlipat lebih purba masanya dari peristiwa banjir besar
jaman Nabi Nuh AS. Di dataran berbukit-bukit, gunung-gemunung, hutan lebat pepohon. Di huni makluk besar dan kerdil sebangsa manusia, mungkin
sebelum Fu-Hi di dataran Tiongkok yang memimpin bangsa “berambut hitam.”
Ada
kemungkinan mereka tidak menetap lama atau gemar kembara. Belum bisa didekati (dipastikan)
bahasa apa yang
digunakan,
lantaran durung (belum)
menetas jaman
keemasan. Pun pekabaran para arkeolog saling-silang sengkarut, jika menengok masa-masa pada bencah lain di belahan dunia; Mesir, India, Babilonia
&st. Olehnya, dengan memaklumatkan jemari menelusuri, mungkin saya kini sedang
merapalkan
Teori Lubang Cacing yang diwedarkan fisikawan Hawking. Debaran keragu-raguan atau inikah kesungguhan halus? Tampak cahaya itu menembusi batas-batas maya dan nyata memasuki kurungan realita.
Jika pujangga
R.Ng. Ronggowarsito seorang santri Tegalsari Ponorogo, pernah meramalkan meletusnya Gunung Krakalau. Sekarang di
atas perangkat
lunak lebih maju dekat kehilafan, saya kan coba menciumi ruhaniah masa silam nan terpendam ketulian, dengan percepatan perubahan bersama hukum-hukum yang dialut semesta alam.
***
Sungguh berat
langkah bertenaga, laksana daging buruan di masa itu atau
yang sedang tertulis kini. Hiduplah hewan-gemewan besar yang menyusut ukurannya, pun berbalik memperbesar kuasa karena keadaan iklim serta ganasnya perkumpulan
tersebut saling berebut wilayah di rimba belantara. Kawanan gajah, bangau
putih raksasa, komodo, serangga dan makluk sejenis manusia mendiami dataran
bertuah. Sempat saya kerutkan dahi melihatnya,
jadi ciut nyali meneruskan.
Namun lantaran di
dalam dimensi
lain mewedarkan, maka selamatlah mengembangkan sayap senyuman, dikala memandang aliran sungai-sungainya bening gemerincing
mengalir indah nan berbahagia.
Bebayang itu
cepat melintas, padahal belum genap saya hatamkan nafas-nafas beraroma gaibnya. Kadang membuat terjerembab dalam kebisuan nyata. Pesonanya dengan
kandungan
berbeda, lain dikemudian masa seangka berabad-abad berjalan-jalan sedikit sempoyongan mengimbangi drajad kesadaran di
dalam lubang
kemungkinan. Di sini diingatkan penelitian Harun Yahya mengenai semut juga
sel-sel darah yang menyimpan berjuta-juta informasi,
sebagai bukti
kelak adanya pertanggungjawaban. Dan seperti diguyur hujan deras
menunjukkan angka 300.000 sebelum masehi. Berlalulah sekehendak purba terbenam lama.
Bertemulah
saya dengan Rera Wulan Tana Ekan, penguasa langit
dan bumi di bencah
Nuca Nepa.
Namun ada yang mengsle, lantaran di langit-langit pendengaran saya, bergantung
buku sejarah yang ditulis Jawaharlal Nehru kepada putri
tercintanya. Atau ini
kesamaannya, saya terbenam lama sementara dia dalam kurungan penjara. Tetapi
bukan, dia mencapai ujung abad moderen.
Kembali saya
bersila khusyuk menghadap kepadanya. Tubuh besar tersebut menggerak-gerakkan jemari tangannya menunjuk ke pegunungan tinggi
Kelimutu. Isyaratnya jelas, ia tengah mengetahui persis pergeseran patung
Sphinx di Mesir nanti? Seumpama televisi rusak diliputi berjuta semut-semut, pandangan saya kabur di atas beberapa buku sejarah yang buruk susunannya. Lalu saya
memperteguh
langkah ini sekadar dongengan, sambil menyapa beberapa perihal pokok lagi
terang
sumbernya, misal Muqoddimah
Ibn Khaldun. Namun ini jauh di ujung tanduk kebodohan, lelembarnya tebal tiada informasi didapat, kecuali menghimpun
perasaan serta jatung hati membetot semesta
dalam.
Datanglah
angin lebih sepi dari kesunyian kuburan yang dipenuhi kunang-kunang. Mendadak Rera Wulan Tana Ekan
menjelma ular besar, dan saya ditelan masuk ke mulutnya yang lebar lagi
luas di dalamnya. Sepertinya, ada seorang anak kecil memainkan seruling di sana. Ini aneh tidak masuk akal, tapi
baiklah saya coba memahaminya.
Di dalam perut
ular ada semacam perpustakaan, buku-bukunya dapat disebut langkah atau tidak
pernah saya lihat sebelumnya. Ada beberapa kemiripan dengan kamus kepurbakalaan
al-Kitab yang menerangkan kota, temboknya, menara, waktu
persantapan,
alat-alat berburu. Oh, saya mendapati pula gambar menyerupai timbangan,
pengukur, penggiling, cara mencari ikan-ikan di arus deras, menjinakkan hewan liar, serta
manik-manik
perhiasan, prasasti &ll. Naskah yang saya buka lelembarannya kusam merapuh, ada lukisan berjenis-jenis
perahu, alat peperangan, upacara berkabung, pepohonan langkah
yang belum saya
jumpai. Tempat peribadatan yang dikeramatkan, letak agung yang disucikan bersama patung-patung penanda masa.
Saya taruh
buku itu, lalu mengambil yang lebih tinggi letaknya di rongga dada
ular. Sedangkan sang bocah bermain seruling masih berdendangan. Kami sama-sama merasa asing seakan-akan jarak ribuan tahun tidak dikenal yang kini sedang saya dapatkan. Pembaca tentu
bertanya; apakah dalam perut ular ada cahaya? Dan kapan saya mengisi lapar? Di
sini jangan heran,
mainkan saja imajinasi lewat terapan penalaran, meski agak-agak miring
jalannya. Seperti
seorang memaknai puisi yang kata-katanya tidak ada sumbernya, tetapi memikat kedahagaan anda? Ah lupakan, atau cukupkan
di sini saja? Namun saya tetap meneruskan, hitung-hitung berpelesiran sambil
membuat ancaman.
***
Sebelum
berlanjut saya berdehem. Yang jelas pikiran anda sedang tidak tepat masanya,
berada di ruang-waktu maya, begitulah keadaan
dilipat-lipat
persoalan masa. Sedang ular penjelmaan penguasa Nuca Nepa menggerak-gerakkan badan merayap, saya kesulitan menggapai buku tebal di
pojok samar tersebut. Maka saya naiki tulang iganya dengan cukup tenaga demi menyabet naskah
itu, tapi
membuyar di lantai-lantai dinding berkedalaman air.
Saya jumputi
serpihan-serpihannya, gerakan ular kian menggeliat meliar, jangan-jangan ada bencana di luar
sana. Tidak tahu
persis sudah menempuh waktu seberapa bersama bocah itu. Ia merasa ketakutan sangat dan mendekati saya merangkul cepat
lalu mendadak
menghilang, ataukah masuk ke dalam diri saya seutuhnya?
Mengalami
kebingungan sangat, tak peduli berlembar-lembar tercecer, mungkin sejaman Nabi Nuh AS
membelah gunungan gelombang dengan kapal besar. Demikian teringat runutan
peristiwa di alam nyata; waktu 13.000 tahun SM, tetapi tidak mungkin secepat itu. Tiba-tiba saya tak sadar diri
oleh kebingungan yang sulit ditundukkan, atau terkena sirep nyanyian seruling sang bocah dalam diri saya dan terlelap.
Setelah
siuman, teringat beberapa bentuk kebingungan berasal dari
teori Darwin
yang menyesatkan, perihal itu saya biarkan. Seperti anda melalui tukang cerita yang
membius
penalaran, menerima saja berakibat tumpul berabad-abad. Demikian kemustahilan mencengkeram,
tidak memangfaatkan daya selidik berontak. Menelan mentah
pengetahuan
memasuki nalar, malas mengamati kemungkinan yang mengelilingi. Terlalu percaya dengan menganggurkan otak
laksana bejana kosong, padahal syaraf-syarafnya bisa mengangkut sekuat tubuh berolah. Mampu
mengangkat batu besar tersebab latihan, dan yang bengong saja tidak melihat pepuncak kreatif sesamanya.
Seperti
mustahil membekukan teori evolusi Darwin, pun puisi mantranya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) sedari bangku sekolah. Setidaknya memberi mengetahuan lain,
dihadapkan temuannya untuk diperbandingan. Begitulah pendidikan sepihak tidak memberi
peluang penalaran berbeda, maka dipastikan ketinggalan bangsa lain di dunia. Olehnya
jangan terima
sebelum lengkap memahami kisarannya, agar tak tampak sedongengan duga menyesatkan.
Hal yang
tidak
terketahui nyata saat-saat terlelap, memasuki dimensi halus selembut
tirai-tirai
mimpi yang terbuka pelahan. Saya dapati diri ini sudah terlepas sedari perut penguasa Nuca Nepa
dan terdampar di
padang rerumputan. Ular itu menyusuri dataran menjauh, lagi-lagi saya kagum sekaligus heran
terus-menerus berusaha memperbaharui kesadaran, guna menguatkan
pebekalan
melangkahkan kaki lagi. Betapa sulit di kedalaman ruang-waktu berbeda, apalagi
belum menemui penandanya. Jika puluhan ribu tahun sebelum masehi, masih ada yang
muncul ke muka. Tapi
sejauh ini menunjuk angka ratusan ribu tahun sebelum masehi, hanyalah praduga. Laksana membentangkan benang laba-laba
sejauh-jauhnya, sambil menaruh beberapa benang-benangnya di titik-titik kunci gemintang yang
mendiami
angkasa, bersama watak serta nasibnya.
***
Perangkat
pendeteksi mulai diketemukan, semisal daun-daun bercakap kala mengawinkan pepohonan, penginderaan tanaman, perangainya pada musim-musim tertentu. Di sebalik itu, ruang-waktu nyata penentu masa bertepatan
pada pelbagai
hal senafasan kodratnya. Seiring lalu berkembang; tetumbuhan,
gemewan, bebatuan mengalami penuwaan, serta ranting-tulang diserang bayu perubahan. Memadat menjelma inti bermekaran, menemui takdir yang
digariskan.
Sungguh takjub
fosil-fosil dikeduk dari sarangnya, bangunan purba diperkirakan di letak tertentu lalu
dibongkar dari kedalamannya, sambil mencari padanan sesuai. Apa saja pematang
kebekuan, tipisnya desir bayu serta bergerombol, juga kering menyengat kulit.
Di carinya gegaris ketinggian, kemiringan; semua berjalin merangkul dan
membeletat, memeluk bersidekap pun terlepas lingkaran, seperti habisnya energi bintang tidak lagi memijar-patulkan
cahayanya.
Sebanding
pergolakan ombak, lengkungan planet, batas pandangan mengerami pemahaman, mendiami
sudut-sudut pilihan. Mungkin keterbatasan bahasa yang hidup di jaman purba,
darinya ada yang condong memikirkan. Wewarna lembah
bebukit-pegunungan, beningnya air sungai bebatuan licin, hingga tragedi serangan mematikan kawanan lain. Di
pelajarinya secara
teliti yang
jamak menelan kurban. Ini mengalir beratusan tahun serta reribuan tahun lamanya.
Saya tidak
bercerita makluk luar angkasa, kemungkinan fosil terganjil pun berasal hewan
purba yang telah binasa tak lagi berketurunan. Dimensi kematian dan kehidupan sangat
dipengaruhi jarak ketinggian, keuletan, kecerdikan. Pula dapat dikatakan mereka tak sebodoh yang
kita
gambarkan, ialah semua terpancang kepada tiang-tiang derajat yang diikhtiarkan.
Di batas tertentu kelemahan menjelma kekuatan, kelebihan menyusut keterlenaan. Nafasan hidup itu kewajaran, bisa diusap-usap sambil memperkirakan kemungkinan, lantas dipastikan. Perihal sederhana, bebatuan ditumpuk menjadi bangunan, atau keseluruhan berasal dari menjajal. Dalam beberapa masa yang lebih maju menyelidiki tetumbuhan yang getir, pahit juga mengenyangkan. Keterbatasan untuk
memerdekakan jiwa-jiwa, bukan lantas menghalalkan segala, tetapi mencari celah
demi melanjutkan usia.
Memang hukum
alam berangkat dari awam, namun sudut
sinahu berbeda lain terapan. Maka tidak bisa digebyah
uyah, semua harus diselidiki, jikalau berharap sampai tujuan
berkelanggengan. Sudah banyak asal-asalan menyia-nyiakan waktu. Di dinding
keinsafan mereka hadir kembali, tangisan sesak
penyesalan berjejak
perasaan-nalarnya membidik yang dimaui, dan keberhasilan ditentukan oleh
Sang Penguasa.
***
II
Kembali ke dalam
dongengan
yang saya
ceritakan, selepas dari mulut ular penguasa Nuca Nepa. Di sini saya ambil Syair
Bikon Blewut versi Krowe-Sikka, sebagai garis ke masa silam, masanya hingga
tuntas inilah kisah:
Saing Gun Saing Nulun
Saing Bikon Saing Blewut
Saing Watu Wu’an Nurak
Saing Tana Puhun Kleruk
De’ot Reta Wulan Wutu
Kela Bekong Nian Tana Lero Wulan.
Terjemahan
bebasnya:
Sejak zaman purbakala
ketika bumi masih rapuh
batu berupa bebuah muda
tanah sekuntum baru sumekar,
Tuhan di angkasa menciptakan
bumi, matahari, dan rembulan.
Untuk
memudahkan riwayat, saya jumputi terlebih dulu sepadan purba. Saya ambil dari buku “Sejarah Tiongkok Selayang Pandang” karangan Elizabeth Seeger, diterjemahkan bebas oleh Ong
Pok Kiat dan Sudarno, diterbitkan J.B. Wolters ~Groningen, Djakarta 1951. Mengisahkan
Fu-Hi pemimpin pertama bangsa “berambut hitam” yang juga dikenal “keluarga seratus,” yang menuturkan adanya orang sakti bernama Pan Ku
sebagai tuhan mereka. Beginilah terciptanya alam semesta lewat gubahan saya, atau tengok di halaman 13-14 di buku
tersebut:
“Ketika bumi, langit dan air
masih bercampur menyatu
belum ada matahari juga rembulan.
Pan Ku berdiri di tengah-tengah
dengan sebuah pahat serta palu
mencipta langit, memahat bumi.
Sementara ia bekerja
tubuhnya membesar;
akhirnya mengangkat langit
diletakkan pada tempatnya
pun membentangkan bumi.
Tangan kirinya memegang matahari
tangan kanan memegang rembulan.
Sesudah semuanya selesai
dengan teratur dan tertib,
matilah Pan Ku;
tetapi kematiannya itu
bahkan menyempurnakan
pekerjaannya.
Kepalanya menjadi gunung
napasnya menjelma angin dan awan
suaranya membentuk gedoran guntur
darahnya mewujud sungai-sungai
lalu dagingnya adalah tanah;
tulang-belulangnya padat membatu
sumsum-tulangnya menjelma logam
serta batu mutiara; yang tersimpan
di kedalaman gunung tersebut.”
***
Kembali tubuh
saya bergetar-bergejolak. Deru angin bau batu, decak air tanah liat
melumpur meluap merajalela. Tiba-tiba menemukan versi lain bagaimana keluar
dari mulut penguasa Nuca Nepa. Untuk yang pernah dicekoki teori evolusinya
Darwin, model perubahan ini tentu tidak sulit diterima, simaklah:
Saya jumputi
lelembaran naskah yang tercecer di lantai kedalaman perut ular
itu. Getaran
berasal, sewaktu membaca Syair Bikon Blewut
yang bernada pendar nyanyiannya, sedari huruf-huruf ganjil
nan keramat. Tubuh Rera
Wulan Tana Ekan penjelmaan ular tersebut kepanasan, menggeliat-geliat sangat keras. Inikah kata-kata yang menggetarkan ketertinggalan masa? Ataukah pegapesane (titik
kelemahan) nan terjamah
dari kesungguhan purna, yang berdecak mengundang datangnya balak?
Dirasai tidak mampu lagi sembuyikan saya, dilemparkan persis di lereng gunung. Tubuh ular besar
nan panjang tersebut melingkari gugusan pulau, kepalanya ditaruh di Gunung
Kelimutu. Ada yang berubah, gunungnya tidak setinggi sebelum saya masuk ke
dalam perut ular. Seperti habis meletus, pun serpihan debu-debunya masih melayang-layang di angkasa.
Entah berkekuatan
apa, mungkinkah terselubungi Lubang Cacing Hawking? Sebab tidak mungkin bisa berpelesiran ke sini tanpa suatu apa
pun; ruh
mengudara,
sedang tubuh di lereng bebatu. Ruh membaca ketinggian Kelimutu; ada dedanau
wewarnanya indah berbeda-beda rupa. Terlintas segerombol manusia ketakutan, Kelimutu
masih menggelegarkan suara. Sedang saya takjub danau
indahnya, tertulis beberapa kata untuk merekamnya; ruh mengudara serupa menggunakan
layang-layang raksasa ditarik bayu bertuah.
Tubuh saya di
lereng bebatu berkekuatan lain daripada waktu-ruang nyata. Bukan berlari, namun jalannya sungguh cepat, pembaca bisa membayangkan lajunya rekaman film. Demikian
berkomunikasi dengan apa saja yang saya temui, serta memberikan kabar tanpa kendala ialah bencah Nuca Nepa telah merestui
saya.
Burung-burung
kabarkan keadaan gunung sebelum meletus, pepohon lewat dedaunannya tersadar
dari sekarat, mengisahkan betapa daun-daun sengsara tertimpa musibah, tetapi ada merasai nikmat kematian. Saya berjumpa kepala
suku Naru, yang hendak selametan demi
kembalikan dinaya bumi sehabis bencana. Tubuh ini lantas bergerak
melesat, ruh tetap melayang mengudara, sejenis pengendali jarak di alam nyata.
Sedari suku
Naru, dititipi sebilah keris berbahan perunggu, saya tidak tahu persis apakah sudah masuk jaman perunggu. Yang
jelas atas senjata pusaka itu, diperintahkan kepala suku untuk diberikan kepada kepala suku Larantuka. Kelak jauh terbilah tahun 1952, keris
tersebut diketemukan Peter Mommersteeg SVD yang masih di daerah Naru, Ngada.
Saya melintasi
padang memantabkan keyakinan, masuk wilayah Ola Bula, mendapati bergerombol gajah raksasa. Ini agaknya lain
daripada kawanan gajah kerdil yang sebelumnya berjumpa di perlintasan. Gajah
terbesar mengajak menunggangi punggungnya yang bidang. Saya turuti, sambil mendengarkan suaranya yang
parau menyibak
pepohonan, menyusupi pepadang pinggiran hutan, ruh serasa senang menyaksikan.
Dalam hutan lebih sedap pemandangan, hewan-tetumbuhan menakjubkan sewarna mimpi. Bunga-bunga liar
menghiasi celah renggangnya pepohonan, lengkap surga di pelupuk kagum. Aliran
air gunung bening memberi kabar gembira, semua terekam oleh
seluruh tubuh
berniatan ruh bercampur kejadian, kesaksian.
Selepas
lawatan di punggung gajah menuju daratan Sikka, muasal Syair Bikon Blewut
diwedarkan sang empu pemilik mana
luar biasa. Sekokoh magnetik tebal menjamah sekujur badan dirasai ruhaniah udara, saya hadapi tetuanya demi mohon restu teruskan
kembara. Di kediamannya dihidangkan sejenis minuman toak paling nikmat sebelum
lanjutkan langkah, didekatkan ubun-ubun saya diasmak. Tiba-tiba sampai di Lia
Natanio, Ngada, kembali di pungguh gajah dan menyaksikan orang-orang besar bekerja membangun tempat
ibadah. Saya kedipkan mata kepada mereka, sepadan pandangan awal langsung sejantung nyawa.
Tak jenak di
punggung gajah, melesat menyerupai terbangnya elang menuju Gua Liang Bua, di dekatnya rawa-rawa dihuni
bangau-bangau besar berwarna putih. Oh, limpahan Nuca Nepa memberi nirwana
tiada duanya. Kawanan bangau itu tidak mampu terbang jauh,
setidaknya
kalah cepat dibandingkan dengan lesatnya raga ini dikala ruh mengudara. Menurut
arkeolog, kemungkinan masa saya tempuh memasuki bilangan angka lima puluh ribu, atau dua puluh ribu tahun sebelum masehi. Saya girang
mengingat itu, setidaknya mendekat masanya, meski waswas berarti banjir di
jaman Nabi Nuh AS belum datang. Yang imbasnya sampai ke
Sumatra,
Kalimantan, sewaktu pulau tersebut satu akar. Ataukah perlintasan ini tidak runut kejadiannya? Saya tidak bisa katakan lebih kebenarannya secara
persis, sebab
berada dalam luapan kenikmatan kembara. Jangan-jangan yang suka
berimajimasi, seperti yang saya rasakan kini? Ah, bukan!
***
III
Karena beberapa hari lalu saya tinggalkan catatan ini untuk
ke luar kota,
olehnya bertutur pelahan sebelum kembali
pada pekabaran terbentuknya ‘dongengan purba.’ Setidaknya mengingatkan hari kemarin yang
menyusupi lelipatan masa bersama ruang di antara perlintasan peristiwa. Siapa tahu mewujud cermin
kekayaan sedari mengolah jarak pengalaman,
atau pun kemungkinan
tumbuhnya berkembang sewaktu yang dipikirkan itu jauh membentang.
Jalan ke luar
kota mengakrapi bayu lebih dekat daripada angin duduk dalam perpustakaan,
seperti gerak menciptakan perubahan. Kita terkurung ruang-waktu ataukah ruang-waktu
terlepas pun berpindah-pindah searah hasrat dari topangan nafas, agar tidak menuju pembusukan. Di sini perkiraan
disebar yang bernama jalan hidup. Walau tak dapat persembahkan paripurna dari suara kata-kata, meski dengan sorot benderang pada obyek
garapan. Misalkan tiada tahu wewarna energi magnetik di sebelah batang besi yang bergetar.
Pada keheningan bernada nging di telinga. Lelembaran bacaan berenergi sama didekat-rekatkan dalam kondisi kejiwaan yang memaksa memahami jalannya kesungguhan. Lelintasan dedaunan, pepohonan, pebukitan, bebatuan terjal, pegunungan kapur digergaji persegi empat besar-besar
diangkut truk ke kota-kota besar, lalu tambang pasir dikeduk habis-habisan membuat sedih laksana
pembantaian. Alam dirusak betapa sadis oleh makluk berkaki dua. Detik-detik itu saya
dilempar ke masa silam dan tiada tahu kecuali ingatan ganjil
menyelubungi.
Bayangkan
kisah di atas saya hentikan di sini. Tentunya rerongga dada pembaca sesak lantas mengumpat kecewa?
Begitu pun saya di hadapkan kebuntuan, yang mana sebelumnya pepintu ke masa silam terbuka dan
bernafas di sana. Maka merawat ingatan, persis mengelus nafas berharap
usia panjang. Umpama tiba-tiba meninggal dunia atau data ini lenyap, tidakkah
menjadi hantu (teror) yang memperkuat mitos? Atau kecelakaan memberi goresan abadi.
Karena masih segar-bugar ruh berdendangan sedaging menggumpal, olehnya darah berdenyut
terus mengalir cepat,
segemericik
ketinggian air menghidupi alam pegunungan.
Sebelum
menulis, semua dipersiapkan pada letak tertentu demi pendukung, memilih rokok
untuk dihisap pun
menjadi tuntutan. Dengan batas-batas kegusaran menangkap kelupaan juga ungkapan kawan
masih bertengger membentuk gugusan atau diapungkan bersama kesunyian diam. Perjalanan
waktu
mengikuti perkiraan; lambat, cepat, mengalir atau menggelantung mandek serupa
keraguan
mendera, dan ruangan tenang menghadiahi bulir-bulir pertemuan. Keduanya membentuk peristiwa, ruang-waktu menafsirkan, kemudian jalan cerita diteruskan dalam kondisi yang
berbeda. Tidakkah kekhusyukan bermakna sama?
Duduk di tempat
lain sambil menggembol pikiran, cecabangnya berjumpa taksiran sebelumnya, kecuali
hianat sedurung tuntas. Dan menghafal rasa tertentu
itu penting bagi
manfaat kesadaran atau hadir di atas keterjagaan sejauh jala terlempar.
Umpama kasih sayang kerinduan, kata-kata sehangat ketenangan indah selepas
pergumulan sedari jalan-jalan.
Keadaan ragawi memungkinkan pengaruhi derajat gejolak kejiwaan, maka saya teruskan
sebelum mati rasa, menarik jala demi menemukan cahaya gemilang. Harapannya menuju alamat terbaik memadatkan ingatan, dengan duduk tenang bersama pikiran membaca penasaran; begitukah kasih yang kau impikan? Menuangkan isi kelanjutan.
Bebayang masa silam seperti gambaran di layar televisi; kemudahan hadir setelah nafas-nafas merapat menemui perkiraan purba, ataukah terperangkap di
dalamnya? Dengan diam menulis, yang sebelumnya ramai dalam kesunyian suci, setingkat
kesaksian peneliti meninggalkan jejak-jejak tanda, menanjak naik-turun dengannya. Tanda dan bentuk
rekaman memperkaya kedudukan ingatan, ada nafas berbeda terlewat juga bersisipan menyapa. Sepertinya, dengan cuap-cuap ini pembaca sudah terpuaskan,
namun tentu tidak keberatan diteruskan demi melengkapi penasaran yang
sama? Atau bertambah dari waktu mengalir pelan?
***
Sebagai
sketsanya, saya ambil keterangan dari buku karangan Prof. H.
Muhammad Yamin yang bertitel “6000 Tahun Sang Merah-Putih,” diterbitkan Balai Pustaka Djakarta 1958, pada
halaman 342
seterusnya; isinya Tarich Sang Merah-Putih. Maka saya menjumputi seperlunya serta dibutuhkan tambahan yang saya tulis pula, sebelum
menjelajahi kedalamaannya kekisah.
Tarich Sang
Merah-Putih: I. Pra-sedjarah Indonesia. Sebelum Nabi Isja:
600.000 tahun dahulu. Orang Modjokerto (Homo
Modjokertensis). Tengkorak anak ini didapat di Djetis dekat Modjokerto. Inilah
bekas tulang tengkorak manusia yang tertua dalam sedjarah dunia. 300.000 tahun dahulu. Orang Terinil dekat Ngawi (Pithecanthropus erectus)
dan Orang Sangiran dekat Surakarta (Meganthropus palaeojavanicus). Kedua orang
ini sama tuanja dengan Orang Peking (Sinanthropus pekinensis). 40.000 tahun dahulu. Orang Ngandong (Homo Soloensis). Orang ini
meninggalkan beberapa perkakas batu dan tulang, jaitu benda kebudajaan jang
tertua diatas dunia.
15.000 tahun lalu. Orang Pelaut (Oceania; Indonesia-lama)
bertebaran mengisi ruangan Austronesia, menurut pendapat sardjana Perantjis
Rivet. 12.000 tahun lalu. Orang Wadjak (Homo Wadjakensis) di sebelah tenggara kota
Madiun. Orang ini ialah aslinja penduduk Australia dan Tasmania asli.
6.000 tahun dahulu. Perpindahan orang Purba-Indonesia
dari Asia-Tenggara melalui Semenandjung-Sumatera dan Filipina-Sulawesi. Mereka
itu menghormati warna Merah-Matahari dan Putih-Rembulan. Dari zaman itulah
berasalnja penghormatan Aditia-tjandera, jang bertebar di Nusa Indonesia dan
diseluruh kepulauan-Austronesia di lautan India dan Pasifik.
4.000 tahun dahulu. Perpindahan-kedua orang
Purba-Indonesia dari Asia-Tenggara menudju Indonesia. Ketiga lapisan
(Orang-asli Purba-Indonesia, Purba-Indonesia gelombang pertama dan
Purba-Indonesia gelombang kedua) berpadu mendjadi Bangsa Indonesia, sebagai
petjahan-djurai rumpun-bangsa Austronosia. Tanah-airja ialah Nusa Indonesia.
1.500 tahun s.n.I. Bangsa Austro-Asia, petjahan bangsa
Austria dan belahan rumpun-bangsa Austronesia (Purba-Indonesia), bertebar dari
benua Indo-tjina menudju ke tanah India, yang pada waktu itu belum lagi
didatangi bangsa Arja.
1000 tahun s.n.I. Bangsa Arja (Hindu) pandai menulis dan
membatja bahasa Sangsekerta berpindah dari benua Asia sebelah ke pusat benua
Asia menuju ke arah selatan tanah dataran jang dibasahi sungai Indus dan
Gangga; perpindahan ini mendesak bangsa Austro-Asia berpindah ke pihak
pegunungan India, sampai sekarang ini.
500 tahun s.n.I. Gelombang pertebaran bangsa Austronesia
menudju ke arah kepulauan Austronesia dan Nusa Indonesia. Sebagai hasil
perpindahan bangsa di atas ini, maka pada penghabisan zaman pra-sedjarah
Indonesia didapatlah penghormatan warna Merah-Putih di seluruh kepulauan
Austronesia, terutama di daerah Nusa Indonesia. Di kaki gunung Dempo
(Sumatera-Selatan) didapat petilasan-waruga terbuat dari pada batu jang
berlukiskan berwarna-warna dan seorang perwira memanggul bendera Merah-Putih;
dalam kuburan purba kala itu didapat manik-tanah berwarna Merah-Putih pula.
Sesudah pra-sedjarah ini, maka bermulalah babakan mula-sedjarah (proto-historia)
Indonesia.
Dan saya petik
pula dari pelbagai sumber, guna mendekatkan pengamatan di dataran Nuca Nepa
(Flores):
Didapati fosil gajah raksasa di Ola Bula, Ngada, 1956
oleh Tim Ekspedisi Verhoeven. Fosil ini dinamai Stegodon Trigonocephalus
Florensis karena ditemukan di Flores. Diperkirakan hidup pada periode 400.000
sampai 10.000 SM. Fosil tersebut juga ditemukan di Mengeruda, Matamenge, dan
Boaleza di Ngada. Lokasi penemuan dari satu titik ke titik lain diperkirakan
seluas 10 kilometer.
Pada 1998, Tim Ekspedisi Museum Ledalero yang dipimpin
Piet Petu SVD dan Ansel Doredae SVD, menemukan fosil tengkorak manusia raksasa
(a mythical gigantic skeleton) di Lia Natanio, Ngada, 12 kilometer dari lokasi
fosil Stegodon di Ola Bula.
Theodor Verhoeven SVD, tahun 1954 menemukan fosil manusia
purba penghuni goa di Liang Toge, utara Manggarai berbatasan Riung, Ngada.
Fosil sejenis manusia kerdil. Usianya diperkirakan di atas 40 tahun dengan
tinggi 46 sentimeter. Fosil itu diperkirakan 300.000 SM. Profesor Huizinga dari Universitas Utrecht Belanda dan Prof Koeningswald menyimpulkan;
fosil ini berasal dari jenis manusia ras Negrito yang pernah berdiam di Flores.
Karena jenisnya lebih tua, maka disebut Proto Negrito.
Lalu menurut Zoological Journal of the Linnean Society,
fosil bangau putih raksasa ditemukan di Pulau Flores, diberi nama Leptoptilos
robustus, tinggi 1,8 meter, berat hingga 16 kilogram. Paleontolog Hanneke Meijer dari National Museum of Natural History di
Leiden, Belanda, menemukan fosil tersebut bersama koleganya, Dr Rokus Due dari
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta. Mereka menemukan empat tulang
kaki di Gua Liang Bua. Tulang-tulangnya diyakini bagian dari seekor bangau yang
hidup antara 20.000 dan 50.000 tahun lalu.
Adapun Homo Floresiensis ditemukan tahun 2004. Sampai
kini para peneliti memperdebatkannya. Apakah manusia kerdil yang hidup 12.000 -
8.000 tahun lalu itu termasuk Homo erectus atau Homo sapiens. Tulang bangau putih raksasa seperti juga gajah kate serta manusia kerdil,
ditemukan di bawah lapisan tebal debu vulkanik. Kemungkinan ada erupsi gunung
api. Kedua, bangau putih raksasa dan makhluk sezamannya punah sebelum manusia
modern muncul di gua itu, pungkas Dr Meijer.
***
Catatan ini
banyak menyerupai kata pengantar, yakni tidak-lebih betapa sulit memasuki abad-abad
sebelum masehi. Pun perangai kejiwaan, tepatnya ruh dalam diri
betapa berpengaruh besar sewaktu menuliskannya. Mungkin pembaca tidak menyangka,
bahwa setiap
kata-kata yang tertuang
tersebut
berimbas di sekitarnya. Kala mengungkap kata ‘alibi’ di bagian lalu, kejadian
yang menyerupai pula muncul. Dan
ketika
terjerumus ke masa lampau di dalam kekinian, serasa kalbu terdekat itu
menjauh serupa
resiko yang harus ditanggung.
Kondisi
sekarang lebih parah, sehingga harus mengambil ruhnya sementara, lantas
saya ganti ruh
dirinya daripada milik saya dengan kesementaraan pula. Agar paham betapa jalan
di alas tali keseimbangan amat ngeri. Di samping beban berat juga waswas hawatir
kan tergelincir
yang pasti menentukan lajunya tulisan.
IV
Sampailah ruh yang saya pinjam memasuki pedalaman suku Manggarai. Orang-orang di daerah ini menyebut pulau Nuca Nepa dengan perkataan Nuca Nepa Lale atau Pulau Ular yang Indah. Melalui lelangkah kaki asing, karena ruh tersebut belum terbiasa menjelajah. Namun atas pesona keayuannya lekaslah sampai, bertemu dengan kepala suku yang menuturkan legenda mengenai pulau ini dinamai Nuca Nepa Lale, serta kenapa orang Ngada dan Ende menyebut Nusa Nipa. Juga hikayat pada suku Larantuka, yang menuliskan Nuha Ula Bungan yang maknanya Pulau Ular yang Suci.
Sampailah ruh yang saya pinjam memasuki pedalaman suku Manggarai. Orang-orang di daerah ini menyebut pulau Nuca Nepa dengan perkataan Nuca Nepa Lale atau Pulau Ular yang Indah. Melalui lelangkah kaki asing, karena ruh tersebut belum terbiasa menjelajah. Namun atas pesona keayuannya lekaslah sampai, bertemu dengan kepala suku yang menuturkan legenda mengenai pulau ini dinamai Nuca Nepa Lale, serta kenapa orang Ngada dan Ende menyebut Nusa Nipa. Juga hikayat pada suku Larantuka, yang menuliskan Nuha Ula Bungan yang maknanya Pulau Ular yang Suci.
Ia (ruh
pinjaman) banyak menimba pengetahuan dari mereka, rahasia ungkapan sakral sebagai
penentu denyutan alam sekitar, dan misteri lain yang
menyelubungi
takdir manusia. Seibarat gunung terselumuti ketinggian
kabut, cahaya kesadaran prosesi perubahan kan mematangkan jenjang usia pemikiran. Lewat penerbangan berbeda ruh membaca, sementara kaki-kakinya
masih menginjak tanah, melincah gemulai membawa berita.
Menembus pekabutan menyusupi lelapisan cahaya rasa nan suara makna. Untaian
rambutnya tak lagi panjang selepas dipangkas, sebagai
syarat
memasuki napas suku Manggarai. Ini mempermudah saya
menyusuri
padanan daun-daun juga bebatuan
kerikil
bergetar oleh perangainya.
Ahai, ia akrab
mengisi raga saya dan padanya ruh saya dirasai. Dengan lesatan seperti burung
terbang tercepat yang belum pernah ada manusia menyaksikannya. Ruh
berpindah-pindah dari Gunung Ranaka, lantas mencapai ubun-ubun Mandosaawu,
dilanjutkan ke puncak Inerie. Menjamahlah kelembutan alam Ruteng, kesuburan
pegunungan Ambulembo. Sampai di Pulau Sumba dengan napas santun menggapai suara
Gunung Wanggameti, yang merdu desiran anginnya.
Keheningan
khusyuk melagukan dendang keceriahan menemukan kepemudaan segar, serasa terlahir kembali; alisnya
melengkuk tebal menandai setiap perjalanan bagi tafsiran hukum alam. Pipinya sintal senyuman
menawan bagi sedekah untuk yang menyaksikan. Hidung tidaklah mancung
menambah sedap dipandang, yang bibirnya aduhai isyarat pengetahuannya
telah tanak menyeluruh ke bagian tak terjamah, yang diapungkan rahmat merindu balasan.
Janggutnya menyeimbangkan seluruh air muka mengharuskan
wibawa turut serta, kala kedipan matanya memudahkan segenap
yang diingini. Dan
satu andeng-andeng menikam kata-kata mengejawantah.
Dengan perangai itu kedirian ruhnya meneruskan kembara menuju Gunung Anajeke, memetik peputik kembang bersenda ria dengan kupu-kupu ribuan warna. Tanah subur memercikkan lumpur ke pakaiannya dibiarkan, mungkin amat bahagia. Tiada terasa sampai Gunung Iwing, dilanjutkan ke Kabaau, tidak luput ke Pahulubandil. Tiap detakan langkah, jantung blingsatan, mukanya kemerah jambu matang. Sementara ruh saya yang dirasainya tenang menyelidik apa gerangan yang dipikir, saat cerita ini melaju khusyuk. Senada irama bercampurnya pasangan, yang timbul-tenggelam di kedalaman lama kerahasiaan alam.
Babakan berlanjut menghirup napas menghimpung segenap pengalaman memasuki panca indranya dijadikan perolehan kekayaan. Pengetahuan yang kelak tidak habis dipunggah untuk puisi-puisinya mendatang. Ruh bersama jasadnya terbang ke Pulau Timor, mendaki Gunung Mutis diiringan bayu sedenyar gending-gending Jawa mengalungi lembah-lembah. Ia teringat masa kecilnya di kampung halaman bermain jaratan, dakon, serta nyanyian yang disyiarkan Kanjeng Sunan Kalijogo; ler iler.
Wewaktu
dilipat-lipat diudar setali kalbu kayungyung berat. Sebab apalah saya tanpa kebesaran hatinya yang merelakan dengan tidak menyebutkan namanya, atau saya sangat
segan menyapa.
Senandung ini seberkas cahaya menggelinjak menemui Gunung
Nefomat. Tidak lama, kaki-kaki gemulainya atas ruh pesonakan mata serta
telinga ke
punggung Kekneno, sebelum ke batas Wehaf dan Gunung Timau yang anggun.
Sedurung ke Pulau Alor, entah reaksi apa percampuran ini atau perpindahan beransur cepat. Bolak-balik berkelembutan tidak tampak oleh mata, memberi efek berlimpah tak terdetak sebelumnya. Jika memakai kata ‘gentayangan,’ tetap fokus merajalela sekuat tanda berbaur memberkah. Rasanya diruapi ketinggian agung memendarkan lapisan nikmat pada sel-sel darah, berdenyut kencang sekaligus pelan tak terbantah. Mengikuti sepyuran bebintik air suci menuangkan senjakala, yang terlihat mulai temaram di ujung sana.
Sebelum berhenti di tenggang masa yang masih bergelayut dalam selubung ruang-waktu demi maujud bagian nol ini. Pulau Alor sebagai titik tolak ruh menyimak denyutan air sungai-sungai menghidupkan kepulauan keramat Nuca Nepa. Ruh saya pinjam beranjak ke Gunung Muna, merasai kelembutan yang bersentuh lelapisan mega atau malam diterangi rembulan juga kunang-kunang menghiasi padang dataran.
Langkahnya
pelan kelelahan, bau keringat nikmat
dijilati angin tipis dataran tinggi, setepatan masa takdir menuntunnya berkeadaan bijak. Sebajik nilai-nilai utama diperdengarkan orang mulia yang
ditemuinya di jalan kembara. Dengan kesadaran imbang, kepakan sayap-sayap nalurinya menciumi Gunung
Apengmana serta Blikmana. Sebelum menghentikan lawatannya paling ganjil, tapi genap makna pada Gunung Fokala.
***
V
Hikayat lain menyebutkan
kalau raganya
tetap berada di ketinggian Gunung Ranaka, sementara ruhnya senantiasa mengembara
separas di puncak kegilaan. Jari-jemarinya menuangkan apa saja yang
didengar
telinga, dan pandangan batinnya berdecak dalam. Dapat disebut banyak versi mengenai lawatannya, ada
yang mengatakan di
muara Sungai Aisesa. Begitulah legenda menutupi kekurangajarannya lewat misteri
nan membalut sempurna menggumuli alam dikandugnya. Pada muara Aisesa, ia pelajari masa-masa memantul-mantulkan cahaya surya, seumpama hati terpaut
dedaunan pagi yang
memelanting
embun kelembutan belia. Betapa jujurnya waktu memberi bacaan membening, hingga hijab semesta terbuka mewah
merestui indra kesaksian.
Ruh terus membaca alam menyimak nyanyiannya di arus Sungai Reo. Ia diajarkan memperteguh hati-pikirannya menyikapi bebatuan terjal terpukul kesungguhan sedari kelembutan. Kepatuhan hukum alam membuka lembar-lembar kitab menyelidiki ayatnya pada birunya langit nan membentang. Desiran bayu, cecabang pepohonan lentur mencium kening permukaan sungai. Peputik kembang berjatuhan mengikuti arus, dan suara-suara hewan liar menambah derajad kesaksian. Ketakjuban melekati batin mempertebal keyakinan bertumpuk setinggi tapakan ruh mengejawantah ke seluruh yang dirasakannya. Dan perasaan syukur meningkatkan pemahaman perdalam penyelidikan, menguras rasa memakmurkan jiwa kesejatian.
Manakala setibanya di Sungai Moke, berjalan cepat di muka air berselancar seimbangkan gravitasi ondakan angin. Firasatnya cemerlang mengedarkan cabang-cabang isyarat yang diberikan padanya. Waktu dilewati berkemantaban tiada sedikit pun tercecer, bagaikan santapan lezat ruhani yang terus dahaga diserang kehausan rindu mendera. Kangennya pada alamat-alamat ceruk terdalam, celah daun sorotan cahaya, dan ruang tempat penyadaran dikala semua digerakkan. Maka tak sekadar pesona yang diperoleh, juga martabat sedari tirakat di atas tabaruknya pada keseluruhan hidup yang menghidupkan.
Teringat dirinya, kelembutan Sungai Leo Ria nan pernah
berpapasan gadis-gadis ayu sama dengannya. Menikmati untaian tubuh dalam tarian
syukur kehadirat Yang Kuasa, pemberi berkah panen berlimpah. Sampai ke Sungai Jamal, ia
mengunci diri merasai dingin menggigil oleh kesaksian,
meringkuk di bawah pohon merimbun. Setingkat pulung kapujanggaan menimpanya, pencerahan mengisi sekujur ruh
berhawa batin menyejukkan sukma. Makna-makna bersusulan menghampirinya,
mempermudah
penalaran meneliti hayati sedari keuletan menghayati tetingkap nyawa. Semua di
luar jangkauan, hanya ketulusan pemampu memerdekakan ruh di
ambang batas tak terkira yang masih dalam lingkup kuasa Pencipta. Lalu senyala
perintah mengulangi lawatannya ke Pulau Sumba, mungkin hanya ingatannya yang
dilayarkan ke sana.
Di muara Kambaniru dari kelokan memanjang, ia diberi penghormatan oleh para penduduknya dengan menampilkan tari-tarian Kandingangu, upacara adat demi memohon kehadiran Pencipta alam semesta. Tak dilupakan kebiasaannya di bencah Jawa ‘mengampuh,’ menjumput tanah lalu dikunyah demi restu moyang merambahi partikel pribadinya menuju warna alami, yang sisa tanahnya diambil sedari mulut untuk diusapkan di keningnya, dan selepas itu terpancarlah cahaya ke sekitanya. Mereka terus menarikan tarian Yappa Iya yang cekatan menggambarkan masyarakat Mbarambanja menangkap ikan, dan sebagai penutup dengan tarian Hedung Buhu Lelu sedari kampung Lembata. Ini mengisahkan betapa sangat erat kekerabatan mereka, kala menghaluskan larikan kapas dipisah dari bebijiannya. Para gadis menerbangkan sampurnya yang berwarna-warni menandakan kemakmuran tanah pertiwi.
Sebelum ke Sungai Kadaha, badannya ditaburi kembang dari berbagai
jenis. Mungkin sebagian kini sudah tidak tumbuh di sana, yang aromanya menambah restu bumi atas kaki memakmurkan
langkah. Menapak tilas dongengan ini yang masih cikal bakal menghiasi
telinga-telinga merindu kedamaian. Di Sungai Melolo, didapati beragam bunga-bunga putat -kalau di Jawa,
yang
bergelantungan menyentuh aliran air, sebagian dicecap ikan-ikan yang
berenang
itu menambah
sedapnya pandangan halus berbinar mempertajam matanya memaknai air hidup,
rahmat sekalian alam. Tidak terkecuali di Sungai Baing berjenis kembang menjalarkan
lentik cecabangnya, isyaratkan cahaya surya menanak perikehidupan, untuk turut
relakan kesaksiannya pada ruh pererat sendi-sendi yang ada pada dirinya paling berserah.
Akhirnya ke
Sungai Kalada yang kanan-kirinya ditanami palawija nun jauh di antara
penyeberangan. Ia berniat ke Pulau Timor demi mengulang balik ingatannya yang
terawat,
mengekalkan pengetahuan yang sebelumnya didamba. Misalkan membuka lelembaran
buku yang pernah ditelusuri jauh, kala keraguan menggoda. Dan kini peroleh kemantaban
tampan keayuan mekar, semerah senyuman kelopak-kelopak kembang membuat kekumbang
hutan kepincut menghisapnya. Turunlah
ruh pelahan di ujung Sungai Benain, separas elok arca Ken Dedes di Candi Shingosari. Meski jarak waktu
berbeda jauh, kelembutan bermakna sama. Seni paling unggul atas tahap
pengetahuan, seperti umat manusia merindu ketentraman di
balik runcingnya tajam mata. Waktu berlenggang ataukah bersijingkat menyibak
ilalang menanjaki bukit terjal. Jika ada luka, dianggapnya sebagai ganjaran lain oleh pesona kekayaan yang
direguknya.
Dalam kupasan sepadan menyebutkan, saat ruh saya pinjam menyentuh lelapisan Sungai Mina, dipandangnya selaksa cermin
menghadap kedirian. Tiap denyut alirannya merambah kerling gaib sekembaran
rahayu napas-napasnya sebuhul sama dalam tarikan sentausa. Kesamaan waktu tapi
lain wujudnya, dikala berada di Sungai Termanu, Muke dan Mena. Lantas hadir hentakan keras di
hati yang belum rela dicabut secepat kilat, tiba-tiba di ketinggian Kelimutu. Ada
suara riuh seramai sedekah bumi.
***
VI
Sebelum
memasukinya, saya kan kuak selubung kepercayaan sedaya bantul penalaran jaman
prasejarah akhir, dan ini menyeluruh tak hanya di Nuca Nepa. Ingin mewujud
cerita seluruh tentu memakan waktu panjang, sementara sudah menelan luasnya halaman, padahal niatnya sekadar sampiran memahami pola
penalaran pada kemungkinan lain berdetak nyata terkandung dalam, atau lamanya mengerami bumi yang melahirkan IK. Tulisan ini bisa dikategorikan
abstraksi gemawan yang kreasinya dapat ditarik menjelma hujan pengetahuan awal pada sistem
kesadaran. Atau saya menganggap temuannya filsuf pertama yang mewedarkan jagad raya, serupa kejelian sang
bocah yang
menanyakan bulan,
matahari, gemintang dan lainnya.
Mungkin suku
Sikka atau penduduk Larantuka ialah peranakan manusia dari dataran Asia Kecil (Asia Minor,
Anatolia) lebih jauh bangsa Grik yang suka kembara. Atau orang-orang pedalaman
Manggarai pernah menimba pengetahuan di Yunani? Barangkali paham hikmah begitu
fitri berasal kandungan hati pikiran tercerah. Selepas memandang gunung warna
lembah, pula keajaiban alam rupa-rupa meniupkan kabar meluas bagi yang insyaf, bahwa kehidupan di jagad raya ada Penciptanya. Tetemuan awal betapa serempak memberi makna takjub atas perikehidupan. Di desak oleh kesaksian hujan menderas, kemarau melandai dataran berpasir pun batuan digesek memercikkan api. Pegunungan berapi, batuan granit serta pola lain tertanam di benak, yakni di sebalik benda ada kehidupan yang puncaknya bersebut Animisme.
Di
temukan besi
berani, batuan penyimpan magnetik serta kesunyian malam berbintang menghadiahi kesegaran nalar. Dan
selalu diteliti
di musim tertentu bebintang berubah arah, kemunculan dongengan sebelum alat tulis didapat. Atas ketakjuban juga tidak puas terawat di setiap generasi, ini mematangkan jenjang selidik,
tetapi sebagian
hianat didorong dahaga yang lambat laun pasti ada pergeserannya. Dapat dibilang filsuf Thales yang mengatakan asal
semuanya dari air atau di bawah garis tekan semuannya satu. Ketetapannya tidak lebih hasil lawatannya yang
kerap menyaksikan
permukaan air
pun kembara ke Mesir mendapati sungai Nil yang menghidupi sekitar alirannya. Pola itu sedaya pantul
terus meneliti setingkap kejadian, lalu dirumuskan jadi kebakuan temuan bagi sesama. Ada melalui
dongengan pula bisik-bisik merebak ke seluruh telinga alam yang mengagumi perkirawan awal sebelum terbentuknya bumi.
Saat banjir
besar melanda, pepohonan tumbang, bebatuan berbenturan keras dan
gegunung
meledakkan dadanya. Tetumbuhan disebarkan oleh
gelombang samudra ke
dataran lain lantas tumbuh di ladang baru, demikian peputik bunga ikut terhempas. Di senggang
masa, beburung lain warna dan jenisnya mendiami kepulauan anyar. Semua beranak pinak pada rimba belantara berbalik melebatkan penalaran. Perubahan menetaskan telur pekabaran, terus digali yang
suntuk mengisi kalbu-pikirannya melewati penyelidikan berlarut. Kadang terlupa mata berkunang, kejadian itu diselidiki sebelum
Aristoteles memberi cabang Psikologi pada jejiwa letih terhadap pengetahuan, kedahagaan fisik
kekenyangan
biologis. Saya jadi teringat ungkapan Herakleitos; “Hidup berpikir ialah pangkal kesenangan” (Alam Pikiran Junani, susunan Dr. Mohammad Hatta, terbitan Tintamas
Djakarta, cetakan ketujuh, Desembar 1964).
Yang berpaham
semuanya berawal dari air, maka masih ikan-ikan yang hidup di sana (semasa Thales,
625-545 SM). Ketika para pelayar mendapati kejadian ganjil di laut lepas, sebangsa
jin menyerupakan dirinya menjelma manusia yang kini umum bersebut dongengan putri duyung. Atau sesuatu
yang tidak ternama muasal kehidupan. Menurut Anaximander (610-547 SM) adalah Apeiron, ini menambah yakin kelas-kelas mempercayai
teori evolusi Darwin, jenjang sedari ikan sampai terbentuknya tubuh manusia.
Sebuah bangsa
tumbuh makmur atas penduduknya yang tekun perfikir giat bekerja. Selalu mencari kebenaran terdekat menggayuh alam besar semesta
raya (makrokosmos) dan memeluk alam kecil (diri, mikrokosmos), di antara itu merentang benang keseimbangaan. Tapi hadirnya keserakahan, menggalang kekuatan bersenjata
ribuan pasukan merebut wilayah lain. Ini kerap menghapus temuan dan meruntuhkan nilai seperti banjir besar, musibah mencekik leher kehidupan. Muncul
watak perbudakan, penjajahan juga kembali berpegangan pada tahayul. Pendangkalan tidak
lebih tekanan dari keterbatasan yang dihanguskan musuh besar kemanusiaan;
ketamakan, licik, adu domba &ll. Hanya yang berjarak di bidang penelitian di bangku keobyektifan, di
bawah lampu temaram sunyi dari keriuhan tetapi ramai membuka hijab terahasia. Berbekal niatan
bening meluruskan nilai-nilai mengembalikan yang terhapus di
atas berkah
indra tajam sedari malam berlarut siang ditangkapnya dalam,
sehingga pengetahuan
berkumandang dengan purna.
Di sini saya
dihardik keraguan besar. Lawatan yang saya timba bukan melalui Lubang Cacing Stephen Howking,
yang mungkin ada kesamaan manakala menyebut pikiran Tuhan? Namun saya sebut
melalui Lubang Kesucian, ini barangkali meretas di alam kandungan ibu, yang
kelak tercermin pada jalan takdir menempuh kehidupan di bumi. Ada jangkauan harap, ikhtiar kuat menggali
kemungkinan. Menyebarlah rahmat pemahaman bagi turut mengaduk lahan nurani sebagai ciptaan-Nya.
Pembaca bisa merujuk pada buku “Filsafat Shadra” yang dipengantari Armahedi Mahzar, diterbitkan Pustaka Bandung 2000, karya Fazlur Rahman, judul
aslinya “The Philosophy of Mulla Shadra,” diterbitkan State University of New York, Albany, New
York, 1975. Ringkasnya, agar tidak merambah jauh yang bisa lepas terlupa pokok paragraf IK ke tiga, juga telisikan mesrah akhir prasejarah. Saya jumput
sepucuk paragraf pengantarnya serupa keragu-raguan ataupun keyakinan terlepas
Howking?
“Jadi, menurut filsafat proses yang benar-benar ada adalah
peristiwa-peristiwa dan hakekat proses itu adalah kreativitas. Tampaknya dengan
ini, semua terjelaskan dan bisa memuaskan semua orang. Yang ideal dan yang
material tak lain dari aspek-aspek saja dari setiap proses. Bagi orang yang
beragama jika proses itu adalah semesta, maka keseluruhan hukum-hukum alam
merupakan aspek ideal bagi alam semesta. Dan ini menurut ilmuwan atheis Stephen
Howking, dapat diibaratkan sebagai pikiran Tuhan.”
Dan atas
lawatan yang saya peroleh di bukunya Muhammad Yamin serta temuan
fosil-fosil di Flores bagi jembatannya. Sebelum mematenkan beberapa kemungkinan
penyelidikan, maka terterakanlah pertanyaan:
Ahli ilmu pasti Swalle Rubich dalam “Ilmu Pengetahuan
Kudus” menunjukkan 11.000 SM, Mesir pasti telah mempunyai sebuah kebudayaan
hebat. Pada saat itu Sphinx telah ada, hal ini bisa terlihat pada bagian badan
Sphinx yang jelas sekali ada bekas erosi. Diperkirakan akibat banjir dahsyat
tahun 11.000 SM? Menurut sejarawan Abu Said El Balchi, peristiwa banjir Nabi
Nuh terjadi sekitar 73.300 tahun yang lalu (: Forbidden archeology)? Sedangkan wikipedia menyebut keberadaan Adam (sekitar 5.872-4.942 SM)? Berdasarkan metode analisis radioaktif, diketahui batuan bulan, meteorit dan
batuan bumi tertua, pernah ditemukan berusia sekitar 4,6 miliar tahun. Dan Nabi Nuh (sekitar 3993-3043 SM) (:wikipedia)?
Siapa Swalle Rubich? Siapakah Abu Said El Balchi? Siapa pula Dr. H.M. Nasim Fauzi yang merayakan teorinya
Stephen Hawking menyoal Isra’ Mi’raj Rasulullah? Bumi-Bulan-Matahari bertanggungjawab atas
terjadinya fase-fase Bulan yang berulang setiap 29,5 hari (periode sinodik) (:
wikipedia).
Sebagai akhir pertanyaan, saya petik ungkapan teorinya Roger Penrose: “Bintang yang telah kehabisan
bahan bakarnya akan runtuh akibat gravitasinya sendiri serta menjadi sebuah
titik kecil dengan rapatan, dan kelengkungan ruang waktu yang tak terhingga,
sehingga menjadi sebuah singularitas di pusat lubang hitam (black hole).”
Secara garis
besar, kerap terjadi perbedaan jauh atas hasil penyelidikan mengenai tahun, antara arkeolog, paleontolog dengan sejarawan. Yang satu
berdasarkan analisa radioaktif, geologi, stratigrafi ataupun studi komposisi umur relatif serta distribusi perlapisan
tanah, interpretasi lelapisan bebatuan yang menjelaskan sejarah bumi, disamping keimanannya turut
menentukan jawabannya. Dan para sejarawan lebih condong pada
temuan teks
(tak luput keimanannya ikut andil). Di sebalik itu ada kemungkinan lain misalkan teks terbentuk
atas dongengan para pujangga, tertulis setelah kejadian, apalagi sebelum
kejadian serupa teks penujuman. Di sini saya lebih condong kepada hasil-hasil teks, hikayat lama, selain tatapan astronomi,
antropologi, pun penggalian alam penalaran filsuf yang didedikasikan demi
martabat manusia atas tahap pengetahuan yang digalinya.
Dan botani,
dapat dibilang saya suka belajar (berinteraksi) dengan tetumbuhan, lebih khusus kala bertamu ke rumah kawan
atau ke
tempat-tempat baru yang saya singgahi. Dari kedekatan batin pada tetumbuhan, menghadirkan banyak informasi yang kerap persis, jika ditanyakan pada tuan rumahnya. Lewat diamlah
menyapa sambil membawa jiwa merasa kosong tidak memiliki suatu apa, ini dapat menyerap lebih dalam yang terkandung alam sekitar. Mungkin di antara pembaca
berminat meneliti usia batuan yang merujuk pada data sejarah; jalan yang pernah saya tempuh membaca
buku-buku menyoal peninggalan bersejarah sambil mengamati secara
seksama, misalkan karakter batuan di Candi Prambanan, Borobudur,
Shingosari &ll. Membaca ulang lelembaran riwayat berdirinya percandian, maka segera terbit
kejelian sederhana dari wewarna kerutan, teksur atas usianya
bebatuan demi meneruskan penelitian pada bangunan walas lainnya.
***
VII
Dari bentangan
sebelumnya, dilihat dari populasi gajah pada jaman purba di bencah Nuca Nepa. Ada dugaan Pulau Jawa gabungan
dengan Pulau Sumatra, tidak sebatas di ujung dataran yang
dihuni suku
Osing (Banyuwangi). Namun melingkupi Pulau Seribu Pura (Bali) hingga Nuca Nepa, yang mungkin pulaunya berwujud cincin atau ular. Di
antaranya pulau Flores, Alor, Timur, Sawu serta pulau Sumba menyatu. Yang lepasnya semua itu sederajat
meletusnya Gunung Kelimutu. Lebih jauh kalimat saya
ini senada
perkataan Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, Ph.D. kala mengemukakan buku Atlantis,
The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato's Lost
Civilization, 2005) yakni karangan (temuan) ilmuan Arysio Santos yang
menyoal benua
Atlantis, ini ringkasannya:
“Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan
alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa
Atlantis adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia,
menurutnya ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir,
dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.”
“Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah
negara Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam
puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.”
“Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang
membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan,
terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di
wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh
samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik.”
“Teori Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat
letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian
besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene).
Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian
besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian
benua dan diliput oleh air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan
gunung Meru di India Selatan dan gunung Semeru/ Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur.
Lalu letusan gunung berapi di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau
Somasir, yang merupakan puncak gunung yang meletus pada saat itu. Letusan
paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah
bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.”
“Dalam usaha mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak
Plato telah melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/ posisi bumi yang
katanya datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di
Samudera Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika
Serikat di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua
yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang
berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya, “Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.””
“Namun, ada beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos
sependapat. Yakni pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah
Atlantis dan oleh Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua,
jumlah atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya
ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi,
Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau
sedang aktif kembali.”
Geolog dan
fisikawan nuklir asal Brazil, Arysio Santos menenggelamkan usianya dalam
pelitian tersebut selama 30 tahun. Dan saya dapat dibilang sekadar menjumputi
permukaannya saja, yaitu baru melewati putaran bulan mengelilingi bumi yang
hampir genap dua kali pada kisaran Nuca Nepa. Kebetulan tahun ini terjadi
gerhana bulan total dua kali yang melingkupi wilayah Indonesia. Pertama
pada malam 16 Juni
2011 lalu (tulisan di bagian kedua), pun terjadi gerhana bulan total lagi
tanggal 10
Desember 2011 (nanti, menurut Hakim L. Malasan).
Ini
mengingkatkan penujuman gerhana matahari awalkali yang
dilakukan
filsuf Thales ke tahun 585 SM. Ingatan-ingatan dan informasi yang bertebaran menguatkan rabahan (remote sensing, penginderaan
jauh). Kecondongan saya terdahulu sejalan penelitian M. Yamin, kalau kita berasal dari
bangsa
Austronesia, dan bangsa Grik kian jauh kemungkinannya. Atau nafasan bebangsa di bumi berkaitan pada derajat tertentu yang menyembulkan pengertian, dan selisih paham dilarungkan demi rahmat terindah penelusuran
yang berliku di
kedalaman insan.
Mula saya
simak esainya IK dalam kurun musim kemarau hingga mengawali ini (akhir tulisan bagian XIII, terposting di facebook 28 September 2011). Kini musim penghujan merambati bencah saya diami.
Hawa angin sumber mata air mengendus ke permukaan,
dan sekelebat
bayangan Dami N. Toda (1942-2006) menghampiri, ia sedaerah
dengan Ignas Kleden
hanya berlainan suku. Terekamlah lawatan yang
lalu pada sukunya Dami, Manggarai. Maka
saatnya memasuki
wewarna budayanya
meski selintasan awan, yang
sebelumnya sudah menciumi ketinggian pegunungan serta desir arus sungai-sungainya.
***
VIII
Atas pelbagai
bacaan di jendela maya, khususnya blog yang dikelola Marsi Ragaleka, yang memosting catatan Inang sedari buku “Hidup dan Baktiku,” Penerbit TP. PKK Provinsi Nusa Tenggara Timur
1989, disunting
oleh Alo
Liliweritaman sebagai sketsanya. Maka saya beranikan menghentak sepadan praduga tak bersalah, atau kemungkinan lain yang merambah dan mengejawantah.
Di pulau
Adonara, Solor dan Lembata, didiami suku berbahasa Lamaholot. Suku pendatangnya
Mehen, disusul Ketawo. Ada ungkapan indah kekerabatannya
di dalam bermasyarakat: “Ola
tugu, here happen, Ilua watana, Gere Kiwan, Pau kewa heka ana, Geleka lewo gewayan, toran murin
laran,” yang
artinya: “Bekerja di ladang, mengiris tuak, berkerang atau
mencari siput
di lautan, berkarya di gunung, melayani keluarga (istri serta anak-anak), mengabdi kepada ibu pertiwi atau tanah air, dan menerima tamu asing.”
Jantung kitab
mitos, membuka lelembarannya di hadapan saya. Ujung senjakala di bencah tanah
Jawa beristilah “Sandi Olo,” yakni dekat keburukan. Kekisah Rera Wulan Tana Ekan semakin mematangkan kesakralannya, penguasa langit-bumi tersebut sedang bercinta demi sempurna esok harinya.
Suara-suara burung pulang ke sarangnya, ratusan kelelawar menebarkan pesona. Para
penduduknya menutup pepintu rumah rapat-rapat, hawatir mengganggu para
dewata yang
tengah memadu
asmara. Ini tidak berlangsung lama, sampai ujung tombak tidak tampak di jarak sasarannya. Dan mereka mulai keluar menikmati wengi, tersebab para dewa sudah menaburkan bebijian
terang gemintang
keceriahan di langit yang paling malam.
Rera Wulan
Tana Ekan, dewata agung bersifat dualistis. Rera Wulan (Rera artinya Matahari dan Wulan bermakna Rembulan) penguasa langit. Tana Ekan (Tana artinya Dataran dan Ekan maknanya Bumi) dewi bumi. Hubungan ini menyerupai pasangan suami
dan istri.
Keduanya bercinta di petang masa, waktu yang tidak pantas untuk dewata. Karena melanggar pantangan janji keduanya, maka
lahirlah
putra-putra dewa yang kelak menciptakan bencana. Mitos berkembang menjelma
sandungan bagi yang pernah mendengar tetapi melampauinya, menjadi nyanyian gunda gulana untuk para empu yang waskita.
Kala mitos
suku-suku berjalin, ruhnya mempertebal cerita, bernafas di setiap degup dada
yang percaya,
dan keyakinan
menambah takjub memenuhi sambungan nyawa. Tatkala orang-orang tuanya tidak sudi menuturkan, sebab kesibukan di ladang
dan malamnya kelelahan istirah. Maka tinggal sebagian bocah mendengar kisah
tersebut melalui jalur-jalur
lupa, hingga terhapus dari ingatannya. Yang
terbelenggu ragawi menuai
ganjaran hampa, lalu tiada daya nyanyian lama lenyap ditelan hawa pancaroba. Kini tinggallah tulisan tak bermakna, kecuali hiasa semata.
Membaca suku
Sikka yang saya perkirakan tertua dari suku-suku di sekitarnya, lapisan sosialnya terbagi
menjadi tiga derajat, pertama Ine Gete Ama Gahar terdiri dari
para raja dan
bangsawan, tandanya punya pemerintahan tradisional dan harta warisan moyang. Lapisan kedua Ata Rinung bercirikan melaksanakan fungsi bantuan terhadap para bangsawan, ini
melanjutkan
amanat terhadap umat lapisan ketiga para insan awam; Mepu atau Maha. Secara
umum, masyarakat Sikka terperinci dalam beberapa suku; ata Sikka, ata Krowe, ata Tana ai. Di
samping suku pendatang; ata Goan, ata Lua, ata Lio, ata Ende, ata Sina, ata
Sabu/ Rote, ata Bura, dan mata pencaharian mereka umumnya bertani.
Saya sebut
tertua, karena menemukan sistem penanggalan dalam pertanian: Wulan Waran - More Duru (Oktober,
Nopember); bulan membersihkan kebun
dan menanam. Wulan Bleke Gete-Bleke Doi - Kowo (Januari, Pebruari, Maret) masanya menyiangi kebun (padi
serta jagung)
dan memetik. Wulan Balu Goit - Balu Epan - Blepo (April,
Mei, Juni) waktunya memetik juga menanam palawija. Akhir kelender kerja di Wulan Pupun Porun Blebe Oin Ali-Ilin (Agustus
dan September).
Wengi mempurnakan gelapnya, tetua ahli di bidang perbintangan
terus mencermati edarannya. Dupa kemenyan mematangkan mantra, asapnya melekat
ke daun-daun pandan. Mata yang terjaga, alis melirit sebilah sau (pedang panjang)
memasukkan kekayaan dewa langit ke tengah malam kesaksian, jauh dari nyala obor
perkampungan. Beberapa empu berada pada ketinggian gunung demi memetik kemungkinan awan mencium pucuk bibir
perbintangan. Ada kesurupan tiba, suara-suara dewata ke ragawinya memberi
penujuman mulia. Kisah lain disebutkan, mereka berendam di sendang hangat sambil membawa
beberapa kayu yang ditancapkan sebagai tanda letak bebintang dan
pergeserannya. Hikayat berbeda mengatakan di tengah padang
ilalang,
dengan tongkat
bersimpan mana yang ditancapkan demi mengatur derajat tertentu perpindahan edarnya gemintang. Sebagian
membuat gundukan tanah serta menggarisi hasil-hasilnya. Ini dilakukan sampai purnama dua belas
kali rasanya. Sementara ibu-ibu menyiapi perbekalan, anak-anak
kecil bermain di
pelataran, dan yang usianya menginjak dewasa menjaga batas-batas perkampungan.
Membiaknya
suku di kepulauan Nuca Nepa tidak lebih pertemuan penduduk setempat dengan pendatang.
Meski menaruh kasih sayang besar, kecurigaan tetap datang, lantas terpenuhi kala sama beradu kesaktian.
Hasilnya perundingan yang menjelma pecahan sepadan. Di antaranya terbentuk gugusan
pengetahuan atas persilangan pengalaman. Bebatuan diruncingkan seujung mata
panah untuk menghalau suku-suku di luar lingkaran Sikka. Para pemuda dilatih ketangkasan
berkuda dan kaum pemudi menggiling hasil pertanian, mereka terus beranak pinak. Hanya peperangan serta bencana alam yang memburaikan cita-cita
terindah.
Kini ke
dataran Ende serta masyarakat Lio, paku buminya Gunung Kalimutu, Detusoko
serta Welamosa. Nama Ende ada yang menyebutkan Endeh, Nusa Ende, dalam literatur kuno Inde atau
Ynde. Ada
dugaan nama tersebut diberikan sekitar abad XIV, sewaktu orang-orang melayu yang berlayar memperdagangkan tenunan besar, Tjindai yang sejenis
sarung patola. Ende dan Lio sering kali dikatakan kesatuan yang tidak terpisah. Meski demikian, sikap egonya menyebutkan diri sendiri-sendiri; Jao Ata Ende atau Aku ata Lio, ini
menunjukan
batas jelas kekhasan keduanya. Walau bermukim di
dalam batasan
terang, nyata wilayah kebudayaannya lebih luas Lio daripada Ende. Pola
pemukiman mereka umumnya dari keluarga batih atau inti baba (bapak), ine (mama)
dan ana
(anak-anak), yang diperluas sesudah menikah, anak laki-laki tetap bermukim di rumah induk. Rumahnya terbuat dari
pohon bambu beratap
daun-daun rumbia, alang-alang. Lapisan bangsawan Lio bertitel Mosalaki ria bewa,
bangsawan menengahnya Mosalaki puu, Tuke sani kaum biasa. Pada suku Ende bangsawannya Ata Nggae, turunan raja Ata Nggae Mere,
yang menengah Ata Hoo, yang budak dati Ata Hoo, disebut Hoo Tai Manu.
Mencermati
Endeh saja betapa lapisan masyarakatnya bertumpuk membentuk pola kebudayaan. Endeh ialah tempat pembuangan beberapa tokoh politik semasa perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia. Salah satunya Soekarno, yang sempat membikin panggung teater di sana. Ikatan batiniah
memberkahi dinaya kesungguhan dan kesantausaan, kala menyulami pengertian merentangkan sayap kemungkinan. Lantas
menerbangkan
wujud kemakmuran sedari penghayatan hidup rukun sekaligus
saling
menopang.
Kerasnya watak
yang kukuh menentukan pilihan menjelma identitas-identitas sama mengikat satu
tujuan. Tajamnya pemikiran, lembutnya penyelidikan,
dan perasaan
kasih sayang di sisi kecurigaan dalam, demi mengisi kelemahan membentuk gugusan pengetahuan. Semuanya dengan
kebaikan
menginsyafi tapakan langkah kemanusiaan, ruh mengendarai makna berjalin hingga fajar kebaharuan.
Memajukan kemurnian, kecuali dihempaskan bayu kesilapan yang meruntuhkan bekal
sebelumnya membuyar tidak tersisa. Maka ikatan batin bertenggang rasa ialah pranata menimbang-menerbangkan, melebur bersesuaian hukum alam.
Atas tanah
Endeh dan Soekarno, saya pernah mengguratkan sepucuk puisi setelah membaca kitab tebal susunan Cindy Adams yang bertitel “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,” yang tertulis diawal tahun semasa saya tinggal
di Yogyakarta,
berikut nyanyiannya:
SANDIWARA SOEKARNO DI ENDEH FLORES
Menyaksikan kulit-kulit lumut terkelupas
dari daging karang atas sobekan mentari.
Batuan cadas terlempar membisu panas
ditempa besi baja tapal kuda ke jalanan.
Semakin jauh pilunya seperti para janda
tetangkai kelapa diderai angin kembara.
Melumpuhkan debu-debu kemarau
tangisannya sampai daun rumput
pulau Bunga.
Nafas tersengal udara menyumbat
lempengan padat awan-gemawan
terhempas ke kaki-kaki senjakala.
Menapaki tanjung ujung pesisir
atas tubuh lusuh tenggelam
dalam riak duri-duri malam.
Tanpa peduli gemintang
bulan berkaca samudra
kala danau matanya
menjadikan muara.
***
Lalu memasuki
wilayah Ngada, ada daerah yang bernama Bajawa. Kini sebagai ibu kotanya di ujung bukit, seribu meter di atas permukaan gelombang lautan. Masyarakatnya dikenal empat kesatuan adat, memiliki tanda berbeda-beda, di antaranya Nagekeo, Ngada, Riung, Soa. Semuanya mempertahankan ciri-ciri kekerabatan dengan mendukung tanda kesatuannya. Arti kekerabatan Ngada, umumnya selain terdekat berbentuk keluarga inti Sao.
Lebih luas satu simbol pemersatu (satu Peo, satu Ngadhu
dan satu Bagha). Ikatan nama membawakan hak serta kewajiban. Anggota kekerabatan dari kesatuan adat, harus tunduk kepala suku, terutama atas tanah.
Masyarakat pendukungnya berumah adat dengan seorang yang
mengepalai,
Ngadhu ulu Sao
Saka puu. Rumah tradisionalnya dinamakan juga Sao, bahannya seperti di Ende / Lio. Rumah adat ditandai Weti
(ukiran). Terdiri dari tingkatan; Keka, Sao Keka, Sao Lipi Wisu, Sao Dawu
Ngongo, Sao Weti Sagere, Sao Rika Rapo, Sao Lia Roda. Lapisan masyarakat teratas adalah
Ata Gae, yang
menengah Gae
Kisa, dan yang terbawah Ata Hoo.
Sumber lainnya menyebutkan ada tiga kesatuan
adat, Gae
(bangsawan), Gae Kisa = kuju, golongan rendah atau budak. Ada yang membaginya lagi
menjadi empat strata,
Gae (bangsawan pertama), Pati (bangsawan kedua) Baja (bangsawan ketiga), Bheku
(bangsawan keempat). Para istri lapisan utama dan menengah dinamakan Inegae / Finegae, bertugas mengepalai rumah serta
memutuskan
segala sesuatunya. Masyarakat Nagekeo berkebudayaan Paruwitu (berburu), Soa
pendukung Reba (tahun baru, pesta panen), yang bertani dalam arti luas Ngadhu /
Peo, terjadi pada sebagian kesatuan adat Nagekeo, Riung, Soa dan Ngada.
Setiap wilayah, memiliki adat istiadat seperti
musim-musim membentuk pola
pelapisan tanah
yang dihinggapinya. Perubahan hadir atas persinggungan tanah bergeser
adanya gempa, derasnya tsunami. Manusia mendiami bumi menua dan
langit kian
merapuh, tersebab
hukum waktu berjalan melingkari ukurannya, mengikuti gejala perjanjian yang
mewujud cabang-cabang teori pembiakan juga pemusnahan.
Tonggak-tonggak tersebut diuji oleh kekekalan masa dengan berkendaraan beringas bersamaan deru bayu yang kerap menghardik kemanusiaan hingga
tersentak. Ada
yang tekun bermunajat demi aturan seimbang senantiasa terpelihara, demikian nyanyian yang dirindukan pada sebidang tanah bagi anak-anak manusia.
Sedari tidak mengerti bergiat memahami hayati, dan titik-titik pemberhentian bukanlah saklek rupanya.
Karena ruh ilmu pengetahuan terus menafaskan makna untuk kesegaran batin
dahaga menyambut ikatan perbendaharaan kebenaran. Begitu pun alat musik,
tari-tarian mengalami kenaikan derajat oleh pencarian. Kesuntukan mengudar benang panjang
kemungkinan bagai dituntun rahmat agung. Pelahan memastikan bekas perjalanan
meninggalkan jejak tanda, dipelajari demi tingkatan makmur, memperkaya
sandangan jiwa-raga. Budhi pekerti membuka selubung hijab, demi bayu kemungkinan bertambah. Seluas padang perubahan
mendekatkan ruang-waktu pada sebuah inti pengertian, bahwa bebangsa mendiami
jagad ini bersaudara. Sedangkan perbedaan bahasa karakter ucapan tetap menujah damai
berangkat dari ketulusan. Tiada penyangkalan sebab adanya melenceng ditegakkan perenungan dalam, itulah sesal yang mempurna.
Akhirnya
menuju tanah kelahiran Dami Ndandu Toda (Pongkor, Manggarai, Flores, Nusa
Tenggara Timur, 20 September 1942 – meninggal di Leezen, Jerman, 10 Nopember 2006). Wilayah Manggarai dapat dikatakan subur, areal pertanian meluas, perkebunan kopi membentang mewah,
oleh curah hujan menyejukkan mata. Terletak seribu dua ratus meter di
atas ombak
laut di bawa kaki Gunung Pocoranaka. Bentuk keluarga batih terdiri dari
bapak, mama,
dan anak-anak disebut Cak Kilo. Perluasannya klen kecil Kilo,
klen sedang
Panga, dan klen besar Wau. Beberapa istilah dalam sistim kekerabatannya; Wae Tua (turunan kakak), Wae Koe (turunan adik), Ana
Rona (turunan mama), Ana Wina (turunan saudara perempuan), Amang (saudara
lelaki mama), Inang (saudara perempuan bapak), Ema Koe (adiknya bapak), Ema Tua
(kakaknya bapak), Ende Koe (adiknya mama), Ende Tua (kakaknya mama), Ema
(bapak), Ende (mama), Kae (kakak), Ase (adik), Nana (saudara lelaki), Enu
(saudara wanita atau istri).
Strata
masyarakatnya terbagi tiga; Kraeng (bangsawan), kedua Gelarang (menengah), kelas
ketiga Lengge (rakyat jelata). Raja mempunyai kekuasaan absolut, upeti yang
tidak dapat dibayar oleh rakyat diharuskan bekerja rodi. Kaum Gelarang bertugas
memungut upeti dari Lengge. Para Gelarang sebagai penjaga tanah raja, penyambung lidah golongan Kraeng
dengan Lengge. Status Lengge selalu terancam, dikarena harus membayar pajak, pekerja rodi. Dan
kemungkinan besar menjadi hamba sahaya, sewaktu-waktu dibawah ke Bima, yang
kebanyakan tak
bisa kembali melihat kampung halaman atau
berkumpul dengan keluarga.
Dalam bukunya
Muhammad Yamin, “6000 Tahun Sang Merah Putih,” di halaman 91 tertulis “Lemang-tjerai Merah-Putih di pulau Flores:”
Sedjak berapa lama sudahlah ada perhubungan baik antara daerah Goa (Gowa)
dipulau Sulawesi Selatan dengan tanah Manggarai dipulau Flores. Begitu pula
sangatlah rapi perhubungan daerah itu dengan keradjaan Bima. Perhubungan dengan
Goa dapat dibuktikan karena adanja beberapa gendang pusaka (gendang-gelang),
jang biasanja dimiliki oleh tua tana. Selainnja dari pada gendang-gelang itu,
maka kepada kampung Lema dekat Leda Liur diberikan oleh Tiwu kerajaan Goa
setangkai bendera sebagai tanda mendapat djawatan gelarang. Perhubungan adat
menyampaikan persembahan kepada Goa barang-barang hasil bumi seperti ubi merah
(uwi wara dan sedjan wara), selendang pampang dan makanan berwarna Merah Putih,
jang bernama dea naa lone dalo belang wara; hidangan ini jalah nasi putih
bertumbuk dalam bambu berwarna merah (belang wara = bambu merah; wara,
warangan, barang, bang, abang = merah). Pusaka dan upeti diatas menunjukkan
bahwa Merah Putih memang dihormati pula pada perhubungan daerah dengan daerah
di Indonesia Timur.
***
IX
Tak terasa musim hujan menancapkan jari-jemarinya ke tanah,
yang awal niat
catatan ini singkat saja, telah menempuh halaman
jauh dan terus bertambah. Memasuki lelapisan awal seakan sulit merambahi dataran masehi, namun kebenaran data menyeret dalam kesadaran luar biasa. Tak tersangka, meski ada sangkaan sebelumnya,
yakni gumpalan tekat menujah kandungan alam. Mungkin yang tertulis ini
sejenis Babad, Lontara,
Tambo, Hikayat, atau Memitos (meranggeh, merangkai, menggayuh aura lama),
lantas terbentuk formula serupa kemendadakan, oleh rentangan sayap kata-kata yang
terudar sedari
mulanya. Meringkus ruang-waktu berabad-abad nyata pun belum ter-nyana, betapa berat kalau inginkan purna, sekurang-kurangnya, keragu-raguan senantiasa menguntit jiwa, atas sapaan ke ubun-ubun pembaca.
Ada bayangan, catatan ini saya namai Babad Nuca Nepa atau Kitab Rera Wulan
Tana Ekan. Itulah goda yang meski lelembarannya belum rampung, tapi rayuannya harus ditulis, agar tak menghentikan langkah. Demikian energi melimpah mengitari diri, menarik-narik hingga sulit dilukis
apa yang diimpikan dahulu, kadang malah menyumbat kreatifitas. Gelombang deras
disusul data menerjang pola penalaran sampai tak berdaya terperanjak, seumpama mabuk kepayang. Syukur tetap duduk di kursi kesadaran, meski abstraksi yang terbangun tambal-sulam membuka pintu kemungkinan, ialah rabahan meyakinkan yang diharapkan.
Harapan
meringkas ruang-waktu lewat satu sentuhan napas kalimat, menempuh kurun masa setahun dari 600.000 tahun lampau
misalnya, dapat disebut tindak kebodohan? Namun betapa meriwayatkan sesuatu, hendaknya mencecapi madu-perih yang terkandung, jelas memakan rentang umur dunia. Di
sini cepatlah sebelum diberangus keragu-raguan terlalu, fanatik buta atau sikap menutup rahmat terbesar-Nya. Apalagi data tidak sekadar teks, pun pesona jernih menebarkan cecabang penginderaan tinggi. Sekelembutan bayu kerlingan mata takjub, air mata menetes terharu
atau keinsyafan
menjaga detikan jiwa merambahi dataran gurun nyata. Pernah memikirkan kata tersesat juga
menelan
ruang-waktu lebih, walau peroleh limpahan hikmah kala menjumputi wewarna melenceng dari garis ketetapan alami. Namun semua balik ke dalam diri, yakni kepercayaan
mendiami reruang terahasia, bagi yang selalu merenungi nasib besar manusia.
Ingin setiap
kata-kata bersimpan tumpukan partikel aura yang tidak bosan-bosannya dipelajari. Sekali renung membuka
rerongga ruh berkelenjar napas di alam pemikiran, sampai drajat tertentu
menyetujui larik-larik yang dipunggah. Dialog nyambung pun mengsle bergayuh,
hingga
getarannya mempurnakan batuan magnetik hati juga isi kepala. Umpama gasing di
loncatan
pertama ada kemugkinan belum jenak pada
putaran akhir di satu titik. Apalagi belum terketahui, meski bertenaga besar, kalau kasar papannya, tidak lama
kan terjungkal. Tapi jika medan yang tak halus diketahui, barangkali sedikit-banyak mampu menguasai,
seberapa jauh
napas yang ditempuh dari takdir permainan.
Saya jadi
teringat
beberapa tulisan Dami N. Toda yang betebaran bersimpankan watak filsafat proses, yang awal tiupan terompetnya oleh Alfred North Whitehead
(1861–1947) dan rekannya Henri Bergson (1859–1941), yang ujung-ujungnya
pada Stephen Hawking? Mungkin hanya itu kesamaannya
atas saya,
karena manakala
menyoal mantra rasanya plin-plan antara mengandung mana, di sisi lain tampak profan.
***
Saya ingin
menelepon, tapi selalu saja tak mampu berkata-kata. Ini menyakitkan, menyebalkan,
tapi sungguh saya
merasa senang berperasaan kepadanya dan berharap dia (ruh yang pernah saya
pinjam) menjadi guru yang menunjukkan kepada saya tentang Alam pada keselarasannya di kedalaman Rasio, mengenai tujuan
khusus setiap fenomenon partikular serta dalam keseluruhannya, tujuan agung
Alam Semesta. Saya tak kan melepaskan harapan ini, tapi betapa murung kali ini. Mungkin karena kesalahan saya seperti
kefatalan yang dilakukan Anaxagoras, sehingga dia kecewa (mengoplos kerkataan
Sokrates dari buku karangan Hegel, yang berjudul The Philosophy of History).
***
Saya jumput
kata ‘pohon,’ yang di bencah tanah Jawa disebut ‘wit-witan’ dalam arti “permulaan, awal kejadian.” Jika saya masukkan dalam peristilahan ‘sejarah’ ialah tepat, sebab memiliki akar, batang, dedahan,
reranting, dedaunan pun bebuahan. Kita ambil sepintas, dedaunan masa menebarkan kabar menjadikan pohon mendewasa, akhirnya melahirkan
kuntum kembang juga bebuahan segar sekaligus menantang. Misalkan dedaunan masa
di sebrang
dataran Cina bersebut Lao Tse (604 SM), Confucius (551 - 479 SM),
di sisi lain
Thales (625 - 545 SM), Anaximandros (610 - 547 SM) pada rating Yunani. Sekitar
600 SM dalam upacara keagamaan kuno, mengadakan festifal tari-tarian serta
nyanyian demi
menghormati Dionysius. Menyelenggarakan sayembara drama untuk dewa tersebut, pada tahun 534 SM di cabang Athena.
Sementara Muhammad Yamin menyebutkan 500 SM di kaki gunung Dempo, didapati petilasan-waruga yang terbuat dari batu berlukiskan warna-warni, adanya seorang perwira memanggul
bendera Merah
- Putih; dalam
kuburan purba kala itu terdapat manik-manik tanah berwarna Merah-Putih, pun dedahan lain pada sebatang pohon sejarah. Di antaranya ada
dedahan lain yang
mengalami
kekosongan buah kenabian; Nabi Sulaiman (1034 SM mendirikan masjid) sampai Nabi
Isa terlahir (1 M); terisi dengan tertancapnya kekuasaan Siria yang mengalahkan
bangsa Israil (740 SM), Nebukhadnezar menjadi raja Babilonia (625 SM),
berdirinya kekuatan Persia (539 SM), Raja Cyrus menguasai Babilonia 537 SM,
merupakan cabang dedaunan juga. Lantas terbit bangsa Griek dibawah Iskandar
Zulkarnain 332 SM, hadir kerajaan Rumawi (63 SM) merebut Palestina dari
cengkeraman Griek, pula bermakna sama sebatang pohon kejadian.
***
Sungguh
mengakhiri tulisan ini terasa menyakitkan, seumpama perpisahan atau lenyapnya
cita-cita meski diganjar legenda. Perubahan terus memulai ataukah akhir
mengiris hati. Setidaknya saya sudah membuat riwayat bencah
Nuca Nepa meski bukan murni, sejenis refleksi atau jangan-jangan kekisah yang mampu
menembus batas
kesadaran ke ambang dasar pemikiran. Guna tidak kecewa berat, saya turunkan dongeng ini
dengan menghadirkan ruh yang
saya pinjam,
yang sempat
tersentak menyaksikan pesta sedekah bumi, ataukah pelepas sedurung semuanya berbalik ke hadirat pembaca.
Dengan
mengendarai desakan angin muson, saya diingatkan pada
seorang bocah
peniup seruling, yang pernah bertemu di dalam perut Rera Wulan Tana Ekan. Ia kini berdendang sambil
melantunkan untaian kata: “Di keropon tawa gere ipek gike sulung Sina,” yang artinya: “Sebagai pemuda yang telah tumbuh gigiku, aku tiupkan seruling Cina dengan mulutku sendiri.” Bersamaan itu suara riuh dan umbul-umbul terangkat tinggi,
lalu ritual persembahkan tari-tarian kepada saya yang gundah, sebelum pulang ke kampung halaman lain?
***
Wajah bulan
sabit mengecil, hampir dua kali memutari bumi Nuca Nepa. Gong, gendang juga tambur ditabuh,
para penari
Hopong dari penduduk Helong, mewujudkan upacara tradisi yang mengijinkan para petani menuai panen di ladangnya. Syair-syair
dikumandangkan atas syukur kehadirat Tuhan dan kepada nenek moyang. Para tetua adat pula lapisan masyarakat berduyun-duyun berkelompok diterangi
nyala api obor, kawasan Gunung Kelimutu terang benderang atas lidah api menyala-nyala, asapnya pun
menuju
ke puncak. Para
pemilik jemari
lentik menyentuh udara, memetik bayu diangkutnya ke pundak halus sambil
menjaga
keseimbangan, mata-mata mereka saling berkedip sedalam pecinta. Tarian ini biasa
dilakukan di sebuah rumah yang sebelumnya sudah
disepakati oleh
warga. Namun kini semacam ritual besar-besaran, kalau di Yunani di ketinggian Gunung Olympus demi menghormati
dewa Zeus, sang penguasa halilintar.
Dilanjutkan
tarian Manekat (pemberian tempat sirih berisikan pinang, sirih dan kapurnya) oleh para penari sedari suku Dawan (salah satu suku asli penghuni daratan
Pulau Timor), ini melambangkan penghormatan, memberi harkat martabat seseorang. Sekuat
kepulan dupa kemenyan meningkatkan kesakralan, membumbung menarik janur angkasa, membelai usapan tipis
sewarna garis katulistiwa. Adanya raut yang sulit terbaca seakan takdir entah, masa silam bangkit dari kandungan alam. Sederet
kemungkinan welas asih tanda kepatuhan kepada yang dialamatkan. Daun-daun sirih yang aromanya menyambut ruh moyang, menebalkan udara meninggikan hisapan, serasa candu dikulum
dalam jumlah besar oleh kesungguhan. Bau pengurbanan para kesatri, bau keberaian
menyusupi setiap derap langkah kepanditaan, mereka yang gugur diruapi ribuan kembang kepahlawanan.
Pada tarian Peminangan ala Dawan, pakaiannya terlihat rapi selenggokan gemulai para penari bagai setandan pisang tersusun agung mengungkap perasaan sayang.
Kepolosan kalbu sepasang kekasih yang mengikat junjungan nasib sepenuh guratan
telapak tangan yang terbuka, ini pun bermakna penyambutan kehadiran tamu istimewa. Jenjang
kaki lentur cekatan, merawat tekukan lengan tangkas memakmurkan persilangan
lahir-batin mengisi ruang kosong diberkahi persetujuan kelembutan penerimaan, sesulaman benang warna-warni tenunan maha karya abadi.
Napas-napas menggiring ke ujung jawaban, diperkuat hadirnya kebaktian sukma kayungyung,
sepadan sapaan mesrah merestui mimpi menggugah harapan
timbul-tenggelam pada kelurusan pandang. Bayang menegakkan isyarat lingga
kekayaan bagi cawan-cawan merindu perjumpaan hangat
dalam menanti
elusan mata air pegunungan.
Dan persembahan dari masyarakat Belu, Atambua, menarikan tarian Likurai, para gadis serupa lebah yang keluar dari sarangnya,
sayap-sayap sampur
berkelembutan, menyambut senyuman tamu terhormat,
para pahlawan
sepulang dari medan peperangan. Adanya keceriahan berasal ikatan terpendam, kekangan sedari kuntum kembang kan semerbak, menawarkan nirwana kemenjadian keluhuran pekerti yang
selalu dirawat
di setiap lipatan, seumpama kertas dibentuk angsa-angsa kecil digantungkan di udara. Tarikan
bayu muasal mempercepat kaki-kaki gemerincing berbinggel oleh goyangan. Suhu udara menapaskan ruang-waktu percampuran menitahkan sepadu-padan memberkahi keterjagaan. Ini
melumat keraguan,
waswas digerus tuntas, dan kelopak kemerdekaan ialah terbukanya timbangan keadilan, yang berayun dalam kewaspadaan
pada titian terang,
yang disoroti oleh
keseluruhan
cahaya kehidupan.
Dari dataran
Alor, menarikan tarian Dodakado (di tanah Jawa disebut engkle) yang dibawakan oleh muda-mudi dengan keceriahan utuh
kesantunan
guyub, para penarinya berlompatan pada persilangan bambu yang tengah
dimainkan. Mereka
bersyair pada
lompatan kecil antara jepitan bilah bambu yang selalu bergerak. Dan tiap gerakannya menyandang ketepatan hitungan
demi menjaga
kumandang syair, berputaran menerus sebelum bergantian dengan lawan pemain. Senyum simpul tanda
keayuan rahayu
di atas kebahagiaan
takdir terhadap ketundukan ritme. Musik yang disepakati menghidupi nilai-nilai pekerti, memantabkan tanggul kecermatan.
Yang telah
meruh dalam persetubuhan senyawa, pandangannya seolah mengejek
yang membuat tingkah
pemain
bambunya serba salah, dan sangsi diberikan sebatas penyadaran. Kepatuhan nyanyian alam melestarikan
hukum mendiami keadiluhungan permai, tergayuh kemakmuran.
Disusul tarian
Teotona dari kerajaan Oenale (tari perang suku Rote Oenale) di Rote Ndao. Ini
termasuk
upacara sakral untuk menyambut kaum pria sekembali berlaga, seperti tarian
Likurai dari
Belu. Pria dan wanita menunjukkan kegembiraan ekspresif yang
bercampur
genderang alat-alat ditabuh. Penyambutan para pahlawan, para pencari jejak patriotik nenek moyang.
Bukan kegaduhan tatkala denting menyerap bersesuaian irama tubuh memeluk
kedalaman, setingkat ruh pada lawatan tak terkira, tapi bertetap hati penjaga pikirannya. Luk badan tekukan kaki seuntaian lengan memainkan jemari,
bagi para pemberani
mematuhi garis wilayah sebagai benteng pertahanan. Lalu nama-nama diabadikan, peristiwa berdarah ditulis demi
membuka lembaran baru. Sejarah berangkat dari tekad membulat, kepurnaan ragawi yang
berolah, menyibak semak berduri terdepan, melalui batuan terjal menyobek daging menyerikan
tulang.
Dalam tingkatan tarian Ledo Hawu dari Sabu Raijua, melambangkan upacara kematian kepala adat
atau penghormatan akhir, juga pengusir demit di tengah laluan para leluhur
agar perjalanan
arwah kehadapan Pencipta tidak dihadangi. Auranya kental
beruapan
angker mewarnai makna yang digelarnya. Istilah lain penyapu jebakan, air bersimpan
mana selepas diasmak dengan mantra penghalau diciprat-cipratkan, dan kembang kejayaan berbau keabadian mengisi sudut-sudut penciuman, menidurkan kelicikan, melenakan kepicikan, menyilapkan
telik sandi sederap kemajuan. Bukan kesedihan tapi keteguhan, bukan rasa takut tapi keberanian menerima kekalahan untuk langkah balasan demi merawat tanah yang dijanjikan. Burung-burung gagak berkoak memusar di ubun-ubun cakrawala,
pakaian gelap
sematang keteguhan, setua hasrat merangsek menghirup magrib bertuah. Sesedap maut menitisi bayi yang
terkandung kegundahan,
sedang pancaran mata harapan tidak habis-habisnya, krentekan
kalbu mengawali terbitnya cahaya. Ibunda sang surya bagi yang bersikap merdeka dari penjajahan ruang-waktu, yang
menutup mata
acuh tak acuh atas penguasa keblinger disusupi hantu serakah.
Malam-malam
menanjak sesiang menanak keberhasilan. Suku Sikka Krowe menampilkan tarian Leke, diiringi tabuhan Gong Waning yang
setia
berkumandang mengikuti lantunan syair adat. Awal tariannya seakan kurang teratur,
setiap penari mengikuti kemandirian tubuh masing-masing diri. Tapi masih dalam
ruh ritmis kebahagiaan, keceriahan naik sederap alat musik ditabuh ke batas
maksimal menyatui melodi. Para tetua yang pandai bersyair, berganti-gantian membaca ayat-ayat babad suci. Lembar demi lembar memberi
wejangan pekerti bagi kelangsungan tradisi. Kala untaiannya tersimak, seperti alam bergetar bersaksi atas kandungan
isinya yang
mewedarkan
keunggulan dewa-dewa komodo. Kekuasaan elang, keelokan bangau putih pun kekokohan tebing menjulang, sifat gotong-royong semut hutan,
dan tiada luput
kesaktian dewa ular pun kesunyian batu terudar di kedalaman kalimatnya. Betapa ibunda pertiwi memberi gambaran ayu
melalui
wakil-wakilnya di bumi, orang-orang utama direstui memetik kemuliaan demi kelangsungan
keadaban bersambung-sinambung ke depan yang terpijak kini. Malam memberkah, terbukanya kerudung
rembulan menuangkan hidup berkasih sayang tulus ke pucuk damai lestari di sisi.
Dari Ende
menyuguhkan tarian Poto Wolo (Poto bermakna mengangkat, dan
Wolo
artinya gunung atau
bukit). Tarian ini dihajatkan menjemput tamu agung atau kepala suku,
tokoh adat yang diangkat secara tradisi. Dipilihnya penari mahir serta
rahayu jiwanya, selendang kain tenunan dikibas-kibaskan bagai burung merak yang tengah menghadapi marabahaya, atau berjemur menyaksikan
matahari. Gending-gending ditabuh, lengan dan kaki tiada henti berlenggok menyuguhkan purnanya tubuh menjunjung derajat orang yang
dirahmati.
Para tamu larut bersenandung berdecak kagum, menambah lengkap berkendi-kendi toak mengisi kerongkongan dahaga. Nyala obor menjulang
pada wilayah
Kelimutu menambah wibawa, danau-danaunya berwarna-warni mendendangkan waktu yang berlalu. Malam memanjang sederet
kedipan
gemintang melengkapi sedapnya perjamuan. Seorang penari bermain pandang oleh tatapan mata saya, semoga ianya berkenan.
Kerajaan
Manggarai mengetengahkan tarian Wasa Wojarana, ini biasa
dilaksanakan dalam upacara adat menjelang tanaman padi mulai
menguning,
sebentuk luapan syukur
melihat bebuliran padi menjanjikan keberkahan,
dan ungkapan
gembira kepada Dewi Sri sekaligus memohon agar panen tidak gagal akibat bencana alam serta hama. Iramanya pelan kadang bertempo cepat, para
penari
bergayuh mengikuti ruh tertinggi memantabkan waktu mengisi kematangan
buliran padi, seluapan asap jerami mengepulkan doa demi mengundang rahmat Ilahi. Badan-badan
kayu lesung
ditabuh berkotekan, berhimpun nada semarak seturut malam memantulkan suara dari pelosok keheningan ke
jantung
sanubari. Awan tipis di ketinggian merambah memaklumatkan tiap sendi irama yang
dilakoni. Segerak persandiwaraan, ada yang jadi Dewi Sri, petani pun hama atau bencana. Sungguh para
penonton terhibur olehnya, dikepung nuansa khitmat jiwa melambung
tapi masih berpijak
dalam kesadaran, atau seelok mimpi di kedalaman butir padi yang tunduk atas fitrohnya bagi kemakmuran para insani.
Di
susul tarian
Todagu asal Ngada, ini melambangkan keperkasaan pemuda Nage Keo dalam berperang,
yang kumandangnya
membangkitkan semangat dari dasar jiwa. Di iringi alat musik bambu serta tambur, tari-tariannya merancak bersama teriakan-teriakan kepahlawanan. Tubuh-tubuh terlatih siap bertarung ke medan laga,
hentakannya mengguncang tanah yang diperebutkan, dan tetesan darah tercecer dari pedang penari atas kurba
sembelihan, yang berkehendak merangsek lawan. Detik-detik tidak luput perhitungan, sekali
silap terputus tumbang. Tarian ini berbahaya disamping bertetap kesakralan,
sedang musik yang dijejali padat mengundang ruh
kurban yang
berlaga tempo
dulu. Jejiwa penari disusupi arwah leluhur, para kesatria pemilik kekebalan,
sehingga tidak hawatirkan timbulnya cedera. Para
pemuda Nagekeo sangat
terkenal
serampangan, selain ulung dalam strategi perang. Tarian ini dilakonkan saat menghimpun kekuatan
pun selepas
peroleh kemenangan. Di sini tak usah membedakan kelicikan dengan taktik, seperti kalimat
filsuf yang bertumpuk-tumpuk makna demi menopang gagasannya, sedari tekat bulat membobol kemungkinan pun di
belakang ide
besarnya.
***
Serasa
terbangun dari mimpi yang tak disengaja, tersentak oleh
lamunan yang
baru teralami, bebulir padi menetaskan bidadari muda, yang tiada tumbuh bebulu pada ketiaknya nan harum mewangi. Menyaksikan pamentasan semalam suntup tari-tarian, serupa menonton pagelaran wayang kulit, ada masanya terkantuk sedalam ketidakmampuan oleh hisapan besar sang dalang. Lamat-lamat
saya merapikan kesadaran, meski ingatan tersebut bergayuh pada angan terindah, entah masih malam atau langit diselimuti awan-gemawan
menebal tapi tidak menghawatirkan. Adakah endapan sekepasrahan, merelakan ruh saya pinjam mampir ke sini
lagi? Mungkinkah babad ini patut diterima? Namun semuanya sudah
kadung terjadi di lembar-lembar kesaksian malam. Pelahan namun pasti mengangkat keseluruhan diri, atau Sang Hyang Widhi benar-benar turun merestui.
Menanjaklah direbut peredaran angin muson, terlihat Maumere, Endeh, Bejawa,
Ranakah, Rinca hingga Pulau Komodo. Sekejap pula berada di kepunden jiwa, letak
saya di bencah tanah Jawa.
***
Lamongan, Jawa
Dwipa 23 Nopember 2011 /
30 November 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar