Jumat, 03 Juni 2011

KORUPSI, MUSUH BESAR REVOLUSI

Nurel Javissyarqi

Ini kata-kata terkepal padat kan menumpas kejahiliaan, memotong lengan busuk, membakar sampah bertumpuk demi damai perjuangan. Musik yang didengungkan bangsa berkeniscayaan memberkah kemenjadian -sentausa.

Di sini tiada impian, itu hanya pemilik bersuka angan kemalasan, lalu uang licik melicinkan hasutan. Selera manipulasi pengetahuan di atas kepicikan. Mereka mengorbitkan kacungnya berpropaganda pembodohan dan sebagian kita riang mengikuti tariannya, padahal selepas itu ribuan siksa mendera.

Plakat kemayu menghisap seluruh daya di televisi, di jalan-jalan menyayati pepohonan dipakunya gambar kaum koruptor. Betapa mudah kita memberi hak suara yang belum jelas pejuangannya, rupa pemanis buatan dipastikan mencipta kepedihan lama.

Tarian itu kampanye menyenangkan sesaat, kemudian kekayaan negeri dikeruknya habis tuntas. Yang terpampang menyediakan kabar seimbang, padahal segenap kasus tiada diselesaikannya becut.

Atas matangnya perhitungan, para jahanam seenaknya mendapati remisi dengan alasan tidak berakal, setelah menghabisi perbendaharaan lewat pangkat jabatan. Sementara maling-maling kelas teri, meringkuk di tahanan pengab tak ber-prikemanusiaan.

Kata-kata tegak ini terhimpun sehitam kesumat atas semua kelas tidak membiak, tambah ambruk ke jurang kebinasaan. Olehnya aku kumpulkan keseluruhan jejiwa kepadanya, aku salurkan melalai jari-jemari mengeras.

Inilah lesatan sehabis menyusuri lorong gemerlap keangkuhan; tiada mata lembut memandang para pengemis, pengamen, anak-anak terlantar di kota-kota terutama Ibukota, yang tersisikan dianggap kotoran tak dimanusiakan.

Tidakkah nyanyian kenyang mereka berasal jumlah gaji tak masuk nalar. Sedang di sana-sini kelaparan melanda, mengguncangkan iman, dan penyakit menderai warga miskin yang tidak dipedulikan pemerintah.

Mereka kencangkan dasi, kaca-kaca mobilnya tertutup rapat melewati pemukiman kumuh. Ini kudu dipercepat pemberangkatannya, membocorkan kerakusan dunia dengan menarik simpati suci, mengoreksian langkah, guna tidak keblusuk kembali.

Kita cukupkan dagelannya keluar masuk bui, tetapi masih dihormati bak pahlawan kesiangan. Kalau kita sedikit saja menahan letih, akan sanggup memurnikan tanah air pertiwi, menjebol waduk-waduk kurang berfungsi.

Penderitaan bertumpuk, kemanjaan sebahan menunggui kaki kesemutan. Melangkahlah, santuni yang benar butuh. Tak guna menyokong keluyuran, menghabisi gaji sekadar ugal-ugalan. Sementara di tempat sidang terlelap atau memandang sebelah mata ketimpangan, njomplang.

Sudah cukup kekumprungan para petinggi, seolah lelangkahnya demi kepentingan bangsa; pengawalan ketat, jalan-jalan disteril mempermudah laluan. Tapi selepas di kantor ongkang-ongkang kaki, terbukti banyak hal mendesak malah diabaikan.

Penggusuran tidak manusiawi, tiada lahan pengganti pemerataan. Kian berlomba mengeruk untung bagi perutnya buncin meledak, atau digerus cacing-cacing busuk seperti fikiran jahatnya.

Menimbun kekayaan tidak abadi, mencipta kebijakan yang meresahkan rakyat, bebahan tambang dikeruk bangsa asing. Atau dijual untuk tampang menterang yang sejatinya keropos, demi muka kejayaan segelintir ialah para pemilik hasrat serakah.

Ini suara-suara dibawah sadar membaca, mawas bercermin tidak mudah tertipu warna bendera. Tak terhanyut laguan iming-iming janji muluk keluarnya gedebus.

Mulut-mulut bungkam membuktikan ketakpercayaan, perdagangkan ilmu untuk nikmat sesaat. Bencana oleh ulah pakolah bejat, serupa begejil menghisap darah anak-anaknya, maka mari menerbangkan ini.

Ini nafas batu, tiada embun selain hati nurani yang setiap pagi memaafkan. Namun bebatu ditimpa siang terik keangkuhan, menggiring perasaan senjakala mematikan.

Tiada niatan memakmurkan bangsa berpengetahuan di atas kekayaan termiliki, tetapi semakin melindasi batu-batu oleh kendaraan berlesatan, tiadanya andap ashor sopan santun sesama.

Dan bebatuan di tangan tertindas menjelma awan, kelak menutupi cahaya kebangsaan. Kan gelap jalanan kesibukan menggila mencari kedudukan benda. Mendung menyebar di ubun-ubun, hujan batu ke mulut tamak, kepala lunak dimanja ketakutan hari depan. Pada hari ditentukan gelap semuanya, tak ada yang melintasi jalan-jalan raya.

Yang takut hujan deras, orang-orang di panggung bersegala kelicikan menyembunyikan kepemilikan. Yang bernasib pekat mengalami kesulitan gulita; betapa terang memandang para begundal terbirit ke selokan hukum-hukum turunan, penjajahan.

Ingatlah gerhana matahari tak datang setiap waktu, manfaatkan menumpas para pesolek menjerumuskan wewatak pembodohan berulang. Tengok buku “Doktrin Revolusi Indonesia” disusun S. Soedarman dan R.S. Jitno, penerbit Narsih Surabaya, Djalan Pasarkembang no 5, Djanuari 1963, pada Lampiran:

Keputusan Dewan Pertimbangan Agung tentang Perintjian Persoalan-persoalan pokok dan Program umum Revolusi Indonesia jang diambil dari Manifesto Politik Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1959, pada bagian 5 halaman 95, yang menyoal: Tentang Musuh-Musuh Revolusi Indonesia, sebagaimana kupetik di bawah ini dengan ejaan sekarang:

“Mengenai musuh-musuh yang sebenarnya dari Revolusi Indonesia adalah sangat penting, agar jangan sampai musuh dijadikan teman dan teman dijadikan lawan dalam revolusi. Semangat daripada Manifesto Politik ialah semangat melawan imperialisme disemua lapangan. Jadi tidak disangsikan lagi, bahwa musuh Revolusi Indonesia adalah imperialisme.”

Lanjut: “Jadi imperialis mana saja yang mencoba-coba memperdayakan Republik, yang membantu kontra-revolusi atau menjalankan sabotase-sabotese ekonomi adalah musuh-musuh Rakyat Indonesia.”

Dan srigala imperialisme kini membungkus tubuh-tubuhnya berbulu domba menujukkan gigi-gigi runcing cemerlangan di podium politik. Mencuci bersih bentuk korupsi saat kampanye, tatkala menduduki jabatan, sabotase-sabotase dilakukan;

membakar pasar-pasar tradisional, mengusir pedagang kaki lima tidak memberikan tempat layak, menggusur rumah-rumah penduduk serta pekuburan bersejarah. Menumbangkan bangunan peninggalan perjuangan, diganti gedung menjulang tak menyisakan uang sepeser pun bagi rakyatnya terjepit kelaparan.

Keangkuhan kian hari meraksasa. Imperialis tak hanya dari asing, juga bangsa sendiri berwatak sinting. Berhasrat mengeruk untung tak peduli sesamanya, mereka memperdayai republik menjadi kelinci percobaan, di atas konsep perekonomian yang tak bernafas kerakyatan.

Lamongan, Lampung, Jogja, februari 2011

1 komentar:

Dibalik nggacor ada nilai nilai keteladanan mengatakan...

Setuju Mas Nurel, Tetapi Korupsi tidak pernah hilang dari bumi dan mereka akan tetap ada sampai kiamat. Yang perlu dimengerti oleh para Koruptor adalah bagaimana hasil Korupsi tidak hanya sebagai pajangan dirumah atau hanya disimpan di Bank dan lain sebagainya apalagi dipergunakan untuk belanja diluar negeri tanpa dipergunakan untuk belanja dilingkungan masyarakatnya sendiri, sehingga hasil korupsi tidak akan pernah menjadi pemerataan secara ekonomi dan sosial. Biarkan korupsi tumbuh asal bermanfaaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. ( Mas Budi Malang ) http://distributormp.blogspot

(1813-1883) Abdul Hadi W.M. Adelbert von Chamisso (1781-1838) Affandi Koesoema (1907–1990) Agama Para Bajingan Ajip Rosidi Akhmad Taufiq Albert Camus Alexander Sergeyevich Pushkin (1799–1837) Amy Lowell (1874-1925) Andong Buku #3 André Chénier (1762-1794) Andy Warhol Antologi Puisi Tunggal Sarang Ruh Anton Bruckner (1824 –1896) Apa & Siapa Penyair Indonesia Arthur Rimbaud (1854-1891) Arthur Schopenhauer (1788-1860) Arti Bumi Intaran Bahasa Bakat Balada-balada Takdir Terlalu Dini Bangsa Basoeki Abdullah (1915 -1993) Batas Pasir Nadi Beethoven Ben Okri Bentara Budaya Yogyakarta Berita Biografi Nurel Javissyarqi Budaya Buku Stensilan Bung Tomo Candi Prambanan Cantik Chairil Anwar Charles Baudelaire (1821-1867) Cover Buku Dami N. Toda Dante Alighieri (1265-1321) Dante Gabriel Rossetti (1828-1882) Denanyar Jombang Dendam Desa Dwi Pranoto Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra Eka Budianta Emily Dickinson (1830-1886) Esai Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia Feminisme Filsafat Forum Kajian Kebudayaan Hindis Yogyakarta Foto Lawas François Villon (1430-1480) Franz Schubert (1797-1828) Frederick Delius (1862-1934) Friedrich Nietzsche (1844-1900) Friedrich Schiller (1759-1805) G. J. Resink (1911-1997) Gabriela Mistral (1889-1957) Goethe Hallaj Hantu Hazrat Inayat Khan Henri de Régnier (1864-1936) Henry Lawson (1867-1922) Hermann Hesse Ichsa Chusnul Chotimah Identitas Iftitahur Rohmah Ignas Kleden Igor Stravinsky (1882-1971) Ilustrator Cover Sony Prasetyotomo Indonesia Ingatan Iqbal Ismiyati Mukarromah Javissyarqi Muhammada Johannes Brahms (1833-1897) John Keats (1795-1821) José de Espronceda (1808-1842) Joseph Maurice Ravel (1875 - 1937) Jostein Gaarder Kadipaten Kulon 49 c Kajian Budaya Semi Karya Karya Lukisan: Andry Deblenk Kata-kata Mutiara Kausalitas Kedutaan Perancis Kegagalan Kegelisahan Kekuasaan Kemenyan Ken Angrok Kenyataan Kesadaran KH. M. Najib Muhammad Khalil Gibran (1883-1931) Kitab Para Malaikat Kitab Para Malaikat (Book of the Angels) Komunitas Deo Gratias Konsep Korupsi Kritik Sastra Kulya dalam Relung Filsafat Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana Lintang Sastra Ludwig Tieck Luís Vaz de Camões Lupa Magetan Makna Maman S. Mahayana Marco Polo (1254-1324) Masa Depan Matahari Max Dauthendey (1867-1918) Media: Crayon on Paper MEMBONGKAR MITOS KESUSASTRAAN INDONESIA Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Michelangelo (1475-1564) Mimpi Minamoto Yorimasa (1106-1180) Mistik Mitos Modest Petrovich Mussorgsky (1839-1881) Mohammad Yamin Mojokerto Mozart Natural Nurel Javissyarqi Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pahlawan Pangeran Diponegoro Panggung Paul Valéry (1871-1945) PDS H.B. Jassin Pelantikan Soekarno sebagai Presiden R.I.S (17 Desember 1949) Pembangunan Pemberontak Pendapat Pengangguran Pengarang Penjajakan Penjarahan Penyair Penyair Tak Dikenal Peperangan Perang Percy Bysshe Shelley (1792–1822) Perkalian Pierre de Ronsard (1524-1585) PKI Plagiator Post-modern Potret Sang Pengelana (Nurel Javissyarqi) Presiden Penyair Proses Kreatif Puisi Puitik Pujangga PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873) Rabindranath Tagore Rainer Maria Rilke (1875-1926) Realitas Reuni Alumni 1991/1992 Mts Putra-Putri Simo Revolusi Revormasi Richard Strauss (1864-1949) Richard Wagner (1813-1883) Rimsky-Korsakov (1844-1908) Rindu Robert Desnos (1900-1945) Rosalía de Castro (1837-1885) Ruang Rumi Sajak Sakral Santa Teresa (1515-1582) Sapu Jagad Sara Teasdale (1884-1933) Sastra SastraNESIA Sayap-sayap Sembrani Segenggam Debu di Langit Sejarah Self Portrait Self Portrait Nurel Javissyarqi by Wawan Pinhole Seni Serikat Petani Lampung Shadra Sihar Ramses Simatupang Sumpah Pemuda Sungai Surabaya Suryanto Sastroatmodjo Sutardji Calzoum Bachri tas Sastra Mangkubumen (KSM) Taufiq Wr. Hidayat Telaga Sarangan Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thales Trilogi Kesadaran Tubuh Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga Universitas Jember Waktu Walter Savage Landor (1775-1864) Wawan Pinhole William Blake (1757-1827) William Butler Yeats (1865-1939) Wislawa Szymborska Yasunari Kawabata (1899-1972) Yayasan Hari Puisi Indonesia 2017 Yogyakarta Yuja Wang Yukio Mishima (1925-1970) Zadie Smith (25 Oktober 1975 - )